Share

Bab 5 (Fatma)

"Hah? Saling menguntungkan bagaimana?" Timpal Guru BK.

"Mas Rizky harus memenuhi kebutuhan saya kalau mau tidur dengan saya," jawab Fani sangat ringan.

"Tidur?" Kali ini Bu Zara mengeluarkan suara. 

"Iya," tegas Fani.

Perutku sudah tidak tahan lagi, akhir-akhir ini tubuhku memang sering lemas, tidak sekuat sebelumnya. Aku kehilangan mood untuk debat kusir dengan anak tidak tahu diri ini, biarlah aku menunggu apa yang terjadi selanjutnya.

Guru BK menarik nafas sebelum Ia pamit ke ruangan lain. Bu Zara mengambil kesempatan untuk bicara pada Fani.

"Falen, sejak kapan kamu menjalin hubungan seperti itu?"

"Belum lama, kok. Saya tahu sekitar setengah tahun yang lalu, Bu," jawabnya seperti sudah akrab dengan Bu Zara.

Guru BK kembali masuk ke ruangan. Wajahnya sedikit lega. "Nah, orangtua Falen sebentar lagi ke sini," ujarnya.

"Apa Bu? Mengapa harus bawa-bawa orangtua saya? Ini kan urusan saya bukan urusan orangtua," teriak Fani. Kami bertiga hampir terlonjak bersamaan.

"Falen, duduk dulu Nak," ucap Bu Zara sambil menarik tangan Fani.

"Karena kamu masih jadi tanggung jawab orangtua kamu, Nak," ucap Guru BK dengan tegas.

Suasana ruang BK menjadi dingin, kami terdiam dengan pikiran kami masing-masing. Aku tidak tahu apakah keputusan Guru BK untuk memanggil orangtua Fani akan lebih baik, atau justru memperkeruh. Kemungkinan orangtua membela anaknya mati-matian memang ada di dunia ini, apalagi di zaman seperti ini. Orangtua yang gagal memberikan pendidikan keluarga lalu semakin menjerumuskan anaknya untuk victim playing sudah menjadi hal lumrah. 

"Assalamu'alaikum," ucap laki-laki yang usianya terlihat sekitar 50an tahun.

"Wa'alaikum salam," jawabku, Guru BK, dan Bu Zara. Laki-laki itu masuk ruangan diikuti Ibu-ibu di belakangnya.

Setelah menyilakan kedua orangtua Fani untuk duduk, Guru BK kembali menjelaskan pokok permasalahan ini dengan pelan. Fani tampak berusaha membuat wajahnya biasa saja meski aku tahu Ia merasa bersalah. Ayah Fani tampak mengerutkan dahi, sementara Ibunya terlihat sangat terkejut.

"Ha? Tidak mungkin! Anak saya selalu pergi mengaji setelah pulang sekolah sampai habis 'isya!" teriak Ibunya.

"Iya, anak kami selalu pergi ke masjid. Anda semua jangan sembarangan berbicara tentang anak kami, ya!" bela Ayahnya sambil berkacak pinggang.

"Mohon tenang, Bapak Ibu. Kami tidak sembarangan berbicara, Bu Fatma memiliki bukti chat. Falencia pun juga mengakui hal ini, oleh karena itu kami memanggil Bapak Ibu ke sini untuk bersama-sama menyelesaikan perkara ini," ujar Guru BK. 

"Apakah Bapak Ibu yakin Falencia pergi mengaji?" Tanyaku dengan pelan. Namun kusadari setelah itu, ucapanku justru mirip dengan tuduhan.

"Mungkin perlu ditelisik lagi, Pak, Bu. Apakah putri Anda benar-benar pergi mengaji," dukung Guru BK.

"Iya, kan Fan? Kamu mengaji tiap pulang sekolah? Tante ini nggak bener kan, Fan?" Ibu Fani meminta jawaban pada Fani. Anak itu tak bergeming sedikitpun. Aku menatap tepat ke matanya, berharap anak itu memberi jawab jujur pada orangtuanya.

"Pihak sekolah tidak keberatan untuk menghubungi tempat di mana Falencia mengaji," ujar Guru BK tegas. Ia memberi peringatan kepada orang-orang di sekitarnya bahwa sekolah tidak tanggung-tanggung untuk menjaga nama baik institusinya.

Fani hanya memutar bola matanya. Kelakuan yang tidak menyenangkan, mungkin anak ini kurang serius untuk belajar tata krama. 

"Falen kalau ngaji di mana, Nak?" Tanya Bu Zara.

"Di rumah Pak Ustadz Arkan," jawabnya singkat.

"Oh, bareng sama Aldin ya?" Bu Zara menanggapi jawaban Fani seolah tahu siapa Ustadz yang dimaksud.

"Iya, Bu," jawabnya singkat tanpa bertatap muka.

"Falencia punya nomor Pak Ustadz?" Guru BK bertanya dan berusaha fokus pada masalah.

"Tidak, Bu," sahut Fani mantap. Entah dia berbohong atau tidak.

"Kalau begitu, tolong panggil Aldin ke sini, Bu Zara. Siapa tahu dia punya," ujar Guru BK.

Bu Zara menuruti permintaan Guru BK dan membawa Aldin yang menampilkan wajah kebingungan. 

"Lu, kenapa Fan?" remaja yang rambutnya disisir rapi dan sedikit mengkilap, membuka suara.

"Nak Aldin punya nomornya Pak Ustadz Arkan? Ibu boleh minta, Nak?" Guru BK langsung melemparkan pertanyaan sebelum Fani membuka suara pada Aldin.

"Oh, ada Bu. Saya kirim ke W******p ya, Bu," jawabnya dengan cepat sambil mengeluarkan handphone dari saku celananya.

"Baik, Nak. Terimakasih, kamu boleh kembali ke kelas," tanggap Guru BK.

"...."

"Wa'alaikum salam, perkenalkan ini Yuni, guru BK SMK tempat Falencia Nikita belajar,"

"...."

"Eh, iya, Fani, Bapak. Mohon maaf Bapak, mengganggu waktunya, kami ingin bertanya, …."

"Ibu, boleh dihidupkan speaker-nya?" sergah Ayah Fani. Guru BK dengan sabar mengatur handphone-nya.

"Apakah Bapak yang diamanahi oleh orangtua Fani untuk belajar mengaji?"

"Iya, betul. Ada apa Bu?"

"Fani masih belajar mengaji kepada Bapak?"

"Hmmm, seharusnya sih masih. Tapi kok anaknya nggak pernah kelihatan ya? Orangtuanya juga nggak ngasih kabar," jawab Pak Ustadz melalui telepon.

Deg

Kedua orangtua Fani terlonjak. Fani mengerutkan dahi seakan kesal dengan jawaban Pak Ustadz. 

"Karena saya berangkatnya telat, jadi Pak Ustadz nggak lihat," kilah Fani tanpa diminta. Guru BK yang masih memegang handphone dan belum memutuskan panggilan, menoleh kepada Fani.

"Ssst, sopan, Nak," desis Ibu Fani.

"Ada apa ya, Bu?" tanya Pak Ustadz karena Guru BK tidak menjelaskan latar belakang pertanyaannya.

"Ada urusan penting di sekolah, Pak. Terimakasih atas waktunya, mohon maaf sudah mengganggu," ucap Guru BK.

"Nggak apa-apa, mungkin pihak sekolah bisa menyampaikan ini kepada yang bersangkutan, Bu. Biar anaknya ada kejelasan, masih mau mengaji atau tidak," ujar Pak Ustadz.

"Baik, Pak. Akan kami sampaikan, terimakasih banyak atas waktunya, Pak Ustadz. Wassalamu'alaikum," 

"Wa'alaikumussalam warohmatulloh,"

Aku menghembuskan nafas lega, terima kasih Ya Alloh. 

"Falencia dan Bapak Ibu sudah mendengar keterangan dari Pak Ustadz secara langsung, kan?" Ujar Guru BK yang ternyata bernama Bu Yuni.

Orangtua Fani terkejut dan bingung, mereka menatap wajah anaknya lekat-lekat.

"Kemana saja Kau, Nak?" Ujar Ayahnya.

"Sudah kubilang, aku datangnya telat, Ayah! Makanya Pak Ustadz nggak lihat aku datang," ototnya. 

"Ehm, Bapak Ibu. Mungkin urusan Fani dengan Pak Ustadz bisa diselesaikan baik-baik dengan Pak Ustadz. Maaf saya ke WaKa Kesiswaan dulu," ujar Bu Yuni. Ia berlenggang keluar ruangan.

"Jangan bohong Kau, Nak!" Teriak Ibunya.

"Aku nggak bohong. Ini Mbaknya aja yang kompor biar Bu Yuni telpon Pak Ustadz."

"Bukan urusan saya kalau Bu Yuni telepon Pak Ustadz, beliau berusaha membuktikan pengakuanmu," sahutku.

WaKa Kesiswaan dan Bu Yuni masuk ruangan setelah beberapa lama. Lelaki yang tidak muda lagi dengan rambut beruban dan kacamata tebal, menyapa semuanya. Lalu Ia menyampaikan inti maksudnya,

"Mohon maaf, dengan berat hati kami kembalikan tanggung jawab pendidikan atas nama Falencia Nikita kepada Bapak Ibu sekalian,"

"Maksudnya?" tanya Ibu Fani sambil mengerutkan dahi.

"Saya dikeluarkan dari sekolah, Pak?" teriak Fani. Kedua orangtuanya yang baru menangkap maksud tersebut terlonjak.

"Kenapa anak kami dikeluarkan dari sekolah Pak? Saya sudah membayar tagihan sekolah ini!"

"Karena putri Bapak Ibu sudah mencemarkan nama baik sekolah ini," jawab WaKa Kesiswaan dengan tenang.

"Masalah rumah tangga itu biasa, Pak. Jangan mengkambinghitamkan anak saya!"

"Putri Bapak yang sudah membuat masalah di rumah tangga orang. Gara-gara putri Bapak, Ibu ini membuat pengaduan ke sekolah ini,"

"Pokoknya saya tidak terima anak saya dikeluarkan dari sekolah!" Otot Ayah Fani.

"Saya lebih tidak terima suami saya digoda dan dipalakkin perempuan asing," ucapku sambil menahan gejolak di perutku.

"Saya nggak malak, Mbak. Sudah saya bilang, Mas Rizki juga menikmatinya," Fani ikut menimbrung.

Ayah Fani dan WaKa Kesiswaan mengalihkan wajah ke Fani. Beberapa saat hening.

"Mas Rizki?" Tanya WaKa Kesiswaan.

"Suami saya," sahutku memberi keterangan.

"Perbuatan tidak terpuji yang putri Bapak lakukan benar-benar keterlaluan. Tidak salah saya membuat keputusan ini," ucap WaKa Kesiswaan.

"Fan, kamu sudah berapa kali dengan orang itu, Nak?" tanya Ibu sambil terisak.

Fani hanya memutar bola matanya lagi.

"Falen?" Ulang Bu Yuni dengan lembut.

"Hampir tiap malam, Bu,"

"APA?"

Ayah Ibu Fani, Bu Yuni, Bu Zara, WaKa Kesiswaan, dan aku terlonjak.

"Kalau kamu hamil bagaimana, Nak?" Ucap Bapak Fani dengan suara bergetar.

"Kalau Fani sampai hamil, orang itu harus bertanggung jawab!" Teriak Ibu Fani sambil menyipitkan matanya kepadaku.

Aku terbelalak.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status