"Pergilah, biarkan aku sendiri hari ini." Risa menatap sendu, bahkan ia mendorong tubuh Arya agar menjauh dari dirinya. "Apa kamu masih kesal, Sayang?" tanya Arya, tapi Risa masih saja merajuk. Namun, bukan Arya jika dia tak dapat meluluhkan hati seorang wanita. Dia merogoh saku celana lalu meraih sebuah kotak perhiasan berwarna merah muda. "Aku membeli ini sebelum datang kemari, pakailah." Arya membuka kotak perhiasan, kemudian berlutut tepat di hadapan Risa. Risa memicingkan mata, ia menatap sebuah cincin yang tampak familiar baginya. Risa meraih cincin itu, tidak ada senyum di wajah cantiknya hanya cemberut dan semakin merajuk. "Kamu memberiku cincin yang sama seperti cincin milik, Nazwa?" Risa menyimpan kembali cincin dengan kesal, "Pergilah, aku malas mendapatkan barang yang sama seperti milik, Nazwa.Risa mengusir Arya detik itu juga, hatinya kecewa, hatinya sedih, bahkan setelah Arya menghilang dari balik pintu ia menangis. "Tidak bisakah kamu memberikanku barang yang ber
Keingin memiliki Arya seutuhnya begitu kuat Risa rasakan. Aroma maskulin dari tubuh Arya, sikap romantis, serta perhatiannya sungguh membuat Risa tak rela jika ia harus terus berbagi kasih dengan Nazwa. Menjelang malam Risa memutuskan untuk keluar dari rumah, tanpa memberitahu Arya ataupun ditemani oleh sang kekasih. Malam itu ia pergi hanya seorang diri, mencari ketenangan dan berusaha melupakan rasa cemburu yang begitu menyiksa batinnya. "Setelah malam ini, aku akan membuatmu semakin jatuh cinta kepadaku, Mas Arya," ucap Risa sambil terus menenggak beer yang menjadi temannya malam itu. Malam yang yang sangat panjang bagi Risa, entah berapa banyak beer yang sudah ia minum. Satu hal yang pasti kini, wanita itu mabuk parah dan terus meracau tak karuan. "Seharusnya aku yang menjadi, Istri sahmu bukan dia!" pekik Risa sambil melemparkan botol beer ke sembarang arah. Beruntung, ruangan yang ditempati Risa kini merupakan ruangan VVIP jadi tak banyak orang yang melihat perangai anehnya
"Hai, selamat datang di rumahku."Tubuh Risa bergeming saat mendengar suara yang terdengar tak asing baginya. "Apa tidurmu nyenyak?" tanyanya sambil menyentuh bahu Risa, hingga ia terperanjat. Risa berbalik, "Apa kau menculikku, Dika?!"Mendengar ucapan Risa, Dika hanya terkekeh. Dia lantas pergi meninggalkan Risa yang masih saja curiga. "Aku akan menghubungi, Arya dan melaporkan semua ini!" Risa berteriak sambil terus berjalan mengikuti Dika. Namun, Dika tak peduli dengan teriakan serta ancaman Risa. Dia memilih untuk terus berjalan menuju meja makan lalu menikmati hidangan yang telah disediakan. "Kenapa kamu mengabaikan aku!" Risa menggebrak meja makan, mau tak mau Dika menatap ke arah gadis itu. "Bisakah sedikit tenang? Dan jangan hubungi, Arya. Biarkan mereka menikmati hati-hari tanpa gangguan dari rubah betina sepertimu."Sambil berkata begitu, Dika meraih piring lalu menyendokkan nasi goreng, dan meletakkannya tepat di hadapan Risa. "Aku tidak ingin sarapan. Lagi pula, bi
Mata indah Risa mendelik mendengar pernyataan Dika, atau lebih tepatnya sebuah ancaman tak tersirat yang dilemparkan untuk dirinya. Tapi, bukan Risa namanya jika ia langsung takut begitu saja. Risa berjalan mendekati Dika lalu mencengkram kerah baju pria itu, "Lalu, apa tujuanmu yang sebenarnya?!"Dika terkekeh melihat keberanian wanita yang kini berada di hadapannya. Dia benar-benar tak menyangka jika seorang wanita yang selama ini dia kira lembut dan penuh kasih sayang ternyata menyimpan sifat asli yang mengerikan. "Jauhi, Arya agar wanita yang sangat aku cintai bisa bahagia," ungkapnya dengan raut wajah yang dingin. "Cih, hanya itu?" Risa melepaskan cengkramannya lalu berbalik, berjalan menuju arah bunga mawar merah yang tampak merekah indah. Risa mengulurkan tangan kemudian memetik salah satu bunga itu lalu menghidunya, merasakan aroma semerbak yang kemudian membuatnya mual karena ingat jika bunga mawar yang kini digenggamnya adalah salah satu bunga yang teramat Nazwa sukai. P
Dika benar-benar sangat dibuat kesal oleh ucapan Risa, dua kali sudah wanita itu mengajaknya untuk memisahkan Nazwa dengan Arya. Tapi, Dika tak akan sanggup melakukan hal itu karena dia tahu betul bagaimana Nazwa mencintai Arya. "Hei, mau sampai kapan kamu terus berdiam diri di sana?" tanya Risa dengan tatapan sinis serta senyuman meremehkan. Dika tak menjawab pertanyaan itu, dia lebih memilih untuk segera bersiap lalu bergegas pergi menemui Nazwa."Aku akan pergi bersamamu menemui, Nazwa pagi ini.""Terserah!" jawab Dika tegas sambil terus berjalan menjauh. ***Layar ponsel Risa tak hentinya menampilkan notifikasi pesan yang terus saja masuk. Senyumannya melengkung saat ia membaca nama si pengirim pesan itu."Apakah dia merindukan aku?" batin Risa bertanya-tanya. Hatinya berbunga, pipinya pun merona bahkan senyumannya terus mengembang di sepanjang perjalanan menuju kediaman Nazwa, membuat Dika yang kini duduk di sebelahnya merasa jijik dengan sikap Risa. "Apa kamu tidak malu ber
"Mas Dika selamat bertugas." Dengan manjanya Risa berucap. Perlahan ia melepaskan genggaman tangannya kemudian berjalan mendekat ke arah Nazwa. Tanpa melakukan kontak mata dengan Arya terlebih dahulu Risa segera mengambil alih posisi untuk mendorong kursi roda Nazwa. "Apa kamu semalam bersama, Kak Dika?" tanya Nazwa antusias. "Menurut kamu, bagaimana?"Nazwa mengulum senyum mendengar ucapan Risa, "Pantas saja dari semalam kamu sulit untuk dihubungi," goda Nazwa seraya tersenyum. Wajah tampan Arya berubah masam detik itu juga, prasangka buruk terus memenuhi benaknya. Dia pun menoleh ke arah Risa. Namun, jangankan mengharapkan penjelasan dari kekasihnya itu menatapnya saja Risa seakan segan. "Nazwa, aku masih mengambil cuti untuk hari ini. Jadi, kita bisa menghabiskan waktu bersama.""Sungguh?" tatapan Nazwa berbinar. Risa hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan mantan sahabatnya itu. "Lalu, mau ke mana kita?" "Ke taman saja, Risa. Aku ingin melihat mawar-mawar itu mere
Arya melangkah dengan tergesa menghampiri dua wanita yang sama-sama memiliki peran spesial di dalam hidupnya itu. Jarak beberapa meter dari tempat mereka, Arya menghela napas dalam mencoba untuk kembali menetralkan amarah yang sedari tadi berkecamuk di dalam dadanya. Sama-samar terdengar gelak tawa Nazwa dan Risa. Cukup lama Arya tertegun, ditatapnya satu persatu wajah cantik para wanita itu. "Aku adalah lelaki paling beruntung mendapatkan dua wanita cantik, dan kaya sekaligus," gumam Arya sambil tersenyum simpul lantas kembali melangkah mendekati mereka. Bayangan memiliki dua istri yang rukun satu sama lain kembali menari-nari dalam benaknya saat melihat kebersamaan Risa dan Nazwa. "Ehem!"Sontak ke dua wanita cantik itu menoleh ke arah sumber suara. Postur tegap, rahang kokoh dan tatapan mata yang tajam seketika menghipnotis ke dua wanita itu. Mereka tersenyum dan terus menatap dengan pandangan kagum kepada satu orang yang sama. "Suamiku, tampan sekali pagi ini!"Senyuman Risa
"Aku ingin memisahkan kamu dan, Nazwa. Lalu menjadikan aku satu-satunya wanita di dalam hidupmu!" pekik Risa emosional, tangisannya pun pecah detik itu juga. Arya bergeming menatap Risa seperti itu. Dia tak pernah mengira, jika wanita simpanannya memiliki perasaan yang begitu dalam terhadapnya. "Hei, tenanglah." Arya menarik tubuh Risa ke dalam dekapan. Tangisan Risa semakin menjadi, ia menumpahkan segala gundah yang dirasakannya di dekapan sang pujaan hati. Ia lelah, tapi hati kecilnya tak ingin berpisah dengan Arya."Sampai kapan aku harus menjadi bayangan, Nazwa?" lirih Risa bertanya. "Apa kamu ingin kita, menikah?"Risa berhenti terisak, ia melepaskan diri dari dekapan Arya. Ditatapnya lekat sosok tampan itu dengan perasaan tak menentu. "Apa, Mas Arya mampu melakukan, itu?"Detik itu Risa seakan berada di atas awan. Pertanyaan Arya langsung melambungkan hatinya, ia bertanya dengan tatapan mata berbinar penuh harap. Namun, lagi-lagi ia harus kembali menelan rasa kecewa saat me