Share

Part 2 Sepi 2

Akan tetapi Ruli memiliki otak yang cerdas. Encer menerima pelajaran. Berbeda jauh denganku yang bebal. Sering Ruli memberikan contekan padaku. Padahal aku nggak pernah meminta imbalan apapun setelah aku membantunya membayar uang sekolah.

Mungkin Ruli kasihan padaku karena selalu salah menjawab dan menjadi bahan ejekan teman dan guru.

Kami menjadi dua sahabat yang selalu bermasalah di sekolah. Ruli dengan keterlambatannya membayar biaya sekolah, sedangkan aku karena kebodohanku.

"Rencanamu apa sekarang?" tanyaku pada gadis yang diam memandang angkasa. Ruli baru saja berhenti kerja di sebuah toko, karena gajinya sangat kecil dan sering terlambat dibayar.

"Belum tahu. Mungkin mencari pekerjaan di pabrik."

"Pabrik mana?"

"Mana saja yang ada lowongan. Aku masih pesen ke teman-teman. Kalau ada lowongan kusuruh ngabarin."

Kami kembali terdiam di balkon kafe.

"Daripada nikah muda, gimana kalau kamu ikut kerja di pabrik saja. Cari pengalaman. Siapa tahu karirmu bagus di sana." Ruli menoleh ke arahku.

Tawaku menyembur. Ruli pun terkekeh. Candaan macam apa ini. Peningkatan apa yang akan kami dapat dengan ijazah SMA. Pasti akan tetap jadi kuli. Staf Production istilah kerennya.

"Mamaku akan mencak-mencak. Aku sudah pernah bilang seperti itu. Mama khawatir kalau ada kenalannya tahu. Mama cemas kalau aku akan menjatuhkan harga dirinya. Daripada kerja di pabrik atau toko, beliau menyuruhku duduk diam di rumah saja. Makan, tidur, dan semua kebutuhan sudah tercukupi."

"Apa Tante Mega nggak lebih malu kalau kamu nikah muda?"

"Enggak. Karena Mas Yoshi seorang pengacara ternama. Dari keluarga terpandang juga. Mama kenal baik dengan keluarga mereka."

"Kamu mencintainya?"

Aku tersenyum. Mungkin memang aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Lelaki yang usianya selisih sepuluh tahun dariku. Dia sangat dewasa dan ngemong. Kurasa persetujuanku tak salah. Menikah dan lepas dari segala aturan mama. Yang memaksakan putri-putrinya perfect di hadapan orang lain.

Ingat sekali bagaimana beliau memuji-mujiku di hadapan teman sosialitanya. Aku yang penurut, kalem, cerdas, dan cantik. Padahal itu hanya untuk menutupi gengsi. Aku tak sepandai yang beliau sebutkan.

Setelah mereka pergi, mama akan masuk kamarku dan mewanti-wanti agar aku jangan sampai mempermalukannya. Semua di atur. Biar aku terlihat sempurna?

Mama memandang kesempurnaan dalam pencapaian prestasi. Baik di bangku akademik atau pekerjaan. Sekali pun kedua kakakku yang begitu glamor itu tak mengenal adanya empati. Tapi bagi mama tetap sempurna. Aku yang bodoh, tapi tahu caranya menghormati, menghargai, dan berempati, tetap dianggap tidak sempurna.

"Kapan kamu di lamar?"

Aku mengangkat bahu. Tidak tahu. Semua ikut aturan mama. Papa hanya sebagai pelengkap status saja di rumah. Sebagai kepala rumah tangga, tapi mama yang mengendalikan semuanya.

"Rul, kita pulang," ajakku mengingat hari sudah sore.

"Ayuk!" Ruli meraih tali tasnya yang usang.

"Kamu jadi mampir ke rumah ibumu?" tanya Ruli di perjalanan. Aku akan mengantarkan gadis itu pulang ke rumahnya.

"Ya. Udah lama aku nggak ke sana."

"Kamu nggak takut diamuk mamamu."

"Udah biasa itu. Aku mampir atau nggak tetap saja dicurigai. Kadang aku nih mikir, apa aku bukan anak kandung mamaku. Kadang dia begitu sengit menatapku dan memakiku."

Ruli tertawa. "Bisanya kamu mikir kayak gitu. Padahal kamu yang mewarisi wajah aristrokat Tante Mega. Malah dua kakakmu nggak ada miripnya sama mamamu. Malah plek ketiplek banget kayak papamu."

Aku tersenyum simpul. Memang kerabat kami bilang, kalau aku persis seperti mama saat masih gadis dulu. Jika foto kami disandingkan, persis anak kembar. Namun kecerdasan mama menurun pada kedua kakakku, sedangkan mama bilang, aku ini bodoh seperti papa.

Sejak aku mulai dekat dengan Tante Eri, istri muda papa, mama makin kasar padaku. Sudah bodoh, malah dekat dengan madunya. Bikin beliau selalu saja punya alasan untuk terus mengatur dan memarahiku.

Jujur saja, Tante Eri memperlakukanku dengan baik, sangat perhatian. Putranya yang bernama Fauzi juga sangat baik. Di sanalah aku menemukan sebuah keluarga. Walaupun aku dulu sempat membencinya. Kenapa dia masuk dalam kehidupan orang tuaku.

Flashback Off ....

Aku diam mematung di dekat jendela dapur. Memperhatikan kupu-kupu yang beterbangan di taman samping rumah. Hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya.

Apa begitu lelaki yang berbagi hati? Seperti papaku dengan dua istri. Dan seperti Mas Yoshi. Ah, apa suamiku seperti itu? Tidak, kan?

Dia hanya menjalin hubungan baik dengan mantan istrinya, demi anak mereka. Mbak Mayang juga baik dan ramah padaku. Dia wanita karir yang sukses. Kadang aku sangat cemburu dalam diam.

Namun Ayunda sangat judes padaku. Dia membenciku. Padahal ibunya sangat baik. Tidak mungkin Mbak Mayang mengajari anaknya untuk membenciku 'kan?

Lamunanku buyar saat ponsel di meja ruang keluarga berdering. Tergesa aku menghampiri. Spontan senyumku terbit saat tahu siapa yang menelpon.

"Assalamu'alaikum, Rul," sapaku antusias.

"Wa'alaikumsalam, Nas. Lagi ngapain kamu?"

"Lagi beres-beres dapur."

"Aku ganggu, enggak?"

"Enggak. Ada apa?"

"Aku cuman mau ngomong sebentar saja. Semoga nggak ganggu kebersamaanmu dengan Mas Yoshi."

"Dia nggak di rumah?"

"Hari Sabtu apa masuk kantor?"

"Enggak. Dia lagi nyambangi anaknya yang sakit."

"Kamu nggak diajak?"

"Enggak."

"Dih, kok masih kayak gitu sih, Nas?"

"Ssttt, nggak apa-apa. Menikah dengan duda, aku harus berdamai dengan masa lalunya, kan."

"Tapi nggak gitu juga kali."

"Eh, kamu ada apa nelepon aku?" tanyaku cepat. Aku malas membahas tentang masalah itu.

"Besok ulang tahun kedua anakku. Kamu datang ya. Aku ngadain syukuran kecil-kecilan di rumah."

"Ashiaapp, aku pasti ke sana."

"Tapi aku nggak ganggu acara kalian kan?"

"Enggak. Aku dan Mas Yoshi nggak ada rencana mau ke luar."

"Oke. Datanglah jam sepuluh, ya. Aku tunggu.''

"Sipp."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Ruli yang menikah setelahku, anaknya sudah berumur dua tahun. Andai dulu aku nggak keguguran, sekarang anakku sudah berumur tiga tahun.

Dulu Ruli yang mengatakan aku selalu beruntung karena tidak kekurangan uang, justru sekarang dia yang sangat bahagia dengan keluarga kecilnya. Meski sang suami hanya kuli bangunan. Tapi mereka bisa melengkapi satu sama lain. Sedangkan aku? Entahlah.

Mau sampai kapan begini. Mas Yoshi bilang, sabar, nanti Ayunda pasti bisa berubah. Padahal sudah empat tahun dan gadis kecil itu tetap tidak menyukaiku.

Di setiap kesedihan, aku selalu ingat Ibu Eri. Bukan Mama Mega, ibu kandungku sendiri. Mama bukannya memberikan simpati, tapi selalu marah jika aku bercerita.

"Kamu kurang sabar. Nggak usah ngeluh. Jadi perempuan itu yang tangguh. Kamu belajarlah pada perempuan simpanan papamu itu. Bagaimana sabarnya dia sampai bisa meluluhkan anak bodoh sepertimu. Hanya dua kakakmu yang nggak mungkin luluh karena mereka cerdas."

Tidak ada kalimat yang tak menyakitkan keluar dari bibir mama.

Next ....

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Lusi
bagus ajay
goodnovel comment avatar
Tumin Neng
babak kedua ...
goodnovel comment avatar
Nuniee
sorrri typo namanya...#Anastasya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status