Akan tetapi Ruli memiliki otak yang cerdas. Encer menerima pelajaran. Berbeda jauh denganku yang bebal. Sering Ruli memberikan contekan padaku. Padahal aku nggak pernah meminta imbalan apapun setelah aku membantunya membayar uang sekolah.
Mungkin Ruli kasihan padaku karena selalu salah menjawab dan menjadi bahan ejekan teman dan guru.Kami menjadi dua sahabat yang selalu bermasalah di sekolah. Ruli dengan keterlambatannya membayar biaya sekolah, sedangkan aku karena kebodohanku."Rencanamu apa sekarang?" tanyaku pada gadis yang diam memandang angkasa. Ruli baru saja berhenti kerja di sebuah toko, karena gajinya sangat kecil dan sering terlambat dibayar."Belum tahu. Mungkin mencari pekerjaan di pabrik.""Pabrik mana?""Mana saja yang ada lowongan. Aku masih pesen ke teman-teman. Kalau ada lowongan kusuruh ngabarin."Kami kembali terdiam di balkon kafe."Daripada nikah muda, gimana kalau kamu ikut kerja di pabrik saja. Cari pengalaman. Siapa tahu karirmu bagus di sana." Ruli menoleh ke arahku.Tawaku menyembur. Ruli pun terkekeh. Candaan macam apa ini. Peningkatan apa yang akan kami dapat dengan ijazah SMA. Pasti akan tetap jadi kuli. Staf Production istilah kerennya."Mamaku akan mencak-mencak. Aku sudah pernah bilang seperti itu. Mama khawatir kalau ada kenalannya tahu. Mama cemas kalau aku akan menjatuhkan harga dirinya. Daripada kerja di pabrik atau toko, beliau menyuruhku duduk diam di rumah saja. Makan, tidur, dan semua kebutuhan sudah tercukupi.""Apa Tante Mega nggak lebih malu kalau kamu nikah muda?""Enggak. Karena Mas Yoshi seorang pengacara ternama. Dari keluarga terpandang juga. Mama kenal baik dengan keluarga mereka.""Kamu mencintainya?"Aku tersenyum. Mungkin memang aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Lelaki yang usianya selisih sepuluh tahun dariku. Dia sangat dewasa dan ngemong. Kurasa persetujuanku tak salah. Menikah dan lepas dari segala aturan mama. Yang memaksakan putri-putrinya perfect di hadapan orang lain.Ingat sekali bagaimana beliau memuji-mujiku di hadapan teman sosialitanya. Aku yang penurut, kalem, cerdas, dan cantik. Padahal itu hanya untuk menutupi gengsi. Aku tak sepandai yang beliau sebutkan.Setelah mereka pergi, mama akan masuk kamarku dan mewanti-wanti agar aku jangan sampai mempermalukannya. Semua di atur. Biar aku terlihat sempurna?Mama memandang kesempurnaan dalam pencapaian prestasi. Baik di bangku akademik atau pekerjaan. Sekali pun kedua kakakku yang begitu glamor itu tak mengenal adanya empati. Tapi bagi mama tetap sempurna. Aku yang bodoh, tapi tahu caranya menghormati, menghargai, dan berempati, tetap dianggap tidak sempurna."Kapan kamu di lamar?"Aku mengangkat bahu. Tidak tahu. Semua ikut aturan mama. Papa hanya sebagai pelengkap status saja di rumah. Sebagai kepala rumah tangga, tapi mama yang mengendalikan semuanya."Rul, kita pulang," ajakku mengingat hari sudah sore."Ayuk!" Ruli meraih tali tasnya yang usang."Kamu jadi mampir ke rumah ibumu?" tanya Ruli di perjalanan. Aku akan mengantarkan gadis itu pulang ke rumahnya."Ya. Udah lama aku nggak ke sana.""Kamu nggak takut diamuk mamamu.""Udah biasa itu. Aku mampir atau nggak tetap saja dicurigai. Kadang aku nih mikir, apa aku bukan anak kandung mamaku. Kadang dia begitu sengit menatapku dan memakiku."Ruli tertawa. "Bisanya kamu mikir kayak gitu. Padahal kamu yang mewarisi wajah aristrokat Tante Mega. Malah dua kakakmu nggak ada miripnya sama mamamu. Malah plek ketiplek banget kayak papamu."Aku tersenyum simpul. Memang kerabat kami bilang, kalau aku persis seperti mama saat masih gadis dulu. Jika foto kami disandingkan, persis anak kembar. Namun kecerdasan mama menurun pada kedua kakakku, sedangkan mama bilang, aku ini bodoh seperti papa.Sejak aku mulai dekat dengan Tante Eri, istri muda papa, mama makin kasar padaku. Sudah bodoh, malah dekat dengan madunya. Bikin beliau selalu saja punya alasan untuk terus mengatur dan memarahiku.Jujur saja, Tante Eri memperlakukanku dengan baik, sangat perhatian. Putranya yang bernama Fauzi juga sangat baik. Di sanalah aku menemukan sebuah keluarga. Walaupun aku dulu sempat membencinya. Kenapa dia masuk dalam kehidupan orang tuaku.Flashback Off ....Aku diam mematung di dekat jendela dapur. Memperhatikan kupu-kupu yang beterbangan di taman samping rumah. Hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya.Apa begitu lelaki yang berbagi hati? Seperti papaku dengan dua istri. Dan seperti Mas Yoshi. Ah, apa suamiku seperti itu? Tidak, kan?Dia hanya menjalin hubungan baik dengan mantan istrinya, demi anak mereka. Mbak Mayang juga baik dan ramah padaku. Dia wanita karir yang sukses. Kadang aku sangat cemburu dalam diam.Namun Ayunda sangat judes padaku. Dia membenciku. Padahal ibunya sangat baik. Tidak mungkin Mbak Mayang mengajari anaknya untuk membenciku 'kan?Lamunanku buyar saat ponsel di meja ruang keluarga berdering. Tergesa aku menghampiri. Spontan senyumku terbit saat tahu siapa yang menelpon."Assalamu'alaikum, Rul," sapaku antusias."Wa'alaikumsalam, Nas. Lagi ngapain kamu?""Lagi beres-beres dapur.""Aku ganggu, enggak?""Enggak. Ada apa?""Aku cuman mau ngomong sebentar saja. Semoga nggak ganggu kebersamaanmu dengan Mas Yoshi.""Dia nggak di rumah?""Hari Sabtu apa masuk kantor?""Enggak. Dia lagi nyambangi anaknya yang sakit.""Kamu nggak diajak?""Enggak.""Dih, kok masih kayak gitu sih, Nas?""Ssttt, nggak apa-apa. Menikah dengan duda, aku harus berdamai dengan masa lalunya, kan.""Tapi nggak gitu juga kali.""Eh, kamu ada apa nelepon aku?" tanyaku cepat. Aku malas membahas tentang masalah itu."Besok ulang tahun kedua anakku. Kamu datang ya. Aku ngadain syukuran kecil-kecilan di rumah.""Ashiaapp, aku pasti ke sana.""Tapi aku nggak ganggu acara kalian kan?""Enggak. Aku dan Mas Yoshi nggak ada rencana mau ke luar.""Oke. Datanglah jam sepuluh, ya. Aku tunggu.''"Sipp.""Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Ruli yang menikah setelahku, anaknya sudah berumur dua tahun. Andai dulu aku nggak keguguran, sekarang anakku sudah berumur tiga tahun.Dulu Ruli yang mengatakan aku selalu beruntung karena tidak kekurangan uang, justru sekarang dia yang sangat bahagia dengan keluarga kecilnya. Meski sang suami hanya kuli bangunan. Tapi mereka bisa melengkapi satu sama lain. Sedangkan aku? Entahlah.Mau sampai kapan begini. Mas Yoshi bilang, sabar, nanti Ayunda pasti bisa berubah. Padahal sudah empat tahun dan gadis kecil itu tetap tidak menyukaiku.Di setiap kesedihan, aku selalu ingat Ibu Eri. Bukan Mama Mega, ibu kandungku sendiri. Mama bukannya memberikan simpati, tapi selalu marah jika aku bercerita."Kamu kurang sabar. Nggak usah ngeluh. Jadi perempuan itu yang tangguh. Kamu belajarlah pada perempuan simpanan papamu itu. Bagaimana sabarnya dia sampai bisa meluluhkan anak bodoh sepertimu. Hanya dua kakakmu yang nggak mungkin luluh karena mereka cerdas."Tidak ada kalimat yang tak menyakitkan keluar dari bibir mama.Next ....(Bukan) Istri Pilihan Part 2 Bertahan Sampai Kapan?Kurang sabar apa aku. Sudah empat tahun terlewati tapi tidak ada perubahan sama sekali. Anak itu makin besar, makin tahu caranya membenci.Kadang aku curiga akan kebersamaan Mas Yoshi dan mantan istrinya. Ini bukan sekedar demi anak. Jika mereka masih saling mencintai, untuk apa dulu bercerai."Jangan-jangan mereka selingkuh, Nas." Ruli berkata suatu hari. Saat aku main ke rumahnya."Nggak ada yang mencurigakan dari Mas Yoshi," jawabku menutupi kegundahan sendiri."Biasanya seorang istri itu, adalah orang yang paling terakhir tahu tentang perselingkuhan suaminya."Ruli benar. Karena mamaku mengalami hal itu. Beliau orang terakhir yang tahu tentang pernikahan kedua papa.Apa aku juga akan mengalaminya? Dadaku berdenyut nyeri. Terkoyak oleh pemikiran sendiri. Apa mungkin suamiku setega itu? Aku memang bukan wanita karir yang punya nama besar seperti mama, seperti kedua kakakku, dan seperti mantan istrinya Mas Yoshi. Tapi aku berusah
Mataku memejam, tapi aku masih bisa mendengar percakapan Mas Yoshi dan Ayun di seberang sana. Mereka memang melakukan video call. Gadis kecil itu ngotot supaya besok papanya datang lagi membawakan mainan. "Papa, harus datang besok!" teriaknya di akhir kalimat sebelum Mas Yoshi menyudahi panggilan.Setelah meletakkan ponselnya di nakas, Mas Yoshi memeluk dari belakang tanpa bicara apa-apa. Tidak juga memberitahuku kalau anaknya menginginkan papanya datang lagi besok.Sampai kapan kehidupan rumah tanggaku seperti ini. Apa karena aku hanya diam dan diam, jadi mereka merasa aku baik-baik saja. Apa karena di sana ada anak, makanya selalu diprioritaskan meski sudah bercerai?Sebab aku belum bisa memberikan keturunan, harus terus mengalah. Begitu?Kadang merasa sakit begini, aku tetap harus melaksanakan tanggungjawabku disaat ia mulai beraksi tak hanya sekedar memeluk. Apa aku selemah itu, hanya sekali saja untuk berkata 'tidak', aku tak mampu. Tetap meladeni dan dia menganggap aku baik-bai
(Bukan) Istri Pilihan Part 3 Maaf Salahku juga. Aku memaksakan diri memberikan sesuatu yang orang lain tidak mau. Namun, tidakkah Mas Yoshi pun tidak bisa menjaga perasaanku? Andai dia buang puding ini, malah lebih aman bukan? Tidak akan ada yang tahu. Pasti aku mengira, Ayunda bisa menerima pemberianku.Dengan hati yang tercabik, aku membawa Tupp*rware masuk ke dalam rumah. Kulihat puding belum basi dan kumasukkan ke dalam kulkas. Besok aku akan memakannya.Beberapa lauk aku keluarkan dari lemari penyimpan makanan. Kupanaskan sebentar, lalu menyiapkan makan malam.Astaga! Kenapa aku tidak tanya dulu dia sudah makan apa belum. Ini kan sudah malam."Mas, sudah makan?" tanyaku pada suami yang kembali turun beberapa saat kemudian.Mas Yoshi mengangguk dengan tatapan penuh rasa bersalah. Tanpa pikir panjang, segera kukembalikan piring ke dalam lemari makanan."Kamu belum makan?" tanya Mas Yoshi sambil menahan lenganku. "Ayo, mas temani. Mas makan habis maghrib tadi. Yuk, kita makan lag
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pergi atau bertahan. Kalau pergi alasanku apa. Tak ada bukti perselingkuhan Mas Yoshi. Dia selalu pulang setiap hari meski kadang larut malam. Jika ke luar kota selalu mengajakku ikut serta. Memang ada beberapa kali dia pergi bersama timnya, tanpa aku.Jika alasanku anak, apa itu alasan yang tepat? Aku yang sudah seumur segini kalah sama anak kecil. Apa cemburu, suami kurang perhatian, sudah pantas kujadikan alasan.Mbak Mayang memang sering menelepon Mas Yoshi saat suamiku itu di rumah. Hanya untuk menceritakan tentang putri mereka. Dan aku hanya diam, karena selalu percaya semua itu demi anak. Mereka tetap menjadi orang tua yang baik setelah berpisah.Pagi-pagi sekali tadi perempuan itu juga sudah menelepon. Aku harus maklum karena anak mereka sedang sakit.Apa aku kurang sabar? Kalau seperti ini dikatakan kurang sabar, lalu sabar itu seperti apa?Aku lelah, tapi aku mencintainya.Aku meraih ponsel di minibar. Panggilanku langsung dijawab."Assal
(Bukan) Istri Pilihan- Siap Berperang "Mas," panggilku kaget karena Mas Yoshi tiba-tiba sudah berdiri di sana. Lelaki itu kemudian duduk di kursi depanku."Apa yang membuatmu berubah pikiran?" Aku mengambil piring dan menaruh tiga cup cake untuk kuberikan pada suamiku. Namun dia tidak menyentuhnya."Kita tunda saja.""Apa alasannya? Kenapa nggak kita bicarakan sejak kemarin?""Apa Mas punya waktu kemarin itu?" tanyaku serius. Aku sudah siap berperang kali ini."Maaf, kalau mas sibuk ngurusi Ayun sakit. Mungkin buatmu ini salah.""Nggak apa-apa. Siapa yang bilang ini salah. Aku pun diam saja nggak pernah protes. Mas, ingin menjadi papa yang baik meski nggak tinggal serumah dengan Ayun.""Mas banyak pekerjaan, banyak pikiran, karena ada kasus besar yang sedang kami tangani. Mas minta maaf kalau kurang perhatian akhir-akhir ini."Aku mengangguk. Aku harus selalu mengerti. Dia bilang banyak pekerjaan yang menyita waktu dan pikiran, tapi waktu untuk mereka selalu ada. Dia memang tidak p
Saat itu menjadi hari-hari yang sulit. Papa dan mama nyaris bercerai. Tak ada kedamaian di rumah. Selalu saja ribut dan ribut. Ah, sebenarnya mama saja yang mengamuk. Papa hanya diam karena merasa bersalah.Pada akhirnya mereka tidak jadi bercerai. Mama memikirkan reputasi yang bakalan hancur lebur. Orang-orang di luar sana menganggap kedua orang tuaku adalah pasangan yang serasi dan harmonis. Demi selalu dianggap sempurna, sampai mama sanggup bertahan dengan sesuatu yang menyakitkan ini. Aku kasihan. Meski mama selalu pilih kasih.Mama mengajukan syarat, bahwa sampai kapanpun tidak akan mau menandatangani surat pernyataan izin poligami. Jadi Bu Eri akan tetap menjadi istri siri dan tidak boleh di akui di depan publik.Namun setelah sekian lama, pasti sebagian relasi, partner bisnis, sudah tahu. Hanya saja mereka diam atau menggunjing di belakang.Dulu saat mama hamil aku, beliau menginginkan anak laki-laki. Supaya ada yang meneruskan tahta perusahaannya. Tapi ternyata lahir perempuan
(Bukan) Istri Pilihan - Keputusan Besar Aku kehilangan jejak. Padahal jarak antara mereka dan aku saat masuk mall tidak lama. Lagian kenapa anak baru sembuh sudah diajak nge-mall. Apa tidak takut typus-nya kambuh lagi.Dadaku bergemuruh. Sungguh ini lebih sakit daripada sebelumnya. Aku terlalu terlena dengan kata 'baik-baik saja' selama ini. Aku yang polos atau aku yang bodoh.Mungkin mereka tengah makan. Aku naik eskalator ke lantai empat. Di mana pusat game dan food court berada.Ternyata benar. Mereka duduk di kedai western food. Karena pengunjung belum seberapa ramai, jadi gampang untuk mencari. Potret keluarga bahagia terpampang di depan mata. Dari balik pilar besar aku melihat mereka. Dipuncak rasa sakit ini, justru aku tidak bisa menangis. Dipuncak rasa kecewa, aku begitu tenang, tidak gemetar seperti biasanya. Walaupun aku sangat bisa merasakan sesakit apa ini. Kulihat Mas Yoshi berdiri untuk mengambilkan air mineral buat anaknya. Seorang pelayan datang mencatat pesanan. K
"Ibu nggak bisa memaksamu bertahan atau membenarkanmu berpisah. Ibu tahu kamu akan mengambil keputusan yang terbaik. Empat tahun kamu bertahan seperti ini. Ibu akan selalu berada di belakangmu, Nak. Apapun pilihanmu.""Makasih banyak, Bu.""Lanjutkan niatmu untuk kursus. Ibu dukung. Tadi malam Fauzi sudah cerita ini ke ibu.""Aku akan memulai secepatnya.""Iya.""Gitu aja, Bu. Nanti kukabari lagi. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Baru saja kuletakkan ponsel di mini bar, terdengar suara mobil Mas Yoshi memasuki garasi. Aku malas melihatnya. "Maaf, mas harus nganterin Ayun pulang dulu," ucapnya sambil duduk di depanku.Aku tak menjawab. "Nas, maafkan mas. Jangan salah paham."Apa selama menikah aku nggak cukup paham? Bukankah selama ini aku selalu memahami semuanya, bahkan yang menyakitkan sekalipun."Sayang," panggilnya. Untuk kali pertama aku muak dengan panggilan itu. "Maafkan mas. Maafkan Ayun yang berkata seperti tadi.""Siapa yang ngajarin dia bilang seperti itu? Kami hamp