"Apa katamu?" Wisnu bertanya dengan lirih. Ekspresi wajahnya sulit untuk dijelaskan, antara terkejut juga tidak percaya.Diandra diam, napasnya naik turun akibat menahan isak dalam dada. Rasanya begitu sesak sekarang."Diandra Safa, katakan apa maksudmu!"Penekanan pada tiap kata yang dilontarkan Wisnu kian mengiris perasaan Diandra. Ia takut, benar-benar takut akan kehilangan pria di hadapannya ini."Aruna, dia hamil anak kamu," sahut Diandra lirih.Air mata yang semula coba ia tahan pada akhirnya jatuh, luruh bersama isak kecil yang coba ia redam dengan bungkaman telapak tangan."Darimana kamu tahu? Kemaren Aruna bilang kalau hasilnya negatif."Mencoba denial. Wisnu masih saja berusaha meyakinkan diri jika apa yang dikatakan Diandra adalah salah."Aku lihat sendiri hasilnya saat Aruna membuang itu di tempat sampah. Jelas di sana tertera dua garis yang menandakan kalo dia sedang hamil."Menggeleng, Wisnu menggelengkan kepalanya tidak percaya. Pria itu juga meremas rambutnya sendiri
Ponsel milik Chandra bergetar, pria itu mengalihkan fokusnya dari laptop ke arah ponsel."Halo?""Dimana kau?""Kenapa kau bertanya, tentu saja di perusahaan," jawab Chandra agak sewot.Wisnu yang ada di seberang panggilan menghela napas, terjadi jeda selama beberapa saat sebelum pria di seberang telepon kembali mengajukan pertanyaan."Gimana Aruna?"Dahi Chandra mengernyit, kenapa Wisnu tiba-tiba menanyakan soal Aruna padanya?"Kenapa?""Nggak papa, cuma nanya. Kamu kan yang nganterin Aruna ke rumah kedua.""Iya. Tumben amat nanyain Aruna.""Yasudahlah, kembali kerja aja sana."Panggilan tiba-tiba terputus, Chandra jadi terheran dengan sikap Wisnu yang mendadak aneh.Sementara itu, Wisnu mengusak rambutnya kesal. Bertanya pada Chandra juga tidak ada gunanya.Apa ia harus menyusul Aruna sekarang? Tapi kondisinya sedang tidak pas. Diandra masih dalam mood yang kurang baik, apalagi jika menyangkut soal Aruna. Dirinya tidak mungkin makin menambah kesal istrinya bila tahu ia akan pergi m
Pukul lima pagi saat ponsel milik S9fie berdering nyaring, membuat tidur nyenyak nya seketika terganggu.Gadis itu meraba nakas, matanya memicing masih setengah sadar. Bukan, itu bukan suara alarm miliknya. Masih terlalu pagi baginya untuk bangun. Suara berisik pagi itu berasal dari panggilan Chandra. Sudah sekitar kali ketiga pria itu terus menelponnya, ia masih belum juga menyerah meski sebelumnya Sofie selalu me reject panggilan pria itu.Sekali lagi, Sofie menolak panggilan dari Chandra. Ia memilih untuk kembali bergelung dalam selimut dan melanjutkan mimpi tertundanya.Begitu rencana awalnya, tapi rencana hanyalah rencana.Panggilan telepon memang terhenti, tapi tergantikan dengan suara kerikil yang menghantam kaca jendela kamar. Hal itu sama saja membuat Sofie tidak bisa kembali ke alam mimpinya.Gadis itu mendengkus, dengan kekesalan level dewa ia menyingkap selimut dengan kasar. Berjalan ke arah jendela dan membukanya dengan lebar.Di bawah, tampak Chandra tersenyum puas. Pr
Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban Dari Aruna. Wisnu kembali meraih bahu wanita itu, merematnya sedikit kuat hingga Aruna meringis menahan sakit."Jawab aku Aruna, Jawab!""Sakit," rintihnya.Namun seolah tuli, Wisnu tudak menghiraukan rintihan Aruna. Pria itu masih saja menatap wanita itu juga memaksanya untuk menjawab pertanyaan yang ia ajukan."Apa yang kau lakukan, brengsek!"Chandra datang dan langsung menarik baju Wisnu, mendorong pria itu hingga tersungkur. Chandra yang merasa kesal hampir saja membubuhkan sebuah bogem mentah ke arah si lelaki jika tidak dengan segera Sofie manahan aksinya."Semuanya nggak bakal selesai dengan cara kekerasan. Lebih baik sekarang kita duduk dan selesaikan semuanya dengan kepala dingin," kata gadis itu menengahi."Kamu nggak papa?" Sofie menghampiri Aruna. Wanita itu menggeleng, ia hanya terkejut juga sedikit takut dengan perubahan sikap Wisnu yang begitu agresif.Seperti yang dikatakan Sofie sebelumnya, empat orang dewasa itu berkumpul.
Suasa begitu canggung. Aruna sejak tadi terus melihat ke sekeliling, memperhatikan apa saja selain harus bertatapan dengan Wisnu yang sudah sejak tadi tersenyum ke arahnya tanpa henti.Juga genggaman tangan pria itu yang terasa kian erat tiap detiknya. Benar-benar membuat jantung Aruna seakan dipompa dua kali lebih cepat dari biasanya."Tidak perlu dilihat sampai sebegitunya, aku tidak akan kemana-mana."Memberanikan diri, Aruna berkata. Sungguh, ia masih belum terbiasa dengan perubahan sikap Wisnu sekarang.Itu lebih ekstrem dibandingan kedekatan mereka sebelumnya. Dan jujur saja, pertahanan Aruna bisa-bisa akan goyah jika hal itu terus berlanjut.Ia masih harus memiliki kesadaran dimana dan siapa dirinya di sini.Wisnu mungkin masih di masa begitu bahagia karena apa yang dinantikan nya selama ini sudah ada dalam rahimnya. Tapi Aruna juga tidak boleh lupa sedalam apa perasaan pria itu pada Diandra."Maaf, maaf. Apa aku terlalu berlebihan?"Demi Tuhan! Tidak bisakah Wisnu bertanya den
Menghela napas, Diandra memilih untuk mengikuti permainan Wisnu kali ini. Berpura-pura tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."Mau makan?" tawarnya."Tidak. Aku akan mandi sekarang, lebih baik kau beristirahat saja, hari sudah malam."Tanpa bantahan, Diandra berjalan ke arah kamar. Di pertengahan anak tangga wanita itu menoleh, mengamati Wisnu yang tengah membereskan jas juga tasnya sendiri.Menyadari Diandra yang tengah memperhatikannya, Wisnu tersenyum. Tapi yang tidak pria itu tahu, perbuatannya saat itu justru kian menyakiti perasaan Diandra.Diandra sudah terbaring di atas ranjang saat suara pintu kamar mandi terbuka. Wisnu baru saja selesai membersihkan diri.Setelah menggosok rambutnya sendiri dengan handuk, pria itu turut menyusul Diandra di ranjang. Bukan, Wisnu tidak langsung tertidur. Ia justru asyik dengan ponselnya sendiri, mengabaikan Diandra yang terbaring memunggungi dirinya.Mungkin pria itu berpikir jika Diandra sudah tertidur, meski sebenarnya belum. Ia masih terj
"Siapa?" Chandra mendekat, turut melihat siapa kira-kira yang datang bertamu di pagi hari seperti sekarang."Diandra," ucap pria itu lirih.Wanita yang disebut namanya itu hanya tersenyum tipis. Ia menyerahkan satu keranjang buah pada Aruna."Boleh aku masuk?" tanya Diandra.Dengan tergagap Aruna menggeser tubuhnya ke sisi kanan agar Diandra bisa masuk ke dalam rumah.Wanita itu mengamati sekeliling, tersenyum kecil dan duduk pada sofa ruang tamu."Biar aku yang menemani Diandra dulu, kau buatlah minuman," ucap Chandra kemudian.Aruna mengangguk. Saat wanita itu hendak beranjak ke dapur, suara Diandra lebih dulu terdengar."Tidak perlu repot, duduklah di sini dan temani aku mengobrol sebentar," katanya.Aruna dan Chandra saling berpandangan selama beberapa detik. Pada akhirnya Aruna menurut, ia menyerahkan keranjang buat pada Chandra dan duduk pada sofa panjang tepat di samping Diandra yang duduk di sofa tunggal.Suasana cukup awkward saat itu. Aruna sendiri tidak tahu harus berkata
Cuaca kota Bandung saat itu cukup bersahabat. Tidak panas tapi juga tidak hujan, sejuk.Cuaca yang pas untuk sekadar berjalan-jalan di sekitar gedung sate, ataupun berkeliling mencari seblak contohnya.Tapi tidak dengan Wisnu. Pria itu baru saja selesai membersihkan diri, ia melihat suasana Kota Bandung dari jendela kamar hotel tempatnya menginap.Ia jadi kembali teringat percakapannya dengan Diandra lewat sambungan telepon pagi tadi."Wisnu, apa kamu sudah mulai ngerasa nyaman dengan Aruna?"Pertanyaan singkat yang nyatanya bisa membuat Wisnu seakan ditusuk belati tajam. Ia hanya bisa terdiam dengan tatapan mata ke segala arah.Meski Diandra tidak bisa melihatnya sekarang, entah mengapa Wisnu benar-benar merasa gugup."Wisnu," sekali lagi Diandra memanggil."Ya?""Aku hanya ingin mengatakan ini satu kali padamu, jadi tolong dengarkan baik-baik," titahnya.Wisnu berdeham saja, ia harus berhati-hati juga menata apa-apa saja kata yang akan keluar dari mulutnya. Ia tidak ingin membuat Di