Aku, Anggi dan Miko sedang berwisata ke Baturaden. Beberapa tempat wisata di sana kami singgahi, mulai dari The Garden, Small World, lokawisata Baturaden, pancuran telu hingga pancuran pitu.
"Capek," keluh Anggi."Banyak yang berubah ya Nggi.""Iya Mbak, Baturaden makin banyak spot wisatanya. Terutama buat tempat selfi.""Iya.""Mbak Ambar lihat deh?"Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Miko, saat ini kami berada di Small World, lokasi terakhir yang kami kunjungi."Iya. Foto yuk."Kami bertiga pun berfoto. Ketika asik berfoto, ada seseorang yang memanggil Anggi."Anggi.""Eh, Dika. Mbak, Miko kenalin ini Dika temen kuliahku dulu."Kami berkenalan. Kebetulan Dika juga datang bersama beberapa rekannya. Dika dan Anggi mengobrol seru pun dengan Miko yang sepertinya kenal dengan Dika.Salah satu rekan Dika menatapku sejak tadi membuatku kikuk. Aku memilih bermain dengan ponselku.Cukup lama mereka berbincang hingga Dika dan rombongannya pamit. Sebelum mereka pergi, Dika menghampiri kami."Mbak Ambar, salah satu temenku mau minta nomer Mbak Ambar, boleh?""Hah?" Aku melongo."Boleh. Ntar aku kirim ke nomer kamu Dik," serobot Anggi. Aku memelototinya sedangkan Anggi hanya tertawa."Oke. Namanya Mas Syam. Makasih Anggi. Dah ...."Begitu mereka pergi aku langsung memarahi Anggi."Anggi, kamu gak boleh gitu!""Gak papa kali Mbak. Kan cuma kenalan, syukur jadi jodoh.""Iya Mbak, Miko lihat temannya Mas Dika tadi cakep kok.""Tapi gak gitu juga kali. Lain kali kalian kasih nomer mbak ke cowok, mbak gak bakalan pegang HP lagi."Setelah itu aku langsung pergi meninggalkan kedua adikku. Bukan sekali ini mereka memberikan nomerku pada lelaki. Berkali-kali. Sebal.Saking sebalnya aku memilih duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Menatap sekeliling dengan sesekali mengambil nafas untuk meredam emosi. Anggi dan Miko duduk tak jauh dariku. Mereka tahu jika aku sedang emosi, akan lebih memilih menyendiri dan tak ingin diganggu. Karena jika diganggu, mereka bakalan kena murkaku.Notifikasi di HP-ku menyita perhatianku. Ternyata ada beberapa pesan termasuk dari nomer tak dikenal yang menempati urutan teratas.0857xxxxxxxx[Hai, salam kenal. Syam.]Langsung aku blokir nomer itu. Malas menanggapi. Aku langsung membaca chat selanjutnya dari Tuti.*Tuti*[Mbar, aku lihat status W* temanku anak Pati. Nih, aku kirim SS-nya.]Sebuah foto yang terdiri dari beberapa orang. Mereka kumpulan penggemar moge. Namun yang membuatku sedih adalah salah seorang di foto itu serta background dari foto itu. Itu adalah salah satu sudut kota kecamatan tempat tinggalku.Ya Allah, Ilo. Apa maumu sebenarnya? Kamu lama tak berkabar, janjimu untuk main pun tak kunjung direalisasikan. Bahkan kamu mengunjungi kotaku, tapi tak selintas pun ingin bertandang. Jangankan bertandang, memberi kabar pun kamu enggan."Mbak, maafin Anggi ya. Anggi janji gak bakalan ngasih nomer Mbak lagi.""Kamu tahu Nggi, bagi orang kayak mbak. Kenalan sama lelaki itu harus dipikir matang-matang. Cukup di rumah, mbak dinyinyiri sama orang. Perawan tualah, pilih-pilih jodoh lah, perayu lah. Dan kamu gak perlu nambahin beban Mbak Ambar. Kalau kamu mau nikah sama Aris, mbak gak masalah kamu langkahi lagi. Dari pada setiap hari mbak sama kamu cuma ribut gara-gara kamu selalu ngasih nomer mbak ke cowok.""Mbak ...." Mata Anggi mulai berkaca-kaca. "Nikah itu ibadah seumur hidup, mbak gak mau asal milih suami. Kalau Aris memang serius sama kamu, buktikan! Mbak tunggu kedatangannya sama keluarga dia."Setelah mengucapkan kalimat itu, aku langsung berjalan ke arah motor, sengaja kukendarai motor matic sendiri. Anggi kubiarkan membonceng Miko dengan motor Mega Pro-nya.****
Selang dua minggu, keluarga Aris akhirnya datang. Mereka meminang Anggi secara resmi. Anggi berulang kali meminta maaf padaku, namun dengan lembut aku memberinya pengertian bahwa aku ikhlas.
Sekuat-kuatnya aku, tetap ada sudut hatiku yang terluka namun semuanya kukembalikan pada takdir dari Allah yang sudah menjadi ketetapan-Nya.Namun sepertinya tidak dengan ibu. Kulihat mata tua itu seringkali menatap nanar padaku. Berulang kali aku memergokinya berusaha menghapus air mata. Bahkan setiap malam, aku bisa mendengar tangisan lirih dari kamarnya. Aku yakin diantara semua orang, dialah yang paling tak bisa menerima jika putri sulungnya sekali lagi harus dilangkahi.Rupanya, mulut nyinyir tetangga benar-benar membuat kondisi ibu drop. Ibuku yang tangguh akhirnya tumbang. Anggi semakin merasa bersalah. Ingin dia memutuskan lamaran namun berulangkali kukatakan bahwa semua sudah terjadi. "Gak usah nangis lagi. Masalah Ibu, biar jadi urusan Mbak Ambar. Kamu fokus sama persiapan pernikahan kalian saja.""Mbak ....""Semua sudah terjadi Anggi, hari sudah ditentukan dan itu kurang dari dua minggu lagi. Kamu gak mungkin mundur. Percaya sama Mbak Ambar ya.""Hiks ... hiks ... maaf Mbak. Anggi bener-bener minta maaf. Anggi sendiri bingung. Awalnya Anggi mau nungguin Mbak, tapi ibunya Aris juga sakit-sakitan. Beliau minta kami segera menikah.""Gak papa. Mending kalian cepet nikah daripada lama pacaran ujungnya malah gak jadi itu lebih 'ngisin-ngisini (malu-maluin)'. Lagian kamu gak mungkin mengelak kalau emang udah jodohnya."Anggi menghambur ke pelukanku. Kupeluk Anggi dengan penuh kasih. Kubelai kepalanya yang berbalut kerudung.Saat aku masih menenangkan Anggi kulihat sosok Miko yang menatapku dengan tatapan yang ... entahlah. Mata itu tampak sedih, terluka dan ... marah.*****
Aku duduk di samping Miko. Kami memandang bulan sabit dari halaman belakang rumah dimana sekelilingnya sudah terpasang tembok setinggi dua meter.
"Mbak.""Iya.""Mbak tahu kenapa Miko gak mau kerja jauh?""Karena kamu mau jaga Ibu sama mbak kan?""Iya. Kalian adalah dua wanita paling berharga dalam hidup Miko. Karena kalian Miko jadi tahu arti hidup dan berjuang."Aku membelai kepala Miko penuh sayang."Miko, hidup memang seperti ini. Kayak roller coaster."Miko hanya diam, aku pun ikut diam. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing."Mbak.""Iya.""Apapun yang terjadi jangan balik lagi ke Hongkong ya?"Aku menoleh ke arah Miko. Terlihat matanya penuh harap."Meski banyak nyinyiran dan kesedihan. Jangan lagi ke sana ya Mbak. Karena Miko gak akan biarkan Mbak balik lagi. Miko hanya akan mengijinkan Mbak Ambar pergi dari rumah ini jika nanti ada lelaki baik yang berjanji akan menjaga Mbak Ambar seumur hidupnya." Miko mengatakan dengan suara mantap dan binar mata penuh tekad.Aku terharu mendengarnya."Selama belum ada sosok yang akan menjaga Mbak Ambar. Maka biarlah Miko yang akan menjaga Mbak Ambar."Lagi, aku terharu mendengar ucapan Miko. Refleks aku memeluknya. Dan kami pun menangis bersama-sama.Aku menatap banyaknya hantaran pernikahan yang ada di depanku dengan tatapan sedih. Meski hati mencoba ikhlas tapi tetap saja nyeri.Ini kali ketiga aku akan menyaksikan, seorang lelaki menjabat tangan Pakdhe Rusdi, kakaknya bapak.Tepukan halus mendarat di bahuku membuatku kaget."Pakdhe.""Jangan melamun.""Enggak Pakdhe, cuma lihat-lihat, hantarannya banyak banget.""Kamu nanti lebih banyak.""Amin.""Bapakmu bakalan bangga sama kamu, Mbar."Aku tersenyum. Kupandangi wajah pakdhe yang tersenyum kearahku. Gurat wajahnya begitu mirip dengan adiknya, almarhum bapak."Kamu itu putri kebanggaan Rasdi. Setiap cerita tentang kamu. Binar mata Rasdi selalu terlihat. Dari kamu kecil sampai besar. Rasdi selalu bangga sama kamu. Begitupun pakdhe."Pakdhe mengelus kepalaku yang berbalut kerudung."Kamu itu wanita yang kuat. Kalau jatuh, kamu harus bangkit. Ada kami semua yang senantiasa mendoakanmu.""Iya Pakdhe.""Tunjukan
"Jadi muncaknya?""Jadilah Mbar, aku udah siapin semuanya. Sabtu pagi kita berangkat.""Oke."Sabtu pagi, aku, Joko dan Miko menuju ke Boyolali. Kami akan mendaki gunung Merbabu melalui jalur Selo."Ckckck. Beneran mantan Pradani SMANSA ini.""Kamu juga, mantan si Bolang. Hahaha.""Ya ampun. Gak kece banget julukannya. Tapi iya sih. Hahaha.""Capek Mik?""Enggak Mbak. Kan Miko udah biasa naik gunung."Aku menepuk bahu adikku. Aku sungguh bangga padanya."Mbak Ambar lihat?""Sabana?"Kami segera mengambil beberapa foto di padang sabana. Berbagai pose dari biasa, lebay, alay dan jablay."Ayok semangat. Kita hampir sampai di pos perkemahan."Kami membangun dua tenda. Setelahnya mulai memasak dengan menggunakan kompor portabel.Sesekali bercanda dan tertawa sambil menikmati secangkir kopi dengan sosis panggang yang lezat."Ambar."Aku menoleh ke sumber suara. Dahiku mengernyit."Syam. I
Begitu bus berhenti di terminal Gumilang, aku segera turun. Rupanya Joko dan Miko tepat berada di belakangku."Mbar, kamu kok jalannya cepet banget sih?""Biar segera dapat angkot, Jok. Tahu sendiri kalau jam segini angkot penuh. Kita harus rebutan sama para pedagang. Ayuk.""Ambar." Suara teriakan menghentikan langkah kami. Agh sial, mau tak mau aku pun berbalik dan mencoba tersenyum. Dalam hati berdoa semoga sisa perileran di wajahku sudah hilang."Kalian mau kemana?""Nyegat angkot lah Syam." Joko yang menjawab."Naik mobil aja, mobilnya Syafiq sih.""Gak usah! Kita naik angkot. Ayok."Aku menarik lengan Joko dan Miko namun sekali lagi Joko berulah."Ikut aja sih, lumayan irit duit. Ya kan Syam?""Iya.""Lagian Syafiq gak keberatan kan kita ikut?""Enggak," sahut Syafiq kalem."Yuk ah," ajak Syam antusias.Aku menatap Syam, Rafi dan Syafiq dengan ragu kemudian mengalihkan pandangku, ah malah gambar peta p
Aku duduk dengan gelisah, sesekali melirik daun pintu yang terbuka. Sekilas terlihat Bu Sarni dan Bu Atun memandang ke arah kami."Kamu kenapa Mbar?""Oh, gak papa."Tidak mungkin aku bilang kalau aku merasa risih dengan kedatangan mereka berdua.Syam seperti biasa terlihat santai dan pandai mencari topik obrolan. Dia tengah mengobrol seru dengan Miko sedangkan Rafi lebih banyak menyimak. Aku sesekali menanggapi pertanyaan Syam. Selebihnya memilih diam.Kurang lebih setengah jam Syam bertandang kemudian keduanya pamit hendak ke Purwokerto."Aku balik Purwokerto dulu ya Mbar. Mulai senin, perkuliahan sudah aktif lagi. Aku pulang ke rumah kalau weekend aja.""Ngekost?""Iya masih ngekost. Mau gimana lagi? Kalau uangku banyak kayak Syafiq pasti aku udah punya rumah sendiri. Hahaha.""Oh.""Cuma oh aja?""Ya aku harus ngomong apa?""Ya semangatin gitu biar bisa segera punya rumah sendiri.""Amin. Semoga dimudahkan.""
Aku tengah duduk merenung sambil menatap aktivitas orang-orang di Terminal Purwokerto. Tuti sedang membeli beberapa camilan dan air mineral."Nih.""Makasih.""Kamu mau aku temani ke mana dulu?""Disini aja dululah Tut, lagian baru jam enam.""Okelah. Nih makan, aku pesenin dua cup."Aku dan Tuti menyantap cup Andaimie yang ditambahi dengan lima butir bakso didalamnya."Enak ya Tut.""Biasa aja. Tapi biasanya orang patah hati gak nafsu makan. Kok kamu beda?""Bedalah. Walau patah hati, aku harus tetap waras.""Hahaha."Kami asik makan dan sesekali tertawa membahas berbagai hal secara acak."Mbar.""Hem, bukannya itu Syam."Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Tuti, mataku membulat. Syam terlihat sedang mencari-cari sambil menghubungi seseorang dengan ponselnya."Tut, cepetan kabur!" Aku menarik tangan Tuti dan langsung mengajaknya pergi. Bahkan kini kami berlari."Kenapa?" Tuti ikut berlari.
"Mbak Ambar makasih ya. Udah nemenin Anggi.""Gak papa. Mumpung Mbak belum repot. Ini beneran kamu resign jadinya?""Iya Mbak. Habisnya, Aris dipindah ke Temanggung. Mana jabatannya lumayan lagi.""Iya. Kamu ikut suami aja. Kalau bisa sih suami istri jangan pisah. Yang gak pisah aja banyak masalah apalagi yang pisahan.""Hehehe. Mbak Ambar kayak pawang rumah tangga aja.""Kalau mbak udah jadi pawang, mbak udah lama nikah Nggi."Tiba-tiba saja mimik muka Anggi berubah. Aku yang sadar salah ngomong langsung menggenggam tangan Anggi."Lupain omongan mbak, ya. Emang udah jalannya mbak kayak gini. Inget, kamu udah bahagiain ibunya Aris disisa umurnya. Ini juga kamu harusnya seneng bisa langsung isi." Aku membelai perut Anggi.Anggi tersenyum lalu memelukku."Pokoknya Mbak Ambar bakalan dapet yang lebih baik dari Mas Wahid, Mas Ragil sama Aris.""Amin. Udah ah ngapain mewek. Kamu tadi bilang mau makan di 'Super Sambel' tapi gak boleh banya
Seperti biasa aku sedang membantu ibu di warung. Suasana warung ramai seperti biasa. Hanya saja kunjungan para bapak sudah mulai berkurang dan digantikan para ibu berdaster yang keponya gak ketulungan tentang hidup Ambar, si perawan tua."Mbar.""Iya Bu Atun.""Cowoknya gak dateng lagi?""Oh, dia kan kerja Bu, jadi gak bisa datang setiap hari."Inilah pertanyaan yang harus kujawab setiap hari selama sebulan ini. Semenjak memutuskan melepas kenangan bersama Ilo, aku memang lebih terbuka dengan kehadiran Syam. Chat dan telepon darinya kini tak kuabaikan. Beberapa kali dia main ke rumahku. Kadang sendiri kadang dengan Rafi atau Syafiq.Tanggapan Pakdhe, Budhe dan Joko sangat antuisas. Pun dengan ketiga adik perempuanku yang sudah pernah bertemu Syam. Ibu dan Miko sendiri memilih memasrahkan semuanya padaku. Mereka hanya berharap yang terbaik untukku."Eh Mbar, kali ini jangan sampai lepas ya. Ganteng loh, cocok sama kamu.""Iya Mbar,
"Mbar.""Iya?""Maukah kamu menikah denganku?"Deg. Aku melotot, jantungku berhenti berdetak. Aku dilamar?Kami saling menatap. Keheningan menyelimuti kami berdua. Cukup lama tak ada satupun yang bersuara."Mbar.""Ambar!""Hah? Apa?!""Aku tanya sama kamu? Maukah kamu menikah denganku? Aku serius. Kalau kamu setuju. Aku akan melamarmu segera secara resmi."Aku terdiam. Bingung. Jujur aku shock, bagaimana mungkin seorang Syam yang sempurna tertarik padaku? Aku hanya wanita biasa. Mantan TKW, dan cuma lulusan SMA."Aku cuma lulusan SMA, Syam?" lirihku."Ya gak masalah.""Umurku udah tiga puluh.""Aku juga tiga puluh punjul sepuluh bulan.""Aku 'wong ndeso' gak kayak kamu.""Aku juga orang desa, Ambar. Cuma sekarang seringnya di kota.""Aku yatim.""Ck. Ambarwati, kamu kenapa sih? Kenapa kamu jadi minder begini? Denger ya Ambar! Aku menerima kamu apa adanya. Jadi, jangan tolak aku ya