“Sebenci itukah kamu sama papa?” tanya Abizar dengan suara yang sedih dan tanpa terasa dua bulir bening jatuh di pipinya.Langit memalingkan wajahnya, dadanya terasa sesak saat melihat seseorang menangis di depannya. Dan apalagi yang dilihatnya saat ini adalah seorang lelaki yang harusnya tegar dan kuat akhirnya meneteskan air matanya karena ulahnya.“Aku tidak pernah membenci siapapun. Dan aku juga tidak peduli lagi apakah aku punya orang tua dan tidak. Aku sudah bersyukur memiliki ibu yang sudah seperti ibu kandungku sendiri. Jadi, jangan pernah merasa bersalah, kalau tidak kalian buang aku tidak akan merasakan pengalaman hidup seperti ini,” jawab Langit menenggak habis kopinya.Hatinya juga sesak melihat Abizar menangis. Dan entah mengapa melihat hal itu Langit menjadi yakin kalau lelaki yang berada di hadapannya ini memang ayah kandungnya.“Oh iya satu hal lagi. Apakah Tuan juga menyadap ponselku? Kenapa bisa tahu kalau Tuan Fargo mengancamku?” tanya Langit yang baru sadar dengan
“Bu…,” panggil Langit dengan suara pelan.Dia panik, namun saat mendengar suara ibunya dia semakin yakin kalau terjadi sesuatu kepada ibu dan adiknya di panti. Langit mencoba menguasai emosi dan rasa ke khawatirannya.“Langit, kamu dimana, Nak?” tanya bu Juni akhirnya.Dan Langit bisa mendengar kalau sebenarnya ibunya saat ini sedang menangis. Entah apa yang terjadi, wanita paruh baya itu masih sempat bertanya dimana Langit tinggal. Mungkin beliau juga sangat mengkhawatirkan anak asuhnya itu, sebab kemarin Langit sempat menceritakan kalau dia diusir dari rumah Tuan Fargo.“Aku ada di apartemennya Jingga, Bu. Jangan khawatir, saat ini masih menjaga Biru,” jawab langit.“Ada apa sebenarnya, Bu? Mengapa ibu menangis?” tanya Langit yang sudah tidak sabar mau mendengar masalah yang dihadapi oleh ibunya.Langit tidak bisa menunggu.“Panti kita digusur. Besok pagi mereka akan merobohkan panti ini,” jawab Bu Juni yang tampaknya sudah mulai sedikit tenang.Deg!Jantung Langit rasanya berhenti
“Katakan mengapa kau lakukan ini, hah?” tanya Langit yang belum juga melepaskan cengkeraman tangannya.Jingga berusaha memberontak dan melepaskan diri dari cengkeraman Langit. Namun, karena tenaga Langit lebih kuat. Pastinya tidak mudah untuk melepaskan diri. “Langit! Apa yang kamu lakukan?” tanya Jingga dengan suara yang tercekat.Seketika Langit tersadar dengan apa yang dilakukannya, dan langsung melepaskan tangannya dari Jingga.Uhuk! Uhuk!Jingga terbatuk-batuk dan berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Dia baru pertama kalinya melihat Langit sampai semarah ini. Padahal Jingga juga tidak tahu apa yang terjadi, dan mengapa Langit melakukan itu sambil menyebut panti asuhan.Jingga memang tahu dengan panti asuhan yang dulu menjadi tempat tinggal Langit. Dan Jingga juga mengakui kalau dia sempat mengancam Langit dengan panti asuhan itu. Tapi, apa yang Langit katakan malam ini Jingga benar-benar tidak mengerti.Mereka baru saja pulang dari rumah sakit dan pindah ke apartemen i
“Aku belum terbiasa,” jawab Langit pelan.Langit menghela nafas berat, dia tidak tahu apakah dia akan percaya dengan semua yang dikatakan oleh Abizar atau tidak. Yang terpenting saat ini adalah dia harus menyelamatkan panti asuhan terlebih dahulu.“Tidak usah cemas, besok pagi akan papa selesaikan,” ujar Abizar lagi.“Terima kasih,” ucap Langit sebelum menutup sambungan telepon tersebut.Tut!Sambungan telepon terputus, Langit kembali menyalakan rokoknya. Akhirnya tidak ada pilihan lain, dia harus meminta bantuan Abizar. Lelaki yang baru saja ditemuinya beberapa hari yang lalu dan mengaku sebagai papa kandungnya.Pfuuuh!Langit membuang asap yang memenuhi rongga tenggorokannya. Ada rasa lega dan juga beban baru yang secara bersamaan memenuhi hatinya. Dia lega karena akhirnya bisa menyelamatkan panti asuhan, meskipun dia belum tahu hasilnya.Dan juga ada beban baru di dalam dadanya, yaitu dia harus mengakui kalau Abizar adalah benar ayah kandungnya. Sedangkan dia tidak tahu kebenaran i
“Bapak siapa?” tanya bu Juni keheranan saat mendengar jawaban dari Abizar.Bu Juni juga memandang Langit dan Abizar secara bergantian. Bahkan beliau tidak sempat mempersilakan masuk saking herannya dengan apa yang dia dengar ini.“Langit?” tanya bu Juni yang merasa kalau Langit tahu sesuatu, apalagi Langit meminta bantuan Beni untuk menjaga Biru.Langit hanya bisa menghela nafas berat. “Biar beliau yang menjelaskannya, Bu. Langit juga tidak paham.”Langit mengajak Abizar dan ibunya untuk masuk ke ruang tamu yang masih ada kursi yang sudah rapuh disana. Sepertinya ibunya memang belum mengeluarkan semua barang-barang yang besar, sehingga kursi itu masih disana, seperti semula.“Ini sertifikatnya,” ujar Abizar memberikan sertifikat rumah itu yang belum digadaikan di sebuah bank.Lagi-lagi hal itu membuat bu Juni terkejut, sertifikat yang sudah sekian tahun disekolahkan di sebuah bank swasta, dan saat ini berada di tangannya.“Apakah bapak yang akan membeli tempat ini dan mau menggusurnya
"Hal urgent?" tanya Langit sambil bergumam.Bu Juni dan Abizar menatap Langit khawatir. Karena sepertinya terjadi sesuatu kepada Jingga."Ada apa, Nak?" tanya Bu Juni akhirnya membuka suaranya. Beliau merasa sangat khawatir melihat Langit yang tampak begitu serius dan mengkhawatirkan.Langit tergagap. "Jingga menelepon, katanya ada hal urgen yang terjadi," jawab Langit dengan pelan."Kamu pulang saja, selebihnya disini biar papa yang urus. Dan kami juga akan bantu beres-beres disini," ujar Abizar kemudian.Langit menatap Bu Juni cukup lama. Ada rasa tidak tega meninggalkan ibunya itu saat ini, meskipun memang urusan penggusuran sudah selesai.Namun, Langit bisa melihat banyak yang harus dibantu untuk menyusun kembali barang-barang ibunya. Ibunya hanya seorang diri, adik-adiknya yang lain masih kecil."Kamu tenang aja, biar papa yang menjaga panti. Oh iya untuk pulang sebaiknya kamu sama Beni aja. Kasihan Biru masih mau main sama Beni. Lagian nanti kamu gak konsentrasi," ujar Abizar la
"Kita akan tinggal dimana?" tanya Jingga kemudian.Jingga tahu pertanyaannya mungkin tidak sopan atau sangat tidak tahu malu, karena saat ini kalau dia memutuskan untuk tidak mengikuti kemauan Fargo, itu artinya hidupnya hanya bergantung kepada Langit."Pastinya kamu sudah tahu kita harus tinggal dimana. Untuk saat ini, ya hanya panti lah tujuanku pulang," jawab Langit sambil tersenyum.Langit paham kalau Jingga pastinya merasa keberatan tinggal disana. Namun, apa yang bisa dilakukan? Bahkan mereka saat ini hanya memiliki uang yang sudah sempat mereka tarik beberapa hari lalu sebelum kartu di blokir.Bahkan mungkin uang yang dimilikinya tidak akan cukup untuk menyewa sebuah kontrakan. Dan juga sayang uangnya, sementara mereka belum tahu apa yang harus dihadapi ke depannya."Sempit-sempitan disana?" tanya Jingga lagi.Langit menggelengkan kepalanya. "Gak, kamu tenang saja. Rumah itu besar dan sekarang hanya ada beberapa anak saja. Karena ibu sedang mengurus penutupan izin panti dan rum
Langit menghela nafas berat saat melihat orang itu adalah salah satu pengawal Abizar."Siapa yang kau panggil?" tanya Jingga keheranan. Apalagi dengan jelas si sopir menyebut 'tuan' dan melihat ke arah Langit."Tuan Langit," jawab sopir tersebut.Langit menghela nafas berat, apalagi saat Jingga menatapnya dengan penuh tanda tanya."Kau siapa?" tanya Jingga lagi karena Langit masih belum bergeming."Orang suruhan Tuan Abizar. Nama saya Jodi," jawabnya memberitahukan namanya.Jingga semakin bingung. Dia bahkan tidak tahu dengan orang yang disebutkan oleh Jodi tersebut. Namun, apa hubungannya dengan Langit."Langit, siapa mereka?" tanya Jingga yang merasa khawatir kalau mereka adalah orang-orang Fargo yang akan mencelakai mereka.Langit menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, ayo naik. Tenang aja aman, aku kenal dia."Langit menarik tangan Jingga dan juga Biru mendekat ke mobil tersebut. Sopir yang bernama Jodi itu membantu memasukkan barang mereka ke mobil."Tolong antarkan kami ke panti sa