"Gimana, Pa?" Mama menarik ujung lengan kemeja Papa. Beliau pun sama paniknya dengan aku.
"Sepertinya kita harus menghubungi Ibu Rafael. Dia juga berhak tahu."
"Tapi, Pa. Beliau punya riwayat penyakit jantung. Apa nggak bahaya nanti kalau memberitahu saat keadaan Rafael seperti ini?" Mama berpendapat. Mendengar jawaban Mama, Papa pun terlihat kebingungan.
"Mayang? Apa yang terjadi?"
Aku menoleh. Ammar? Sedang apa dia di sini?
"Suamiku kecelakaan. Sekarang kondisinya kritis. Dia membutuhkan donor darah golongan AB. Nggak ada stok sama sekali di sini," jelasku dengan susah payah. Tenggorokan rasanya sakit.
"AB? Kebetulan sekali. Aku bersedia mendonorkan darah untuk suamimu. Golongan darahku juga AB."
Bagai menemukan oase di padang tandus, aku merasa lega luar biasa. Seakan beban yang mengimpit sejak tadi terangkat begitu saja.
Aku memeluk Rafael erat. Menumpahkan segala rasa rindu yang membuncah semenjak dia sakit.Rafael mengurai pelukan. Kini kami saling menatap lekat."Saya nggak tahu apa yang kamu bilang itu benar atau enggak. Jadi, selama ingatan saya belum pulih, sebaiknya kita nggak melakukan hubungan suami istri dulu.Hah? Aku sungguh ingin tertawa kencang sekarang. Apa dia pikir saat ini aku berharap melakukan itu dengannya?"Heh, bocah! Dari dulu justru gue yang suka ngomong begitu. Lagak lu sok bijak banget sekarang. Bikin empet tahu nggak!" balasku ketus. Namun hati rasanya sungguh sakit. Kenapa ini semua harus terjadi padanya di saat aku sudah memiliki keberanian untuk membuka hati?Wajah Rafael tampak heran."Tidur sana lo! Kalau nggak mau tidur di ranjang, tidur aja di sofa!" Aku berlalu ke kamar mandi lagi. Seperti kemarin, aku ingin menumpahkan tangis di sana.
Sejak tadi Rafael terus menatapku yang berada di belakang meja kasir. Di depannya kusuguhkan sepiring bronis. Bukannya dimakan, dia hanya bertopang dagu dengan mata tak lepas dariku. Aku jadi salah tingkah sendiri."Itu dimakan bronisnya. Enak tahu buatan gue," ucapku untuk mengalihkan perhatiannya."Enakan juga mandangin elu, Tan," jawabnya sambil senyum-senyum. Kalau begini terus, yang ada aku bisa makin salah tingkah."Kita pulang aja, ya. Lo masih butuh banyak istirahat." Aku menarik tangannya. Dia menurut seperti anak kecil."Kenapa ngajakin pulang? Mau malam pertamaan sekarang, ya?"Aku sontak melepaskan tangannya. "Mana ada? Ya udah, kita balik ke toko lagi aja." Aku sudah berniat masuk lagi. Tapi Rafael menahan."Bercanda, kok. Kita ke taman aja, ya." Dia menggandeng tanganku. Jujur aku masih trauma pergi ke tempat itu. Di sana Rafael mengalami
"Ya udah, kita tidur aja. Nggak usah mikirin Talita lagi. Toh sekarang Ibunya juga udah sembuh." Aku mengajak Rafael untuk berbaring. Dia merengkuh tubuhku seakan-akan aku ini tidak boleh jauh darinya. "Tan, kita nggak malam pertama lagi?" Aku tertawa. "Perasaan tadi siang udah, deh. Masa namanya masih malam pertama?" Dia mengeratkan pelukan di perutku. "Ya masihlah. Tadi, kan, siang. Malamnya belum. Jadi ini masih malam pertama." Oh, astaga! Dia benar-benar pintar memainkan kata-kata. "Gue ngantuk, Raf. Besok aja, ya." "Elah, Tan, pelit amat. Ya udah, deh. Gue tidur aja." Pelukannya terlepas. Rafael merubah posisinya. Kini dia membelakangiku. Eh, dia ngambek? Aku mendekat. Kuciumi tengkuk lehernya hingga dia berbalik lagi. Lalu seperti tadi siang, kami kembali melakukan malam pertama, kata Rafael. Das
Saat laki-laki itu mulai mencekal tanganku, kucoba untuk menendang senjatanya. Dia memekik. Wajahnya berubah merah. Sepertinya sangat kesakitan. Rasakan!"Kurangajar!" Masih dengan wajah menahan sakit, laki-laki itu mencoba bangkit. Aku melangkah mundur. Mataku menatap berkeliling, mencari apa saja yang mungkin bisa kugunakan untuk menghentikan laki-laki buas ini.Di sana ada vas bunga. Perlahan aku berjalan miring menuju meja. Tanganku menyambar cepat benda yang terbuat dari kaca itu. Saat kulayangkan tanganku padanya, tanganku justru ditangkap. Sial!Tawanya menggelegar seolah telah menang. Tidak sampai di situ, dia merebut vas bunga dari tanganku. Tanpa aba-aba, vas itu sudah melayang di pelipisku. Badanku terhuyung. Rasanya sakit sekali. Perlahan ada yang terasa hangat mengalir di pipi.Ini darah!Dengan mata yang mulai mengabur, dapat kulihat laki-laki itu menatapku makin bu
"Kita ke rumah sakit saja, ya?" tawarku."Enggak usah, Tan. Tolong ambilin obat gue di laci nakas. Kayaknya masih ada."Dengan gerak cepat, aku membuka laci nakas. Obatnya dari rumah sakit masih banyak. Apa dia tidak meminumnya?"Obat lo masih banyak ini, Raf. Nggak lo minum emang?" Aku duduk di tepi ranjang setelah membawa obat dan mengambil gelas berisi air putih dari atas nakas.Rafael bangkit sambil memegangi kepalanya. "Setelah ingatan gue pulih, obatnya nggak gue minum lagi."Aku mendengkus kesal. "Dasar ceroboh! Udah makan belum tadi?""Makan roti di toko tadi.""Gue ambilin nasi, ya?"Dia menggeleng lagi. "Gue mau minum obatnya aja."Dia mengambil obat dan gelas dari tanganku. Lalu berbaring lagi setelah obat berhasil dia telan. Ternyata mau bagaimanapun, dia tetap saja bocah yang bandel.
"Fir, saya ada urusan sebentar. Tolong handel toko lagi," ucapku pada Fira. Dia mengangkat jempolnya sebagai tanda setuju.Gegas aku menuju ke mobil. Pikiranku mendadak cemas mendengar suara Talita ada di sana. Aku takut jika dia mempengaruhi Rafael lagi.Mobil kupacu dengan kecepatan tinggi. Sebelah tanganku mencoba menghubungi Rafael kembali. Namun tidak ada jawaban. Pikiranku makin kalut. Apa yang dilakukan wanita binal itu sebenarnya?**Langkahku cepat melangkah ke dalam toko tempat Rafael bekerja. Mataku menatap berkeliling. Mengamati satu persatu manusia yang ada di sana. Namun tak ada penampakan Rafael. Ke mana dia?"Mbak istrinya Rafael, kan?" Aku menoleh. Teman Rafael rupanya yang bertanya."Iya. Rafael di mana, ya?""Tadi ada perempuan datang ke sini, Mbak. Dia memaksa bertemu sama Rafael. Padahal si Rafael lagi di toilet. Tapi
POV RAFAELMenikah dengan perempuan yang usianya jauh diatasku sama sekali tak pernah terlintas dalam pikiran. Terlebih lagi aku memiliki kekasih yang sepantaran denganku. Hanya saja sekarang semua sudah berakhir di antara kami. Dia ternyata ... seorang wanita malam.Istriku saat ini memang jauh lebih tua, tapi pemikirannya masih manja seperti anak kecil. Dia masih sangat perlu untuk dibimbing. Bukan hanya sifatnya, badannya juga kecil. Sangat nyaman untuk dipeluk. Ah, aku suka itu.Semakin hari, rasa cintaku semakin besar padanya. Sampai-sampai, saat tengah bekerja pun kusempatkan untuk menghubunginya. Namun saat kami melakukan panggilan video, mantan kekasihku datang."Ngapain lo ke sini?" tanyaku ketus. Muak sekali melihat wajahnya yang sok polos."Gue minta maaf, Raf. Tapi please! Buat kali ini tolongin nyokap gue." Talita menangkupkan kedua tangan di depan dada. Dia memohon
Aku hampir gila karena mencari Mayang. Sampai saat ini belum ada titik terang darinya. Sebagai seorang suami, aku merasa tidak becus. Apa dia sudah makan sekarang? Apa dia mengingatku sekarang? "El, polisi sudah bergerak. Kita tunggu saja kabar baik dari mereka." Papa menepuk pundakku. Memberikan informasi yang sama sekali tidak bisa membuatku tenang. "Aku nggak bisa diam saja di sini, Pa. Aku akan mencari Mayang lagi." "Seenggaknya kamu makan dulu, El. Sejak semalam kamu belum makan. Nanti kamu bisa sakit kalau terus memforsir diri." Aku mengangguk pelan. Papa merangkul bahuku menuju ke dalam rumah. Di ruang makan, Mama mertua tengah menyiapkan sarapan. Wajah beliau tampak sembab. Sepertinya beliau menangis semalaman. Jelas saja. Beliau ibunya. Jika terjadi sesuatu pada Mayang, beliaulah yang paling hancur. Mama mengangkat wajah menatapku. Senyum