“Jangan bilang kamu mempertahankan rumah tangga kamu sama Biru karena kamu sedang mengandung.”
Meski Biru terbukti tidak bersalah tapi sebagai ayah dari Jingga—papa Reza tetap harus hati-hati menanggapi kasus ini.Beliau tidak langsung begitu saja mau menerima Biru kembali.Meski tidak mengusir Biru saat datang ke rumah membawa kabar kehamilan Jingga.Papa bahagia tapi papa takut Biru mengecewakan putrinya lagi.“Enggak, Pa … Jingga memang udah mencintai Biru.”Jingga memberikan alasan.Papa mengembuskan napas panjang, dia menyerongkan posisi duduknya menghadap Jingga.“Papa enggak mau kamu terluka … apa kamu yakin kalau Biru sudah mencintai kamu?”“Nih … bukti cintanya tertanam di perut Jingga … Biru yang duluan minta anak, Pa … katanya dia akan membuktikan kalau dia sungguh-sungguh mencintai Jingga … lagian, kalau Jingga enggak membuka hati dan mempercayai Biru … Jingga eDavian berhasil mengendalikan Cinta. SCinta terlalu polos dan berharap banyak kepada Davian. Cinta akan selalu siap setiap kali Davian mengajak bertemu. Dan setiap kali mami dan papi pergi keluar kota, Cinta akan menginap di apartemen Davian. Hubungan mereka semakin panas dan semakin intim saja. Sentuhan Davian layaknya heroin, Cinta akan gila bila seminggu lamanya tidak bercinta dengan Davian. Seperti malam ini, Cinta membawa banyak tugas kuliah ke apartemen Davian. Cinta menyogok orang di rumahnya agar tidak memberitahu mami papi kalau dia menginap di tempat lain. Sekarang, Cinta sedang duduk di lantai sementara MacBook dan buku serta alat tulis berserakan di atas meja. Davian sendiri tengah asyik main playstation. Sesekali Cinta akan bertanya mengenai tugasnya kepada Davian. Ada yang Davian mengerti dan bisa menjawab tapi ada juga yang tidak.
“Cintaaa … sayang, bangun! Mami sama papi mau pergi ke Papua tiga hari, nanti kamu ….” Suara mami mengecil di akhir kalimatnya yang menggantung. Kening beliau mengkerut melihat anak gadisnya masih meringkuk di atas tempat tidur di saat hari hampir siang. Hari ini memang hari minggu tapi bukan berarti Cinta bisa bangun siang. “Kamu sakit?” gumam mami seraya menempelkan telapak tangan di kening Cinta yang matanya masih terpejam. “Tapi enggak hangat.” Mami bicara sendiri. “Kamu kenapa?” Mami bertanya menaikkan intonasi suaranya agar terdengar oleh Cinta. “Emmh ….” Cinta mengerang dengan mata masih tertutup rapat. “Kamu sakit?” Mami mengulang pertanyaannya. “Enggak tahu, Cinta lemes banget.” “Kamu pasti begadang nih,” tuduh mami kesal. “Enggak ….” Cinta mendudukan tubuhnya dengan sisa tenaga yang dia punya. “Mi …,” panggil papi bersama suara langkah mendeka
Di dalam mobil yang dikemudikan driver, Cinta dan Jingga duduk di kabin belakang. Cinta menengadah menyandarkan kepala dengan matanya terpejam. Jingga jadi begitu khawatir karena Cinta tampak sangat tidak berdaya. Sesampainya di depan IGD, Jingga meminta perawat membawa brankar sebab Cinta sudah tidak ada tenaga lagi untuk menggerakan tubuhnya. Jingga melipir keluar dari bangsal saat dokter melakukan pemeriksaan, dia mengecek pesan yang dikirim kepada Biru dan pria itu belum juga membacanya. Biru masih berjuang menolong pasien di atas meja operasi. “Bu, ijin untuk ambil darah pasien.” Seorang perawat meminta ijin kepada Jingga berhubung Cinta tidak bisa diajak komunikasi. “Ya, Silahkan.” Jingga memberi ijin sembari membuka tirai, ternyata dokter yang tadi memeriksa Cinta sudah tidak ada di dalam sana. Cinta hanya berjengit sedikit saat perawat memasukan jarum suntik untuk mengambil darah
Cinta tidak bisa mengatakan siapa ayah dari janin yang ada di dalam rahimnya demi melindungi keselamatan Davian. Dia belum sempat mengenalkan Davian kepada keluarganya karena saat kemarin dia siap membawa Davian ke rumah—abangnya sedang tersandung masalah. Tadi Biru berhasil ditenangkan oleh Jingga yang membawanya keluar dari kamar Cinta. Buru-buru Cinta mengunci pintu kamar agar sang abang yang tengah murka tidak bisa masuk begitu saja untuk kembali menginterogasi perihal siapa ayah dari janin ini. Yang harus dia lakukan sekarang adalah memberitahu Davian. Cinta menekan nomor Davian, menempelkan ponsel pada telinga lalu nada panggil terdengar. Sekali … dua kali, panggilannya terputus begitu saja tanpa jawaban. Cinta melakukan panggilan ketiga bersama resah yang mulai melanda. “Hallo … Cinta?” Suara bariton Davian membuat hati Cinta seketika dibanjiri kelegaan. “Ayaaaan
Atas perintah Biru, sekarang Cinta pulang dan pergi kuliah di antar oleh driver guna mencari tahu pria mana yang sering Cinta temui. Drivernya mami sekarang merangkap detektif swasta yang disewa Biru untuk memata-matai Cinta. Dan Cinta yang polos, tidak menyadari kalau sang Abang sedang mencari tahu siapa kekasihnya. Dia hanya berpikir kalau Biru overprotective karena sekarang dirinya tengah mengandung mengingat dia juga yang begitu overprotective memperlakukan Jingga. Di antara jeda jam mata kuliah selanjutnya, Cinta memilih tiduran di dalam mobil yang sengaja sang driver nyalakan AC-nya agar sejuk. Dia membuka ruang pesan dengan Davian dan harus menelan kecewa karena tidak ada satu pun pesan yang dikirim pria itu untuknya padahal katanya Davian akan menghubunginya lagi nanti. Akhirnya Cinta memutuskan untuk mengirim pesan kepada Davian. Cinta : Yang …. Cinta : Kamu lagi apa?
Jingga tidak berani menceritakan kepada Biru apa yang dia ketahui tentang siapa ayah dari janin dalam rahim Cinta. Tapi hidupnya tidak tenang, dia gundah memikirkan apa yang mungkin akan dilakukan Biru kepada Davian bila mengetahui hal tersebut. Bukan karena dia masih mencintai Davian sehingga mengkhawatirkannya, tidak! Jingga justru mengkhawatirkan Biru yang bisa lepas kendali. Karena dendam Davian sungguh tidak beralasan, apa yang dilakukannya tidak adil. Pasalnya Biru melakukan kesalahannya bukan atas keinginannya sendiri bahkan dia tidak sadar saat melakukannya sedangkan Davian berniat melakukan semua ini. Jingga yakin sekali kalau Davian telah merencanakannya. Logikanya saja, berapa persen kemungkinan Davian yang merupakan mantan tunangan Jingga bertemu dengan Cinta yang tidak lain adalah adik dari Biru, kemudian mereka menjalin kasih begitu intim. Apalagi Jingga mendengar dari penga
Davian masih berada di kantor meski jam kerja sudah lama berakhir. Seharian ini tidak ada pesan maupun panggilan telepon dari Cinta seperti hari-hari kemarin. Dia sempat berpikir kalau Cinta sudah lelah dan menyerahkan masalah ini kepada Biru. Namun sampai diakhir hari, tidak ada satu pun pihak Cinta yang menemuinya. Apalagi alasannya jika bukan karena Cinta belum memberitahu kalau Davian adalah ayah dari janin yang dikandungnya. Cinta sangat mencintai Davian dan pasti tidak ingin pria itu disakiti oleh ayah dan kakak yang menuntut pertanggung jawaban. Lalu bila seperti itu, bagaimana bisa dendam Davian terbalaskan? Sampai kapan pun tidak ada yang tahu jika dia adalah ayah dari janin yang ada dalam rahim Cinta. “Aaarrgghh … Brengsek!” Davian mengumpat sebab rencananya tidak berjalan lancar. Kesal sekali kepada Cinta yang terlalu dalam mencintainya. Dav
Lewat tengah malam, pintu rumah papi dan mami diketuk kencang. Sekuriti yang berjaga tidak bisa menahan rombongan orang berpakaian preman seperti intel menyerbu kediaman pribadi sang Jendral Panglima TNI. Papi sudah tahu kalau ini akan terjadi. Ayah mana yang akan diam saja mengetahui sang putra babak belur dihajar seseorang apapun masalahnya. “Mami tidur aja, biar papi yang hadapi.” Papi terlihat tenang dan meyakinkan. “Enggak, Mami mau ikut ….” Mami turun dari atas ranjang memakai nightrobe. Di kamar lain di rumah itu, Jingga dan Biru yang baru sebentar saja terlelap langsung terjaga mendengar suara berisik dari luar. Biru bergerak ke jendela untuk melihat situasi dan dia mendapati ayahnya Davian baru saja turun dari mobil dan sudah banyak pria berperawakan kekar di halaman rumahnya. “Kamu tidur lagi aja, aku temenin papi bertemu ayahnya Davian.” “Apa? Yang datang itu Ayahn