Langit sebelah timur warna biru pekat bercampur dengan warna jingga dan semburat cahaya kekuningan. Hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Mobil Arga menerobos kabut tebal di jalanan desa menuju jalan utama. Sepagi ini mereka berangkat kembali ke kota.Senja memeluk tubuhnya yang masih kedinginan meaki sudah memakai jaket tebal. "Kita akan memulai hidup baru hari ini. Kamu ikut aku tinggal di kosan. Lumayan luas kamarnya. Walaupun menyatu dengan kamar mandi dan dapur.""Setelah pulang kerja, aku akan mengambil barang-barangku di kosan. Nanti setelah ibu kos sudah pulang dari rumah anaknya, Mas antar aku untuk pamitan.""Oke, Sayangku."Senja tersenyum. Sebutan itu sukses menghangatkan hati dan pipi Senja yang kedinginan."Semoga setelah tahun baru, rumah kita sudah bisa di tempati. Jadi pas bulan puasa nanti kita sudah di rumah sendiri.""Aamiin."Mobil telah menapak di jalan raya, suasana masih gelap. Jalan mulai halus dan signal ponsel telah pulih. Mobil melintas di sebuah pasar bes
Senja yang ikut membaca pesan, merasa tak nyaman hinggap dalam hati, apalagi membaca balasan dari Sabda untuk Bela. Hatinya terasa teriris.[Aku akan datang besok malam.]Belum sempat Senja bertanya, Sabda memandangnya dan bilang, "Aku akan mengajakmu ke acara itu besok malam jam tujuh."Senja terperanjat. Jika dia diajak berarti semua akan terbongkar segera. Terlebih jika Sabda mengakui jika mereka sebenarnya telah menikah."Mulai besok akan banyak orang yang tahu tentang hubungan kita. Bahkan tentang pernikahan kita. Kita yang menjalani hubungan ini, jadi tak perlu memikirkan apa pandangan mereka. Kita memulai hidup baru," ucap Sabda sambil menyentuhkan keningnya pada kening Senja. Wanita itu mengangguk. Kalau Sabda siap dihakimi keluarga besarnya, ia pun harus siap juga di sampingnya. Senja bisa menduga, 80% kesalahan akan di tuduhkan padanya dan yang 20% untuk Sabda yang dianggap sebagai korbannya.Jujur saja, Senja gelisah. Dia butuh waktu lagi untuk menata hati. Tapi melihat kes
"Aku nggak bercanda. Kenalkan ini istriku, namanya Senja." Sabda memperkenalkan Senja pada temannya. Namun dia tidak membiarkan teman lelakinya menjabat tangan sang istri.Senja tersenyum pada laki-laki yang berada di depannya dan sedang menatapnya heran. Benar kata Sabda, malam ini adalah awal dari cerita baru. Dia akan berhadapan dengan banyak orang dengan penilaian mereka masing-masing."Kapan kalian menikah? Kenapa nggak ngundang teman-teman?""Kami belum ngadain resepsi.""Oh ... jangan lupa nanti undang kami."Sabda tersenyum. Dari satu orang yang diberitahu oleh Sabda akhirnya tertular pada rekan-rekan yang lain. Makanya Sabda dan Senja jadi pusat perhatian mereka.Salah seorang teman memberitahu Bela tentang kehadiran Sabda. Gadis itu memandang ke arah pria yang berdiri tidak jauh darinya. Netranya menatap tajam tak berkedip, terlebih ketika melihat tangan Senja melingkar di lengan pria itu.Bela berdiri dan menghampiri Sabda. Pria itu mengulurkan tangan untuk menyalami, tapi
Baru saja Sabda merebahkan diri di kasur, ponselnya berdering. Mamanya sedang menelepon. Belum sempat bilang halo, sang mama sudah marah-marah dengan lantangnya. Tentu saja mengenai pertemuannya dengan Bela dan kejadian di acara tunangannya Pangky tadi. "Kenapa kamu bawa perempuan itu ke acara temanmu? Mengenalkanmu pada mereka kalau perempuan itu istrimu.""Apa itu salah, Ma? Aku membawa Senja ke acara orang lain, bukan di acara keluarga kita. Mama hanya tidak mengizinkan aku membawa Senja ke acara-acara keluarga besar kita saja, kan?""Tapi kamu sudah mempermalukan Bela?""Mempermalukan bagaimana? Dia sendiri yang bilang pada teman-temannya kalau akan bertunangan denganku. Sementara aku dan dia sudah nggak ada hubungan apa-apa sudah lama. Aku juga sudah bilang dari awal kalau menolak rencana mama itu. Kenapa mama tetap melanjutkan? Bahkan Mama juga melarangku menemui Pak Pras untuk membatalkan pertunangan itu. Ma, kenapa malah getol membela Bela, yang anak mama itu aku bukan?"Bu A
Sabda melihat jam di pergelangan tangannya. Pukul dua. Masih ada waktu dua jam lagi untuk bertemu Arga. Hari ini Senja juga terakhir kerja. Dia tidak mungkin mengajak Senja untuk menemui Arga. Diambilnya ponsel dari dasbor dan mencoba menghubungi istrinya. Semoga saja Senja bisa menerima teleponnya. Dua kali deringan, akhirnya panggilannya di jawab."Halo, Assalamu'alaikum Mas.""Wa'alaikumsalam. Lagi sibuk?""Baru saja nyelesain pekerjaan. Mas, di mana ini?" Bunyi musik yang terdengar lirih, membuatnya berpikir kalau suaminya sedang ada dalam kendaraan."Mas di perjalanan. Baru pulang meeting. Tapi aku nggak bisa jemput kamu nanti pulang kerja. Aku masih ada urusan di luar sebentar.""Ya, nggak apa-apa. Aku nanti pulang naik angkot saja.""Hati-hati, ya. Kita ketemu di rumah nanti. Oh ya, persiapkan apa yang harus kita bawa untuk berangkat besok.""Iya, Mas.""Assalamu'alaikum.""Wa'alaikum salam."Sabda mengembalikan ponselnya di tempat semula. Dia langsung memutuskan untuk pergi ke
Arga menghempaskan tubuh di ranjang. Menarik bagian bawah kemeja dan membuka seluruh kancingnya. Hatinya hancur saat Bela meneleponnya tadi pagi. Perkiraannya kalau antara Sabda dan Senja hanya sedang pendekatan karena sama-sama merasakan patah hati, nyatanya salah. Justru mereka telah menikah. Rasa sesak itu masih terasakan hingga kini. Sangat sakit dan amat menyiksa, membuat dari sudut netranya mengeluarkan air mata.Tiga tahun ini dia mencintai Senja sepenuh jiwa raga. Nyatanya dia salah mengambil keputusan yang kini telah menghancurkan segala-galanya. Gadis pujaannya akhirnya jatuh dalam dekapan sepupunya sendiri. Kedua tangan Arga menggenggam erat di kedua sisi tubuhnya yang terlentang.Luka ini rasanya tak akan pernah sembuh seumur hidup. Jika tidak berjodoh dengannya, kenapa harus dengan Sabda? Kenapa? Apakah ini bermakna sepanjang hidupnya dia akan menahan rasa cemburu dan sakit hati?Senja. Sekarang dia telah tenggelam seperti senja di luar sana, yang meninggalkan Arga dalam
Entah kapan Sabda terakhir kali menangis. Rasanya sudah lama sekali, ketika nenek dari pihak sang mama meninggal dunia dua tahun yang lalu. Terlalu mahal air matanya keluar. Namun kini, ketika seorang ibu dengan terang-terangan tak lagi ingin melihat kehadiran putranya sendiri, perasaannya seperti tersayat-sayat. Sungguh sangat menyedihkan jika ingat pesan dari mamanya tadi.Padahal beliau adalah wanita yang sangat menyayangi putra-putranya. Antara dirinya dan sang mama juga lumayan dekat. Kenapa sekarang setega ini padanya, hanya karena Sabda telah memilih apa yang sudah ia jalani sebulan ini.Sekeras itu hati mamanya. Lalu demi meluluhkan hati yang membatu itu, apakah ia harus meninggalkan Senja?Sabda menatap wajah istrinya yang terlelap tepat di depannya. Wanita ini tidak bersalah jika harus ditinggalkan hanya demi mamanya yang lebih memikirkan ego dan lebih peduli akan pandangan orang luar daripada merestui ikatan yang sudah terjalin. Sabda mencium kening Senja sambil menahan per
Jarak dari kosan ke kafe pinggiran kota di tempuh sekitar tiga puluh menit. Ketika sampai sana, sudah ada dua motor menunggu. Dua pria yang sedang minum kopi kaget melihat kedatangan Sabda yang mengajak seorang perempuan dan itu bukan Bela yang dikenal oleh mereka. Meski mereka juga sudah tahu kalau setahun belakangan ini Sabda tak lagi membahas soal Bela jika mereka ada kesempatan kumpul-kumpul bareng."Hai," sapa Sabda, mereka berjabatan tangan."Kenalin, ini Senja istriku!" Senja mengangguk dan tersenyum setelah melepas masker yang dipakainya."Apa!" pekik salah seorang pria bernama Joni karena kaget."Kapan nikah, kenapa nggak ngabarin atau ngasih tahu di grup?" tanya Ari. Pria yang bertubuh gemuk."Baru sebulan ini. Kami belum ngadain resepsi, baru akad nikah saja," jawab Sabda sambil mengajak Senja duduk bergabung dengan rekannya."Pengantin baru rupanya," goda Joni sambil tersenyum."Kalian udah sarapan?" tanya Sabda."Sudah, barusan. Kamu ajak istrimu sarapan dulu. Sambil nung