Hari-hari pun berlalu. Ivan memenuhi janjinya untuk menghabiskan waktunya bersama Fara. Setiap sore selepas jam kerja usai, dia pun segera pulang ke rumah tanpa nongkrong-nongkrong dulu bersama dengan teman-temannya di cafe. Atau menikmati sore yang indah dulu bersama Lusy seperti yang dahulu sering dia lakukan. Ivan benar-benar ingin membuat Fara diam dan tak membongkar perbuatan buruknya pada orangtuanya. Predikat laki-laki sempurna yang selama ini melekat padanya harus bisa dia pertahankan. Jika memang satu hari nanti pernikahannya dengan Fara harus berakhir, maka itu haruslah datang dari Fara. Bukan karena kesalahannya atau kekurangannya sebagai seorang suami.
Fara pun merasa senang. Karena setidaknya Ivan mau memenuhi janjinya. Meski Fara tak tahu apakah semua itu bisa berlangsung lama. Karena selama Ivan menutup hati untuknya, maka suaminya itu mungkin tidak akan bisa bertahan lama untuk tetap diam di sisinya. Dia pasti akan mencari kesenangan lain diluar sana. TapiIvan sakit. Dia terserang flu dan terpaksa harus beristirahat total di rumah selama beberapa hari. Beberapakali tubuhnya demam tinggi hingga membuat Fara dan Bu Elsa merasa khawatir. Dokter keluarga pun dipanggil untuk segera memeriksa. Dan dokter bilang, Ivan harus beristirahat dan minum obat yang teratur. Selama beberapa hari ini dia tidak boleh melakukan aktivitas di luar rumah. Harus rela menghabiskan waktunya di rumah sampai kondisinya membaik. Bagi Ivan semua itu sangatlah menyiksa. Sebab itu berarti dia tidak bisa bertemu dengan Lusy untuk beberapa waktu lamanya. Sedangkan kerinduannya pada perempuan itu terus membara. Sebetulnya Ivan tahu jika dia tak boleh pakai hati. Tapi kehangatan yang Lusy berikan selama ini benar-benar membuatnya terbuai. Ivan merasa, dia tak bisa berpaling lagi. Lusy telah menguasai hatinya dan melumpuhkan akal sehatnya. Sementara itu Fara merawat Ivan dengan penuh kasih sayang. Dilayaninya segala keperluan Ivan dengan baik. Bahkan
"Marahkah kamu padaku, Fara?" Itu kata-kata pertama yang Ivan ucapkan ketika bangun dari tidurnya. Fara tak menjawab atau pun menoleh. Dia tetap terpaku menatap langit pagi yang cerah. Rasa kecewa dan sakit yang teramat sangat membuatnya memilih diam. Selintas ada umpatan bodoh untuk dirinya sendiri yang bergema dalam hati. Ya, Fara memang merasa bodoh karena berpikir kalau Ivan telah berubah. Naif sekali karena berharap Ivan mulai mau membuka hati untuknya. Mestinya dia tahu kalau suaminya itu tak kan pernah bisa menerima dia untuk jadi teman hidupnya. Bukankah selama ini Ivan hanya sekadar menuruti keinginan orangtuanya saja? Bahkan pernikahan ini adalah mimpi buruk baginya! "Kenapa harus Lusy, mas?" Pertanyaan itu meluncur getir dari bibir Fara. Ivan pun tertegun beberapa saat. "Entahlah. Pertemuan tak sengaja di malam itu yang telah mendekatkan aku dengannya," jawab Ivan kemudian. "Tapi dia sahabatku," kata Fara bergetar. Sementara itu ked
Fara melangkah tergesa memasuki pekarangan rumah Lusy yang tampak sepi. Tapi Fara bisa menebak jika sahabatnya itu pasti berada di rumah karena jendela rumahnya terbuka lebar meskipun pintunya tertutup rapat. Lusy tinggal sendirian selama ini. Jadi dia pasti akan menutup jendela dan pintu rumahnya jika dia pergi keluar rumah. Sampai di teras, Fara terdiam sejenak. Dia seolah sedang berusaha menenangkan dirinya agar tak meledak di depan sahabatnya itu. Sahabat? Pantaskah jika masih disebut sahabat? Sebab dia telah menikam dari belakang. Dia seolah membunuh, tapi tanpa diakhiri dengan sebuah kematian. Hanya hancur, remuk berkeping-keping tak berbentuk. Fara menghela napas panjang, lalu mengetuk pintu rumah Lusy dengan perasaan tak menentu. Ditunggunya beberapa saat hingga terdengar suara Lusy yang menyahuti dari dalam. Fara pun menegakkan tubuhnya seolah ingin menunjukkan betapa tegarnya dia. Wajahnya serius dan tatapan matanya tajam menatap wajah Lusy yang menyemb
Fara menghambur ke dalam pelukan Riska dan melepaskan tangisnya di sana. Fara merasa Riska-lah satu-satunya orang yang bisa dia jadikan teman bercerita. Dada Fara telah terlalu sesak. Rasanya dia sudah tak mampu untuk menyimpan kesedihannya ini sendirian. Fara butuh teman bicara. Fara butuh pundak untuk menumpahkan tangisnya. "Fara, ada apa ini?" tanya Riska terkejut. Fara tak bisa menjawab. Untuk beberapa saat lamanya dia cuma bisa menangis di pelukan Riska. Biarlah berkurang dulu rasa sesak di hatinya. Biarkanlah dilepaskannya dulu lewat tangisnya. "Fara Sayang, tenangkan dirimu. Coba ceritakan padaku kenapa kamu menangis seperti ini?" Riska membujuk lembut. Fara pun melepaskan pelukannya pada Riska dan mencoba menenangkan hatinya yang kacau tak menentu. Perlahan tangisnya mereda. Dihapusnya air mata yang membanjiri matanya. Lalu dia mengumpulkan kekuatan untuk mulai bercerita pada Riska tentang apa yang telah terjadi padanya. "Dud
Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Lusy. Sesaat perempuan cantik itu tergagap. Dia terkejut, tak menyangka jika Riska akan melakukan hal itu padanya. "Cukup, Lusy! Hentikan kegilaanmu ini! Tinggalkan Mas Ivan dan jauhi dia!" seru Riska marah. Saat itu mereka sedang bicara berdua di rumah Lusy. Riska tadi menelepon dan berkata kalau ada sesuatu hal penting yang ingin dia bicarakan. Lusy pun langsung menyuruh Riska untuk datang ke rumahnya sore itu karena kebetulan dia sedang bersantai dan tidak ada rencana keluar rumah. Mulanya Lusy bingung mendengar suara Riska yang terdengar begitu serius. Dia tak bisa menebak persoalan penting apa yang sekiranya ingin Riska bicarakan dengannya. Barulah ketika Riska sampai dan memulai percakapan, Lusy tahu hal penting apa yang dimaksud oleh sahabatnya itu. Dan Lusy tak menyangka jika Riska akan memberikan sebuah tamparan di pipinya ketika pembicaraan mereka mulai memanas. "Apa aku tidak boleh bahagia, Ris? Apa
Hari-hari yang berlalu meninggalkan jejak luka bagi Fara. Luka yang semakin lama semakin menganga lebar. Fara pun mencoba membalut luka itu sendirian. Sedangkan Ivan semakin asyik menikmati hubungannya dengan Lusy. Dia kini berani tidak pulang jika malam minggu pamit berkumpul dengan teman-temannya. Fara tahu kemana suaminya itu pergi dan dimana dia menginap. Tapi Fara tak pernah menyinggungnya. Dibiarkannya Ivan pergi menemui Lusy sesuka hatinya. Sebab Fara tahu, jika melarang Ivan menemui Lusy, itu sama saja dia menggores sendiri hatinya. Jadi Fara memilih diam. Toh, Ivan pun seakan menjaga hatinya dengan selalu berpamitan ingin menemui teman. Dia tak pernah mengucap ingin menemui Lusy meskipun sesungguhnya dia pergi untuk menemui perempuan itu. Sikap Ivan pun lebih lembut kini. Dia tak pernah lagi bicara ketus pada Fara. Walaupun masih sering menyebalkan dan membuat Fara cemberut, tapi setidaknya kata-katanya tak ketus lagi seperti dulu. Mungkin dia iba. Atau dia mengha
Minggu pagi itu Ivan di rumah. Bahkan sejak malam harinya dia tak keluar rumah sama sekali. Ivan tampak seperti seorang suami yang manis. Dia minta dikuatkan kopi dan camilan dengan kata-kata yang lembut. Mengajak Fara ngobrol sambil nonton tv di ruang tengah. Juga melingkarkan tangannya dengan mesra di pinggang Fara tiap kali mereka sedang berada di dekat orangtuanya. Kedua orangtuanya pun tersenyum senang melihat keromantisan yang Ivan ciptakan itu. Selalu, Ivan pandai bersandiwara dan menjadikan dirinya sebagai sosok yang sempurna di depan orang lain. Fara membiarkan Ivan melakukan itu. Dia tak peduli. Agaknya dia sudah terbiasa dengan sandiwara yang Ivan ciptakan. Ivan tak pernah berhenti untuk tampil sebagai seorang yang sempurna. Sebagai suami tanpa cela untuk Fara. Sandiwara Ivan terus berjalan di sepanjang hari itu. Dengan sabar Fara terus memakluminya. Dia duduk manis di samping Ivan. Bersikap seolah semuanya baik-baik saja. "Hebat sekali sandi
Pagi itu Fara mengemasi beberapa bajunya. Dia menyusunnya rapi ke dalam tas koper kecil miliknya. Ivan yang memperhatikan tampak mengerutkan kening. Suaminya itu bingung melihat Fara berkemas. Sementara Fara sendiri tampak acuh seolah tak menyadari tatapan bingung dari suaminya. "Kenapa berkemas? Memangnya kamu mau kemana?" Akhirnya Ivan bertanya. "Ke rumah bapak," sahut Fara acuh. "Tapi kenapa membawa banyak baju? Apa kamu mau menginap di sana?" "Ya. Apa tidak boleh?" Fara mengangkat wajahnya dan menatap Ivan. "Tentu saja boleh. Tapi kenapa mendadak seperti ini? Kenapa tidak minta izin sebelumnya padaku?" "Aku pikir Mas Ivan akan senang dengan kepergianku ini. Jadi mas pasti mengizinkan." "Apa kamu akan lama menginap di sana?" "Entahlah. Mungkin," sahut Fara tak pasti. "Lalu siapa yang akan melayani semua kebutuhanku?" "Ada bibik, kan?" "Bibik?" "Ya. Apa bedanya a