Lewat tengah malam Alex melajukan mobil ke kawasan Puncak. Dia memesan sebuah kamar hotel yang terbilang bagus untuk menghabiskan malam bersama Diana. Jika satu malam terlalu singkat Alex tidak segan menambah satu malam lagi.
Hotel yang mereka tuju terletak di bagian teratas kawasan Puncak. Setelah check in mereka menuju pondokan yang tersedia. Diana menghirup nafas dalam-dalam. Dingin. Menyegarkan. "Wah, bagus banget," puji Diana begitu melihat bagian dalam pondok. "Syukurlah kamu suka." Alex meletakkan barang bawaan mereka di meja. Fasilitas pondok begitu lengkap, dari tempat tidur, kamar mandi, pantry, ruang tamu, teras dengan akses ke taman yang sangat luas. Sepasang jendela kaca besar mengarah ke lembah. Pemandangannya pasti luar biasa di pagi hari. "Mandilah dulu. Aku pesan makan malam untuk kita," kata Alex. "Oke," sahut Diana dengan ceria.&nbsSinar matahari pagi menerobos masuk lewat sela tirai jendela. Diana terbangun mendadak. Melihat di sebelahnya Alex masih terlelap dengan wajah begitu manis. Diana tersenyum mengingat perlakuan suaminya yang begitu lembut semalam. Dia memberikan kecupan ringan di pipi dan beranjak. Diana mengambil kaos Alex. Memakainya memberikan rasa nyaman. Diana membuka tirai lebar-lebar. Pemandangan menakjubkan segera menyergap indera penglihatannya. Mulutnya ternganga. Kabut tipis menggantung di lembah, membuat pandangan mata terbatas sekitar satu hingga dua kilometer. Rerumputan hijau berkilau membiaskan cahaya matahari akibat menampung embun. Benar-benar cantik mempesona! Alex mengerang, "Kenapa kamu meninggalkanku sendiri? Kembali kemari, Princess, aku kedinginan." Diana tersenyum geli, "Manja ih. Ayo bangun, kita lihat-lihat taman." Alex memaksa diri untuk bangkit. Dia masih ingin ber
Diana mencuri pandang ke arah Alex yang sedang menekuni data-data di laptop. Sejak obrolan di hotel dia jadi lebih banyak berpikir, apakah memang harus berbicara soal masa depan dengan lebih serius? Sekarang usia pernikahan baru satu bulan, apakah terlalu cepat untuk memikirkan soal anak? Alex juga sesekali melirik ke arah Diana. Dia tahu belakangan ini Diana disibukkan dengan pikiran-pikiran tentang mereka. Dirinya akan menahan senyum saat Diana berpikir tentang kemungkinan memiliki anak di masa depan, bukan dalam waktu dekat. Tidak jadi masalah bagi Alex, selama bukan pikiran untuk berpisah. Handphone Diana berdenting tanda ada pesan singkat masuk. 'Diana, Mama mau kasih kabar, lusa William tiba di rumah. Kalian mampir ya?' isi pesan singkat yang dikirim Mikaela. 'Diusahakan ya, Ma. Aku tanya Alex dulu,' balasku. 'Oke, ditunggu kabarnya.' Diana mengerucut
Ada perkataan bahwa darah lebih kental dari air, dalam hal ini artinya bahwa sebuah hubungan kekeluargaan tidak dapat diputus begitu saja. Itulah yang dirasakan Diana. Meskipun dia telah resmi menjadi istri Alex dan menyetujui kesepakatan meninggalkan keluarga demi keselamatan nyawa Benyamin, namun sebagai anak dia tidak dapat benar-benar lepas dari orang tuanya. Alex menyadari hal ini. Seberapa pun besarnya kebencian terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembantaian keluarganya, Alex tidak menjadikan balas dendam sebagai hal yang mutlak, terlebih lagi karena orang itu adalah ayah dari wanita yang dicintainya. Mengingat Ben telah terlebih dahulu menelepon Diana dan berbicara dengan baik, maka Alex berusaha menepis dendam itu, lagi-lagi demi sang istri. Alex tahu Ben memiliki motivasi tersembunyi. Dia ingin tahu apa yang dilakukan Ben saat mereka bertemu. Tanpa terasa mobil yang membawa Alex dan Diana telah men
"Apa kabarmu, Kak? Sibuk apa aja belakangan? Kok jarang pulang?" tanya Diana membuka percakapan. "Biasa lah, sibuk kerja. Kebetulan sedang ada masalah sedikit di jajaran pimpinan perusahaan jadi semua bawahan bekerja keras." Will berbicara dengan Diana tapi sesekali matanya melirik Alex. "Oh? Sejauh ini bagaimana? Apakah perusahaannya bisa bertahan? Kamu kembali saja bekerja di perusahaan Papa. Toh nanti kamu yang akan mengambil alih," timpal Ben. "Lihat situasi, Pa. Akan kupikirkan." Will tertawa. "Biar tidak mencolok kamu bisa pegang anak perusahaan yang terkecil. Setahun dua tahun jika sudah terbiasa kamu bisa pindah ke pusat," lanjut Ben dengan bangga. William adalah anak lelaki kebanggaannya. Seandainya saja Mikaela melahirkan lebih banyak anak lelaki. Alex mendengus. Dia geli melihat pikiran Ben. Diana mendesis, "Kamu lihat apa...?"
"Aku mau mengobrol sedikit dengan kakakmu, setelah itu kita pulang," bisik Alex saat semua orang selesai makan siang. "Kamu kenal Will?" bisik Diana. "Itu yang mau kupastikan." Alex meremas tangan Diana. Diana mengangguk. Pasti ada perkara penting sampai Alex harus membicarakannya langsung dengan orang yang bersangkutan. Suasana setelah makan siang lebih santai. Perut yang penuh menurunkan kewaspadaan. Alex mendekati William yang sedang bersandar di ambang pintu utama. "Aku pernah melihatmu," kata Alex tanpa basa-basi. William terkejut karena dihampiri Alex, "Kamu tidak salah lihat?" "Mataku belum buta dan ingatanku masih bagus. Kamu termasuk orang yang jarang muncul di depan umum, tapi waktu itu nasibmu kurang beruntung sehingga berpapasan denganku." "Kalau pernah bertemu aku pasti ingat," ketus Will.  
Tiga hari berselang... Pagi hari ketika Diana sedang asyik berlari di treadmill. Handphonenya berdering. Diana terheran-heran karena William menelepon. Dia menjawab dengan hati-hati. "Halo?" "Diana? Nanti malam aku mau mampir di club Alex. Kita bicara sebentar ya?" kata William. "Ya, boleh. Jam berapa Kakak sampai?" "Kira-kira jam delapan." "Oke. Aku ada di sana. Kalau sudah sampai telepon aja." "Oke, sampai nanti." Diana termenung. Apa yang mau dibicarakan William? Kedengarannya serius. Apakah masalah dengan gangster bernama Han itu? Sudahlah, nanti saja dipikirkan. Sekarang saatnya mandi. Tubuh yang berkeringat akan terasa nyaman di bawah aliran air hangat. Dilihatnya Alex masih terlelap. Diana mengendap-endap ke kamar mandi. Diana mandi dengan cepat. Sehabis mandi dia ingin tidur
Diana melihat William melalui monitor CCTV. Kakaknya baru saja tiba. Dia memesan minuman di bar dan mencari meja kosong. "Will baru sampai. Kamu mau ikut ngobrol?" tanya Diana. "Tidak usah. Dia sudah tahu siapa aku, tidak akan berani macam-macam di tempatku." "Oke lah kalau begitu. Istrimu ke depan sebentar." Diana mengecup pipi Alex. "Tunggu, cuma begitu?" Alex menarik Diana dan melumat bibirnya dengan posesif. "Kamu yakin tidak mau ikut ngobrol...?" Wajah Diana bersemu. "Tidak. Biar kalian lebih leluasa ngobrol. Kalau aku ikut dia akan tertekan." Diana mengangguk perlahan. "Aku akan mengawasi dari sini." Alex tersenyum menenangkan. Tanpa dikatakan pun Diana tahu, jika melihat gerak-gerik mencurigakan Alex akan segera menyelamatkannya. William terlihat tegang. Matanya bergerak liar
Alex adalah orang yang pandai menyembunyikan perasaan. Kedatangan William beserta informasi yang dibawa membuatnya khawatir dengan keselamatan Diana. Karena tidak ingin menambah beban pikiran istrinya Alex tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia akan melindungi Diana dalam bayang-bayang. "Alex, kamu mau makan apa?" seru Diana dari dapur. "Apa saja, asal kamu yang masak aku pasti makan," balas Alex yang berada di kamar. Diana merenung sejenak di depan kulkas. Setelah melalui beberapa pertimbangan dia mengeluarkan sekotak daging sapi. "Aku masak semur!" seru Diana. "Iya, Istriku." Sebentar saja Diana sudah sibuk di dapur. Mempersiapkan bahan masakan terasa lebih rumit dibanding proses masaknya, tapi Diana sudah terbiasa. Tinggal sendiri selama beberapa tahun telah melatihnya menjadi wanita mandiri. Sejak pagi Alex sudah menghubungi orang-or