"Alex...."
Suara siapa yang memanggilnya? Di mana ini? "Alex...." Alex berusaha membuka mata. Semuanya terlihat putih menyilaukan. Dia terbatuk. "Dokter! Panggil dokter!" seru Diana. Segera saja beberapa perawat masuk ke kamar pasien. Mereka memeriksa tanda-tanda vital Alex dengan sigap. Ketika dokter tiba para perawat menepi. Kelelahan menghampiri Alex. Dia memejamkan mata dan kembali ke alam bawah sadar. Hatinya tenang karena mendengar suara Diana. "Adik Kecil, istirahatlah sebelum tumbang. Kamu sudah dua malam tidak tidur. Alex sudah melihatmu, dia akan hidup." Jack meletakkan tangan di bahu Diana. "Kalau ada di posisiku apakah kamu bisa istirahat?" tanya Diana. "Dia butuh Diana yang sehat, bukan turut sakit. Tidurlah sejenak. Aku akan menjaganya." Jack bersikeras. Diana memandanAlex sedang berjemur matahari pagi di atap gedung. Matanya terpejam menikmati kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Pergerakannya masih terbatas, hanya kedua kaki dan tangan kanan yang dapat bergerak bebas. Alex bergantung pada Diana untuk hal-hal kecil. "Wah, hari ini cerah sekali!" seru Diana. Dia membawa nampan berisi dua gelas susu cokelat dan sepiring biskuit. "Hmm...." Alex membuka mata. "Kenapa tidak biarkan Jack pindah kemari lagi? Dia kan sedang mengambil alih tugasmu?" Diana duduk manis di sebelah Alex. "Tidak perlu, cukup kita berdua." Alex melingkarkan lengan di bahu Diana dan mengecup dahinya sayang. "Kamu tidak bosan? Aku teman ngobrol yang begitu-begitu saja." "Kiamatlah kalau aku bosan terhadap istriku." Alex tersenyum geli. "Kamu ya...." Diana tersipu. Hatinya tersanjung dengan perkataan Alex. "Ada kaba
"Hei, cepatlah sembuh. Aku butuh cuti," gerutu Jack. Dia berkunjung ke penthouse untuk melihat keadaan Alex. "Kau pikir aku tidak mau cepat sembuh?" geram Alex. "Kulihat kau menikmati kehidupan sekarang. Dimanja, diladeni." Jack mengambil sepotong apel dan menggigitnya dengan kesal, seolah dia menggigit kepala Alex. "Bagaimana keadaan di luar?" Alex mengabaikan pikiran Jack yang mengesalkan. "Niko mengambil alih kelompok Han, tapi tidak sekuat sebelumnya. Tidak menjadi ancaman." "Bagus. Kelompok yang kehilangan kepala sama seperti binatang dalam kurungan." "Pihak berwajib mengawasi club dengan ketat. Kita tidak bisa bergerak sembarangan sekarang." "Kenapa takut? Aku selalu mematuhi peraturan yang ada. Pajak selalu kubayar tepat waktu." Jack mengangkat bahu. Dia sudah mengambil potongan apel ke empat.
Larut malam ketika sudah waktunya beristirahat. Diana baru saja membantu Alex mandi. Sekarang dia sendiri mandi air hangat untuk mengusir kepenatan. Berbalut handuk Diana melangkah keluar dari kamar mandi. "Kemari, Princess," panggil Alex yang sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur. "Aku berpakaian dulu." Diana tersenyum geli. "Oke, aku bisa menunggu." Mata Alex tidak lepas dari sosok Diana. Setelah memilih, Diana memutuskan untuk memakai gaun tidur pendek yang memamerkan lekuk tubuhnya. Baru saja hendak memanjat ke tempat tidur handphone Diana berbunyi. "Sebentar ya, sepertinya dari mama." Diana mengambil handphone. Dia memang menyetel nada dering yang berbeda untuk Mikaela. "Jangan lama-lama." Diana menjulurkan lidah. "Hai, Ma, tumben malam begini teleponnya?" "Diana? Kamu sedang apa? Mama ga
"Mama harus kasih aku resep ayam panggang ini! Enak banget!" seru Diana. "Nanti Mama kirimkan. Senang juga lihat kamu jadi rajin masak," puji Mikaela. "Iya, aku kan jarang keluar, kecuali untuk belanja bahan makanan. Itu pun tidak pergi lama." Mikaela mengangguk paham, "Makanya di rumah Mama minta Papa buatkan rumah kaca. Daripada bosan di rumah terus kan?" "Ooo ternyata begitu." Supaya Diana dan Mikaela dapat mengobrol dengan leluasa Alex berdiam di kamar, bekerja dari laptop. Sesekali dia tersenyum mendengar celoteh Diana. Sudah lama sekali sejak Alex mendengarkan percakapan keluarga yang hangat seperti ini. Ada sebuah sudut yang tak pernah tersentuh dalam hatinya. Mikaela tertegun. Dia menyentuh lengan Diana. "Ajaklah Alex kemari," pinta Mikaela. "Sepertinya dia sedang bekerja, Ma." "Percayalah sam
Menyembuhkan luka hati tidaklah mudah. Luka tersebut harus diangkat ke permukaan terlebih dahulu untuk dapat dilakukan proses penyembuhan. Banyak orang yang menyerah pada tahap ini karena tidak tahan terhadap rasa sakitnya. Alex juga tidak menyangka hatinya akan kembali berdenyut dengan aktif. Obrolan bersama Diana dan Mikaela mengangkat banyak kenangan manis yang dialami Alex bersama keluarganya. Pemuda yang dahulu suka memberontak itu telah menyadari bahwa dia mencintai keluarga yang selalu dilawannya. Pertengkaran dapat mereda. Kabur dari rumah dapat kembali. Permusuhan dapat didamaikan. Kehilangan karena dipisahkan oleh maut, siapa yang dapat membatalkan? Penyesalan yang dalam dan melukai diri sendiri pun tidak dapat memutar ulang waktu. Luka hati itu pula yang membuat Alex tidak mau kehilangan Diana. Dia telah membuka hati terhadap cinta, dia tahu rasa sakit kehilangan, dia menolak untuk melaluinya lagi.
Banyak hal yang dibagikan Mikaela selama menginap di penthouse. Dia benar-benar memperlakukan Alex seperti putranya sendiri, dalam batasan wajar tentunya. Mikaela mengajari mereka berdua cara untuk membentengi pikiran, bukan hanya dari pembaca pikiran, tapi juga terhadap serangan mental. Diana pun belajar bagaimana menyentuh alam bawah sadar Alex dari jarak jauh, mengirim pesan berupa gambaran atau kata-kata. Semua merupakan hal baru. Pembelajaran ini menguras tenaga dan pikiran. Seringkali Diana akan kelelahan di penghujung hari hingga tertidur di sofa. Alex harus membopongnya masuk ke kamar dibantu oleh Mikaela. "Beres. Biarkan dia istirahat." Mikaela selesai menyelimuti Diana yang tidur seperti bayi. Alex berinisiatif menemai wanita paruh baya itu di counter dapur. Mikaela mengambil gelas dan menuang air dingin untuknya. Alex memperhatikan saat Mikaela meneguk air sampai habis. "Kamu mau men
"Bagaimana Shi Fu? Apakah semakin jelas hari ini?" Seorang lelaki tua berpostur tinggi gagah bertanya. "Masih seperti kemarin, Paman Lao Hu. Namun menurut perhitungan beberapa minggu ke depan naga itu akan bersinar cerah dan kita dapat menemukan posisi jelasnya. Hari ini saya lihat masih ada awan putih yang melindungi dari penglihatan dunia luar," tutur seorang lelaki tampan yang dipanggil Shi Fu, atau guru dalam bahasa Mandarin. Lelaki tua yang dipanggil Lao Hu, mengepalkan tangan menggebrak meja. "Tidak boleh melewatkan kesempatan seperti ini! Awasi terus!" bentak Lao Hu pada semua orang yang hadir di ruangan. "Baik, Lao Hu!" Semua orang berteriak serempak, kecuali Shi Fu muda tadi. "Kalau sudah tidak diperlukan saya mohon diri." Shi Fu muda mengatupkan tangan di depan dada. Benar-benar gestur penuh hormat. "Antarkan Shi Fu Li keluar." Lao Hu melambaikan
Diana sedang menatap bayangan dirinya di cermin. Dia berputar ke segala sisi dengan wajah aneh. Hal ini tidak luput dari perhatian Alex. "Kamu sudah cantik, Istriku," goda Alex. "Hmm...." Alex bangkit menghampiri Diana, "Ada yang aneh?" "Sepertinya aku tambah gemuk...," keluh Diana. Alex tertegun. Baginya Diana masih tampak menarik. Matanya mencoba menemukan apa yang membuat wanita itu resah, tapi tidak ada. "Ini loh, pakaianku tambah sempit." Diana menarik-narik legging yang dipakainya. "Oh ya? Aku tidak melihat ada yang aneh." Alex sedikit membungkuk untuk memperhatikan area yang dimaksud sang istri. Lekukan tubuhnya masih menggairahkan. "Kamu mah...," keluh Diana lagi. "Apakah ini cara baru untuk menggodaku? Karena sepertinya berhasil." Alex menyeringai. "A...pa?" &nb