Suara jeritan wanita terdengar sayup dari dalam rumah. Niko berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Hasratnya bangkit mendengar suara-suara itu. Han adalah binatang yang tak terpuaskan. Wanita-wanita yang dipaksa melayani bos mereka terkadang harus kehilangan nyawa karena kebuasan lelaki tua itu.
"Lakukan sekarang," perintah Niko lewat handphone. Niko memerintahkan anak buahnya untuk membakar tumpukan ban di depan rumah Benyamin Hartanto. Mereka kenal Benyamin, seorang konglomerat dengan masa lalu yang kelam. Kalau bukan karena Alexander mereka tidak akan mengganggu konglomerat itu. Niko tahu dengan kekayaan yang dimiliki, Benyamin dapat mengimbangi kekuatan kelompok hitam. Di depan rumah Benyamin beberapa orang bergerak. Mereka melempar beberapa ban bekas yang dibawa. Saat salah seorang dari mereka hendak menyulut api, polisi menyergap. Kejadiannya sangat cepat. Satu orang lolos karena saat pen"Silakan. Yang paling tua boleh memulai dulu." Alex tersenyum. Penampilan Han boleh terlihat seperti lelaki tua, tapi gerakannya luwes dalam pertarungan. Langkah kakinya ringan seolah tak berbobot. Hanya butuh dua langkah lebar bagi Han untuk memperkecil jarak sejauh dua meter antara dirinya dan Alex. Alex sudah mengantisipasi tapi dia masih terkejut. Dia menghindar ke samping saat Han melayangkan telapak tangan ke kepala. Besi menghantam dada Han dengan keras, membuatnya mundur selangkah. Alex tidak membuang waktu, batang besi di tangannya berputar, menusuk, memukul tubuh Han bertubi-tubi. Han berteriak keras dan melancarkan serangan balasan. Alex menangkis tepat waktu. "Kamu sudah bertambah tua. Cuma segitu pukulanmu?" ejek Alex. "Siapa yang tertawa paling akhir itulah pemenangnya," kata Han. Satu sentakan dan bajunya pun robek, menunjukkan tubuh tua yang masih
"Kapan pulang??" tanya Benyamin dengan galak. "Pa, aku janji akan pulang kalau Alex sudah pulih. Sekarang biarkan aku merawatnya. Dia terluka karena menghadapi orang-orang yang meneror rumah Papa," bujuk Diana. Benyamin terdiam sesaat, "Baiklah! Tapi hanya kali ini saja Papa ijinkan kamu berdekatan dengannya!" "Iya Pa." Diana tersenyum. "Ehm, bagaimana Nona? Pak Ben mengijinkan?" tanya Jack penasaran. "Iya. Sampai Alex pulih." Diana meletakkan handphone di meja. "Hah! Kamu beruntung, Vorst." Jack tertawa. "Aku bersyukur." Alex tersenyum senang. Jack meninggalkan kamar untuk cari angin. Alex tahu Jack sengaja keluar untuk memberi privasi padanya dan Diana. "Sakit banget ya?" tanya Diana dengan wajah sedih. "Masih bisa ditahan. Aku pernah beberapa kali mengalaminya meskipun tidak sepa
"Temani aku tidur," bujuk Alex. "Kamu bisa manja juga ya?" "Hmmm... Kapan lagi? Mumpung ada kesempatan." Diana memanjat ke tempat tidur dan rebah di sisi kiri Alex, "Begini cukup, Kakak?" Dia menahan tawa. Alex mengerang, "Aku benar-benar disiksa. Kamu tahu kan aku sulit tertawa?" "Iya, maaf. Habisnya kamu manja sih. Ini sudah hari ke berapa sih kamu istirahat?" "Baru satu minggu, Princess. Aku butuh waktu sekurangnya satu bulan untuk pulih seratus persen." "Satu bulan ya. Setelah itu aku harus pulang." Diana bersandar di dada Alex. Alex melingkarkan lengan di punggung Diana. Dia menahan nyeri untuk menarik Diana mendekat. "Sakit ya?" tanya Diana. "Masih bisa ditahan. Aku sudah terbiasa." "Kamu tidak mau minum obat dokter?" "Obat pereda nyeri me
Benyamin menelepon Diana setiap hari untuk memastikan keadaan. Keinginannya adalah supaya Diana cepat pulang ke rumah. Sebagai ayah dia sangat mengkhawatirkan putrinya yang berada jauh. Kondisi tubuh Alex yang kuat membuatnya pulih lebih cepat. Tidak sampai satu bulan dia sudah dapat bergerak normal. Diana tahu waktu perpisahan sudah ada di depan mata. "Kenapa tidak sakit lebih lama sih...," rajuk Diana. "Apa? Kamu senang kalau aku sakit?" Alex tertawa. "Biar aku tidak usah pulang..." Mata Diana berkaca-kaca. "Princess, jangan berkata begitu," Alex mengusap airmata yang jatuh di pipi Diana, "Aku juga tidak ingin berpisah, tapi kita harus menunjukkan pada ayahmu bahwa kita dapat menepati janji." "Aku tahu..." Diana terisak. "Aku akan mengantarmu pulang." "Kapan? Sekarang?" Alex mengangguk.
"Terima kasih sudah mengijinkan Diana merawat saya selama beberapa minggu. Saya tidak akan melupakannya," kata Alex. Ben mendengus, "Sekarang kita impas. Tidak ada beban sama sekali jika kita berpisah jalan. Hidup putri kami masih panjang dan kami sebagai orangtua tidak ingin Diana berada di tengah pertikaian antara dirimu dan lawan-lawanmu di dunia hitam." "Benar. Maafkan saya atas keresahan yang ditimbulkan, tapi saya akan berusaha supaya tidak ada lagi yang akan mengganggu Diana," tutur Alex dengan wajah datar. "Aku juga tidak keberatan kok, Pa," timpal Diana. Ben mendelik, "Kamu jangan ikut campur! Masuk ke kamarmu!" "Papa kan sedang membicarakan hidupku? Ya tentu aku ikut bicara dong?" balas Diana. "Benar-benar...." Ben menggertakkan gigi. Mikaela meletakkan tangan di lengan suaminya. Sejak awal pembicaraan wajahnya sangat tenang.
Jauh malam ketika semua orang sudah tidur... Diana berbaring miring dengan handphone di tangan. Wajah Alex tampak melalui video call. Mereka tengah mengobrol ringan. "Aku sudah emailkan kembali file yang terbaru. Ada lagi yang kamu butuhkan?" tanya Diana. "Kamu," goda Alex. "Ih, sebal," gerutu Diana. "Sedang jauh begini jangan bicara yang aneh-aneh deh...." "Hmmm.... Jadi bicara apa dong?" "Bagaimana harimu? Atau sudah makan atau belum? Atau basa-basi manis tapi aman lainnya." "Takut kangen ya?" "Alex! Tiga hari itu lama loh...," keluh Diana. "Tidak, Princess. Tiga hari tidaklah lama. Jalani harimu dengan sepenuh hati, waktu akan cepat berlalu." "Masuk akal sih..." "Bagaimana harimu?" tanya Alex dengan senyum menawan. "Mama membuatku tetap sibuk. Aku tahu dia tidak ing
Akhirnya hari ini pun tiba. Semalam Alex sudah memastikan bahwa pagi-pagi sekali dia akan datang. Diana tidak dapat tidur sampai pagi. Ketika matahari keluar dari peraduan, Diana pun keluar dari kamar. Dia berderap menuju dapur untuk mencari makan. "Ada yang bahagia hari ini," goda Mikaela. "Ih, Mama." Diana tersipu. "Mau buat sarapan untuk Alex?" "Iya, tapi belum tahu mau buat apa." Diana melihat isi kulkas dan lemari. "Mama tahu apa aja yang kamu buat pasti dia suka. Selamat bekerja, Sayang." Mikaela mengecup pipi Diana dan meninggalkannya. Diana memutuskan untuk membuat roti isi. Dia mengeluarkan sekantong roti tawar, telur, mentega, selada, tomat. Harusnya cukup. Diana mulai mengiris tomat dan mencuci daun selada. "Wah, pagi-pagi sudah sibuk. Perlu bantuanku?" Jack menyeringai. "Oh, Jack. Boleh. Aku mau bikin roti isi seperti buata
Diana mengajak Alex menikmati kesejukan sore hari di balkon. Mereka duduk berdampingan tanpa jarak. Roti isi buatan Jack sudah habis tak bersisa. Alex menahan diri untuk tidak bermesraan di tempat terbuka. Dia tidak ingin Ben melihat dan mengusirnya pergi. "Ngomong-ngomong aku tidak pernah melihat kakakmu?" tanya Alex. "Dia kerja di luar kota dan jarang pulang." "Oh. Seperti apa dia?" "Aku kurang akur dengannya. Sejak kecil dia selalu menindasku, jadi lama-lama aku menganggapnya tidak ada." "Kamu benar-benar terluka ya?" Diana tersenyum tipis. "Baiklah. Lupakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Mari berbicara tentang kita." "Oke. Apa yang mau dibicarakan?" "Jika kita menikah nanti...," kata Alex. Diana mendekap mulut. "Pada akhirnya kita akan menikah, bukan?" Alex memindahkan tangan Dia