Maharani membisikkan sesuatu pada telinga Dika. Sebuah rencana yang telah dia susun dengan rapi untuk membuat Kevin menyesal. Dika membelalakkan matanya, lagi-lagi ide gila Rani membuatnya tercengang.
"Wanita gila," ucap Dika meremehkan.
"Hei Mas Dika, jaga bicaramu, aku ini bosmu." Rani mulai menyombongkan diri lagi.
Dika terkekeh mendengar, dia lupa jika hanya menjadi suami bayaran saja. "Baiklah, Ibu bos," kata Dika seolah patuh padanya.
Tiba-tiba saja, Rani memberikan satu bantal, satu guling dan selimut kepada Dika. "Untuk apa?" tanya Dika bingung.
"Tidak mau? Ya sudah." Rani kembali mengambil perlengkapan tidur tersebut.
"Sana! Mas Dika tidur di sofa saja," kata Rani dengan mengibaskan tangannya.
Dika mengernyitkan keningnya. "Kenapa? Kita kan sudah halal," kata Dika lantas naik ke atas kasur bersama Rani, tapi Rani justru mendorongnya untuk menjauh.
"Ih, jangan tidur di sini!" kata Rani kesal, "Mas Dika tidur di sofa saja, kita kan cuma nikah pura-pura," imbuhnya sambil bersungut-sungut.
Dika terlihat menghela napas beratnya. Kemudian laki-laki itu turun dari kasur dengan membawa selimut dan juga guling. Rani menahan tawanya saat melihat wajah Dika yang kesal.
"Nah, pokoknya Mas Dika gak boleh dekat-dekat sama aku. Ini wilayahku, dan Mas Dika di sana saja," kata Rani sambil menunjukkan batas tempat mereka.
"Iya iya," jawab Dika malas.
“Oh ya Mas, Mas kan belum cerita tentang asal usul Mas. Sebenarnya Mas Dika ini dari mana dan mau kemana? Kenapa waktu itu sampai di rampok? Dan sepertinya, Mas Dika ini bukan orang sembarangan. tidak mungkin bangsawan sampai di rampok. Oh ya, Mas Dika kerja apa dan di mana? Aku perlu tahu karena sekarang kan kita sudah menikah," celoteh Rani.
Dika merasa pusing mendengar pertanyaan Rani yang begitu banyak. Laki-laki itu juga heran mengapa gadis yang dinikahinya begitu suka berbicara, bahkan hal-hal yang tidak penting pun dia pertanyakan. Akhirnya karena malas meladeni Rani yang terus bertanya dan berceloteh tidak jelas, Dika memilih untuk memejamkan matanya dan pura-pura tidur.
"Mas, kok gak jawab sih pertanyaanku," ucap Rani yang menoleh ke arah Dika.
"Eh dia malah tidur, cepat sekali."
Melihat suaminya sudah memejamkan mata, Rani pun ikut membalik badan dan mencoba terlelap. Namun, terasa sangat sulit karena terus terbayang-bayang kejadian beberapa hari ini yang membuatnya sangat terluka. Gadis itu terlihat ceria hanya untuk menutupi kepedihannya. Dia berusaha melupakan itu semua, tapi pengkhianatan Kevin yang merupakan cinta pertamanya sangat sulit untuk dihapuskan dari hatinya.
Sampai tanpa terasa, Rani berlabuh dalam mimpi di alam bawah sadarnya. Ya, Rani sudah tertidur setelah lelah melamun bermenit-menit. Dika yang sebenarnya belum tidur bangkit dan menghampiri istrinya yang ada di sampingnya. Laki-laki itu membenarkan selimut yang menutupi tubuh Rani, lalu kembali lagi ke sofa.
*****
Pagi yang cerah, yang seharusnya menjadi pagi yang indah setelah melewati malam pertama. Akan tetapi, tidak dengan sepasang pengantin baru yang terpisah di malam harinya. Saat Rani terbangun, dia melihat suaminya yang baru selesai mandi, Dika keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan selembar handuk.
Rani meneguk salivanya saat tanpa sengaja melihatnya terarah pada bagian perut dan dada Dika. Dika memiliki bentuk tubuh yang sempurna sebagai seorang laki-laki. Dada bidang dengan bulu halusnya serta roti sobek yang berjejer di perutnya, membuat semua mata seolah ingin memakannya.
Dika yang baru saja menyadari jika Rani tengah dilihat, langsung saja kembali ke kamar mandi. "Lain kali bawa baju ganti sekalian, Mas!" teriak Rani setelah Dika menghilang di balik pintu kamar mandi.
"Ran, tolong ambilkan bajuku dong," punya Dika memohon.
"Di mana?" tanya Rani.
"Di tas," jawab Dika.
Rani membuka tas Dika, dia memilih di antara dua baju yang ada di dalam tas tersebut. Sangat miris, Rani mengira jika suaminya hanya memiliki dua baju saja. “Sepertinya aku harus membelikan dia baju,” gumam Rani.
Pilihan Rani jatuh pada kaos berwarna hitam. Gadis itu berjalan ke arah kamar mandi, menutupinya dengan lembut lalu melengkungkan baju itu dari pintu depan tanpa menoleh ke arah Dika. Dika tersenyum melihat istrinya yang tampak malu-malu.
"Kamu gak mau mandi?" tanya Dika yang masih belum mengambil baju yang Rani ulurkan.
"Gak mandi juga tetap cantik," kata Rani memuji diri sendiri.
"Cantik-cantik tapi kok ngenes," ledek Dika.
Spontan Rani langsung ditangkap tajam. Dia yang tadi memalingkan wajahnya, kini dengan berani melotot pada Dika yang telah meledeknya. Namun, setelah lama Rani menatap Dika, justru kini dia sendiri yang merasa takut.
Tidak sampai 5 menit Rani menunggu Dika yang sedang berganti baju. Kini laki-laki itu keluar dan berganti Rani yang akan masuk. Setelah Rani masuk ke dalam kamar mandi dan suara air mulai mengalir, Dika mengambil ponsel Rani untuk menghubungi seseorang.
"Hallo, ini aku."
"Halo, ini aku."
"Mas, kamu ngapain?" Suara Rani terdengar dari belakang tubuh Dika.Mahardika menoleh sambil tersenyum lalu meletakan ponsel Rani. "Pinjam ponselmu ya, aku perlu menghubungi seseorang masalah pekerjaan," kata Dika yang tentu saja hanya beralasan. Tiba-tiba saja, Rani memasang wajah sedihnya, Dika terheran kenapa istrinya cepat sekali berubah-ubah ekspresi. "Kenapa kamu?" tanya Dika bingung. "Saya kasihan sama Mas, ponsel saja tidak punya. Nanti setelah gaji Mas saya bayar, Mas beli ponsel baru ya," ucap Rani yang membuat Dika membulatkan matanya.Rasanya ingin sekali tertawa, Rani seperti sedang berbicara pada anak kecil. "Kok Mas malah ketawa sih, aku ini kasihan loh sama, Mas," tutur Rani lalu memajukan. Tawa Dika pun lepas. “Ha ha … maaf maaf, kamu ini ….” Tangan Dika terulur mencubit hidung mancung Rani. "Aku hari ini harus pergi, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," kata Dika, lalu berdiri dan merapikan penampilannya. Meskipun hanya menggunakan kaos tipis dan celana kema
"Mas, aku duluan ya," pamit Rani yang buru-buru turun dari angkutan. "Jangan buru-buru!" "Gak bisa Mas, udah telat. Nanti bosku marah," kata Rani yang terus mengulurkan tangannya, tapi Dika masih belum menyambut tangannya. "Salim, Mas!" ucap Rani sedikit kesal. Dika terkekeh, laki-laki di dalam angkot itu menyambut tangan istrinya dan Rani menciumnya takzim. "Memang kenapa kalau terlambat?" tanya Dika. "Nanti dia marah. Dia itu galak, sombong dan arogan. Sudah ah, ngobrol terus aku tambah telat," kata Rani khawatir. Mata Dika melotot mendengar Rani menghina bosnya sendiri. "Memang kamu sudah tahu siapa bosmu itu?" tanya Dika sekedar basa-basi. "Belum sih, tapi kelihatannya begitu. Sudah ah... assalamualaikum, Mas," pamit Rani kemudian berlari terburu-buru untuk masuk ke dalam kantor. Dika juga turun dari angkutan itu setelah membayar ongkosnya. Namun, mata Dika tertekan pada kursi yang Rani duduki tadi. sayangnya, kartu nama Rani tertinggal. Dika mengambilnya kemudian ke
"Hai, Kevin," sapa Dika ramah. Kevin menelisik penampilan Dika yang menggunakan seragam office boy dan membawa alat kebersihan. Laki-laki itu tertawa menyadari jika suami mantannya ini tidak lebih baik darinya. Kevin menyilangkan tangannya di dada dan mengangkat wajah angkuhnya. "Jadi ini pekerjaanmu?" tanya Kevin seperti meledek. "Ya seperti yang kamu lihat. Alhamdulillah pekerjaan ini halal," jawab Dika santai. "Aku kira, Rani akan jadi sutradara atau CEO, ternyata… Rani Rani…." Tawa Kevin semakin pecah. "Memang apa salahnya dengan pekerjaanku?" tanya Dika lagi. "Ya tidak ada yang salah. Tapi, Rani yang salah, meninggalkanku dan justru memilih laki-laki sepertimu. He, beda laki kasta!" ketus Kevin mencemooh Deka. Dika menarik sedikit sudut yang terkena dan kepala berguncang. Laki-laki itu adiknya menatap iparnya dengan tenang meskipun hinaan telah terlontar untuknya. "Sudah ketawanya?" tanya Dika begitu santai. Kevin langsung memasang wajah datarnya. Ucapan Dika barusan sepe
Mata Bunga membulat. Tentu saja wanita itu sangat terkejut. Setelah menghilang selama satu minggu, dan kini setelah kembali, Dika mengatakan telah memiliki istri. "Serius, Pak?" tanya Bunga memastikan. "Apa aku harus menunjukan buku nikah kami?" kata Dika. Bunga yang belum percaya hanya diam saja tidak menjawab iya ataupun tidak. Dika mengeluarkan sebuah foto dari dalam sakunya. Laki-laki itu sengaja membawanya untuk di tunjukan kepada Bunga jika wanita itu tidak percaya. "Wah rupanya Bapak sudah menikah. Kapan? Dan kenapa tidak ada berita yang meliput ini? Jika wartawan tau, ini akan menjadi berita hot sepanjang hari," papar Bunga setelah melihat foto tersebut. “Ceritanya panjang, yang jelas aku minta untuk kamu memberikan data mengenai Maharani Ayunda,” kata Dika. "Baik, malam ini saya kirim ke email bapak," ucap Bunga menyetujuinya. "Satu lagi," ucap Dika, "jangan sampai ada yang tahu tentang pernikahanku dengan Rani, termasuk Mama dan Papa," sambungnya lagi. "Baik, Pak.""
Suara berat yang terdengar lembut itu membuat sepasang mata coklat berbinar. Rani menoleh saat Dika memanggilnya kembali. Laki-laki yang sedang duduk di ujung ranjang itu menatapnya begitu dalam. "Ada apa, Mas?" tanya Rani, suaranya tak kalah lembut. "Oh tidak, lupakan saja," jawab Dika sambil tersenyum. "Oh, baiklah." Rani kembali melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam kamar mandi. 'Ada apa denganku? Kenapa aku jadi peduli pada gadis itu? Ucapan Mama Retta … apa karena ini?' batin Dika. Sedangkan beberapa detik kemudian, Dika mendengar suara senandung dari kamar mandi. Suara yang sangat merdu meskipun bernyanyi dengan nada yang asal-asalan. Laki-laki itu tersenyum mendengar suara yang berasal dari Rani itu. Dika mengitari kamar Rani, laki-laki itu mengamati foto dan barang-barang yang terpajang di dalam kamar itu. Dika juga membuka laci-laci dan lemari milik Rani, berharap menemukan sesuatu yang bersangkutan dengan informasi istrinya. Dika menemu KTP milik Rani. "Maharani Ayun
Sepasang mata coklat menoleh saat suara seseorang memanggilnya dari belakang. "Iya," ucap Rani menjawab panggilan orang tersebut. Kevin mendekat ke arah Rani, dengan tatapan yang sulit diartikan. Mata laki-laki itu menelisik penampilan Rani seperti menelanjangi. Rani, dengan wajah datarnya kepada Kevin, menatap tajam laki-laki yang telah menjadi masa lalunya itu. "Ada apa?" tanya Rani datar. Langkah yang semakin dekat, Kevin mengambil piring di tangan Rani. "Mau apa kamu?" tanya Rani lagi, pasalnya Kevin semakin mendekatkan tubuhnya. "Kamu sengaja, ya?" Bukannya menjawab, Kevin justru melemparkan pertanyaan yang tidak Rani mengerti. "Sengaja? Maksudnya?" tanya Rani bingung. "Untuk apa kamu pakai pakaian seperti ini?" tanya Kevin."Ada apa dengan pakaianku? Tidak ada yang salah sepertinya," ucap Rani. "Tidak ada yang salah katamu? Selama ini kita berpacaran bahkan sampai tunangan, kamu tidak pernah dandan secantik ini dan …," Kevin sengaja menghentikan ucapannya. "Dan?""Dan pa
Rani dan Dika pergi ke kamar mereka. Rani menangkupkan tangannya pada wajahnya lalu menangis. Dika berjalan ke arahnya lalu mengelus rambut Rani untuk menenangkannya. "Mas, aku gak ngelakuin apa-apa, aku gak merayu Kevin," ucap Rani di sela isak tangisnya. "Aku percaya kok sama kamu," ujar Dika. Dika memeluk Rani yang masih menangis, dia mengerti bagaimana perasaan istrinya saat ini. Keluarga gadis itu tidak seharmonis keluarga pada umumnya. Rani bagaikan bawang putih di rumahnya sendiri, hanya ada Retta sebagai ibu tiri yang kejam dan Ariella yang selalu berkuasa. Dika mengerti semuanya tidak mudah untuk Rani, apalagi saat semua orang bersalah. "Sudah nangisnya," ucap Dika dengan mengelus rambut Rani. Rani tersadar jika sejak tadi dirinya banyak menangis di pelukan Dika. Buru-buru gadis itu melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya. Rani merasa malu telah melakukan hal itu. "Kenapa di lepas? Menangis saja, tidak apa-apa," kata Dika lalu memberikan pundaknya kembali.
"Kirimkan aku informasi tentang Kevin Aprilio, lengkap dan jelas. Secepatnya!" ucap Dika, kemudian tersenyum miring. Dika mematikan sambungan teleponnya. Kemudian mulai berselancar dengan ponselnya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Setelah itu, Dika membaca semua informasi mengenai Maharani Ayunda, wanita yang kini menjadi istrinya. "Tidak salah, dia bisa mempermudah jalanku," ucap Dika puas. Karena hari sudah semakin larut, Dika meletakan semua pekerjaannya dan bergegas untuk istirahat. Dika menatap Rani yang sudah nyenyak dalam mimpinya. Laki-laki itu tersenyum, Dika cukup mengagumi kecantikan Rani ketika wanita itu tengah tertidur. *****Pagi-pagi sekali, Dika dan Rani berangkat lebih awal. Rani yang katanya ada meeting dadakan sangat terburu-buru. Kali ini, mereka memilih untuk naik taksi saja karena sedang memburu waktu. Rani, dengan penampilan sederhananya, tetapi terlihat anggun karena polesan make up tipis dan gaya rambutnya. Tak butuh waktu lama dan mereka telah tiba di