Kaki wanita paru baya itu tak lagi mampu menopang berat badannya. Rasa bersalah kini menyelimuti hatinya. "Apa yang sudah aku lakukan? Aku menghancurkan hidupnya?" tanya Miranda pada dirinya sendiri. Satu kalimat yang kini terus tersemat bagaikan pengingat untuknya. Kalimat yang diucapkan Dira. Aku juga tidak pernah berharap bisa menikah dengan keluarga Sander. "Lalu kenapa dia mau menikah saat itu? Ada apa sebenarnya di keluarga Sabit ini?" Miranda memikirkan semua hal yang kini menjadi teka-teki di benaknya. Semakin Miranda memikirkan semuanya kepalanya kembali berdenyut nyeri. "Sepertinya aku harus segera menemui Abi. Aku harus bertanya padanya, kali ini aku tidak boleh membuat keputusan begitu saja, apalagi keadaan Dira sekarang seperti itu." Miranda kini menahan rasa nyerinya dia langsung membulatkan tekad untuk menemui Abi di perusahaan. Namun, saat kaki wanita itu ingin melangkah meninggalkan rumah sakit. Suara Dira terdengar di gendang telinganya sontak membuatnya terkeju
Mobil berwarna hitam itu melaju dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan agar segera sampai pada tempat tujuannya. Namun, hal berbeda dirasakan oleh Miranda yang kini duduk di bangku penumpang. Pikiran wanita paruh baya itu masih berada di rumah sakit tepatnya di saat dia berbicara dengan Rico. "Jika saya mengatakan iya, apa Ibu percaya? Saya memang belum terlalu mengenal Dira, tapi sepanjang saya mengenal beberapa minggu yang lalu. Dira wanita yang kini tengah kesepian di saat hidupnya berada di ujung jurang." Kalimat perumpamaan yang dilontarkan Rico seolah menjawab semua keinginan tahuan dirinya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku amat benci pada wanita itu tapi aku sama sekali tidak bisa membiarkan keadaan terus begini. Bukankah ini tidak adil untuknya?" gumam Miranda. Miranda sekilas melihat ke arah spion dia tahu jika sekarang sang supir sedang memperhatikan dirinya. "Apa ada yang salah denganku? Kenapa kamu memperhatikan aku seperti itu?" tanya Miranda. "Tidak, Bu
Dira pasrah jika dirinya akan mendapatkan sebuah tamparan dari manager Dika, karena dia tahu jika dirinya sudah bersalah. Seharusnya dia bisa mengontrol emosinya. Kini wanita itu memejamkan matanya guna bisa menikmati rasa sakit saat ditampar. Namun, sudah beberapa saat dia memejamkan mata, tapi tidak merasakan apa-apa. Apa manager Dika tidak jadi menamparnya?Dira langsung membuka kelopak matanya, dia kini dibuat terkejut saat tangan kekar manager Dika dipegang oleh Abi. "Apa kamu seorang pecundang?" tanya Abi membuat Dira masih tidak percaya jika sang suami membela dirinya. Dika langsung melepaskan tangannya dari cengkraman Abi. "Anda tidak perlu ikut campur. Ini masalah saya dengannya! Lagi pula siapa Anda?" seru Dika. "Siapa saya tidaklah penting. Bukankah sebagai seorang lelaki harusnya Anda tidak perlu main tangan?" ucap Abi. Kini perasaan Abi memberontak, dia bilang seorang lelaki tidak boleh main tangan? Lalu apa yang selama ini dia lakukan pada Dira? Bahkan dia pernah me
Kaki jenjang Dira terus melangkah maju, dia berniat untuk mengabaikan Abi yang kini terus menatap dirinya dengan tatapan nyalang. "Kamu!" teriak Abi saat Dira berada satu langkah di depan, melewati Abi. Dira menghentikan langkahnya, dia menunggu Abi berbicara kembali. Namun, beberapa saat berlalu lelaki itu tak ada niatan lagi berucap kata. Dira kembali melangkah. "Kamu berniat mengabaikan aku?" Suara Abi kembali terdengar di gendang telinga Dira. Wanita itu sontak menghentikan langkahnya tanpa ingin membalikkan tubuhnya. "Setelah apa yang terjadi kamu mengabaikan aku dan berniat untuk kembali bekerja? Dan lagi harusnya kamu belum keluar dari rumah sakit, tapi sekarang kamu berkeliaran di sini, apa kamu hanya berpura-pura semalam?" cecar Abi. Dira berdecak sebal, emosinya kini sedang tidak stabil. Bahkan dia tidak bisa menilai seperti apa dirinya saat ini, apakah Dira yang polos atau memang Dira yang penuh dengan api kebencian. "Apa aku meminta? Apa Kakak lupa jika aku wanita li
Dira sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Abi saat mengetahui pipinya yang mungkin saja kini sudah membiru. Dalam hatinya dia terus mengutuki Nadya. "Kamu lepas atau aku yang lepas?" Abi mengulang kembali kalimatnya tidak hanya itu kini posisi tubuhnya juga menghadap ke arah Dira. Benak Dira langsung beraksi saat mendengar ucapan Abi. Dia ingin agar Abi tidak melakukan apa yang diinginkan dia pun berkata, "Jika aku melepaskan masker ini apa aku bisa mendapatkan ciuman dari Kakak lagi? Ah, aku ingat kejadian kemarin." "Bahkan kamu sama sekali tidak bisa membalas ciuman itu." Abi menjawab dengan nada pelan, dia tidak ingin menunjukkan rasa kecewanya. "Kakak bicara apa?" tanya Dira sembari mengedipkan kedua matanya seperti wanita centil.Abi menarik sudut bibirnya ekspresi yang ditunjukkan Dira benar-benar membuat dia gemas. Sayangnya, sekali lagi wanita itu sama sekali tidak mau membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya. Kini tangan Abi terulur dan ingin menarik
"Mama," ucap Abi dan Dira secara bersamaan. Keduanya kini berjalan menghampiri Miranda yang tengah duduk di sofa. "Kalian baru kembali?" tanya Miranda.Abi sekilas melihat koper yang kini berada di samping Miranda lalu tanpa menjawab pertanyaan dia berkata, "Mama mau kemana? Kenapa membawa koper?" "Tentu saja Mama ingin ke sini. Tidak, lebih tepatnya Mama akan menginap beberapa hari di sini," jawab Miranda."Menginap?" ulang Dira yang kini terkejut."Kenapa? Tidak boleh?" jawab Miranda dengan ketus. "Bukan begitu Ma." Dengan nada gugup Dira menjawab pertanyaan Miranda. "Kalau Mama di sini, Papa bagaimana?" Abi menimpali ucapan Dira. Miranda hanya mengembangkan senyumnya. Dia ingat betul setelah dari kafe dia langsung memutuskan untuk menginap di apartemen Abi setelah membicarakan tentang Dira pada sang suami. Kebetulan saat itu juga Fauzan ingin ke luar kota bertemu dengan kliennya. "Papa keluar kota jadi Mama sendiri di rumah. Untuk itu Mama memutuskan untuk menginap beberapa h
"Dira! Apa yang kamu lakukan?" teriak Abi saat dia mendapati sosok Dira yang kini menggunakan baju favorit miliknya dan baju itu adalah kado dari Nadya. "Aku sedang masak sama Mama," jawab Dira yang belum tahu akan maksud Abi. "Aku tahu kalau kamu sedang masak, tapi apa-apaan ini? Kamu memakai bajuku!" Meskipun Abi marah saat melihat Dira memakai baju itu. Namun, bola matanya tak berkedip barang sebentar. Dia tidak bisa memungkiri jika saat ini Dira benar-benar cantik dengan kaos oblong berwarna biru yang hanya sampai paha atas, selain itu rambutnya digerai dan memakai bandana sebagai aksesorisnya. Abi kini berkhayal bisa berada di belakang tubuh Dira lalu melingkarkan tangannya di pinggang ramping wanita itu dan dia menyibakkan rambut panjang yang menutupi leher jenjang Dira. Namun, itu semua hanya khayalan kini gendang telinga Abi mendengar suara Dira. "Kak, aku bahkan memakai dalaman Kakak," sahut Dira dengan nada acuh tak acuh. "Apa kamu!" "Abi sudah dia hanya memakai baju
Abi melihat jam dinding. Jarum pendek jam itu menunjukkan angka sepuluh. Dia berpikir mungkin saja kini Dira sudah terlelap di ranjang miliknya untuk itu Abi memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamar. Dengan ragu-ragu seperti pengantin baru Abi membuka pintu kamarnya. Saat kepalanya menyembul ke dalam kamar diikuti seluruh tubuhnya, dia melihat Dira yang kini duduk di sofa sembari menyalakan televisi, tak lama kemudian Dira langsung mematikan televisi itu dan menatap ke arah Abi. "Kakak sudah mau tidur?" tanya Dira. "Tentu saja, kamu pikir aku akan menemanimu hanya untuk sekedar berbicara atau menonton televisi gitu?" sahut Abi dengan nada cepat. "Tidak juga. Aku kira Kakak akan mengerjakan berkas-berkas yang sudah menumpuk di meja itu. Kalau iya aku temenin," ucap Dira. Rasanya Abi ingin segera memejamkan mata saja saat Dira memberikan jawaban seperti itu. Apakah dirinya terlalu percaya diri? "Tidak. Aku sudah ngantuk," ucap Abi beralasan. Lelaki itu kini merebahkan tubuhnya