Share

Bab 3 : Perkenalan

“Itu nama aliasku,” komentarnya datar. Aku masih terpaku tidak percaya. Ini asisten killer yang disebut-sebut oleh Kak Daniel dan senior-senior lainnya. Dia gak terlihat killer di sini. Ingin aku katakan dia asistenku, tapi aku tidak ingin terbongkar kalau aku praktikan sekarang. Mungkin aku bisa sedikit kenal lebih dekat dengan orang ini. Aku ingin membuktikan, apa benar dia Shadox yang menulis karya-karya itu? Apa benar Shadox ini orang yang sama?

“Ah, maaf Kak Shadox,” ucapku sedikit tersipu. Sepertinya dia sadar aku bengong.

“Tidak apa. Aku hanya orang lain di dalam keramaian kok,” komentarnya. Aku berpikir sejenak sebelum memberi komentarku. Aku ingat salah satu tokoh di novel karya Shadox ada kalimat itu.

“Kak. Maaf kalau mengganggu, apa benar Kakak adalah Shadox yang terkenal itu?” tanyaku hati-hati. Laki-laki itu tampak diam, tidak memberikan jawaban.

“Aku hanya orang lain di dalam keramaian,” jawabnya. Dia seperti mengelak dari menjawab. Apa dia benar Shadox itu? Aku memutar otak untuk mencari cara supaya dia bicara.

“Cahaya merahnya membentang seluruh penjuru dalam keabadian,” ucapku. Dia tampak sedikit terkejut, namun segera menyembunyikannya. Untung saja aku menangkap reaksi cepat itu. Berterima kasih karena aku fokus memperhatikan responsnya.

“Kalimat yang indah, mungkin bisa aku pertimbangkan untuk tulisanku,” komentarnya tenang. Ya, dia mengelak. Tapi, reaksi kejut itu cukup untuk menyatakan kalau dia tahu kalimat itu.

“Itu dari salah satu novel yang lagi ramai dibaca saat ini,” komentarku. Dia hanya diam untuk beberapa saat. Apakah aku salah bicara?

“Oh,” ucapnya. Hanya dua huruf yang keluar dari mulutnya. Ini orang ngomongnya irit banget ya?

“Dia tak menjamah dunia, membentuk kenyataannya sendiri,” komentarku lagi.

“Apa kamu suka kalimat-kalimat seperti itu?” tanya Shadox lagi. Aku menganggukkan kepala.

“Aku harus akui, seleramu bagus. Perkenalkan, namaku… Yahya... Yahya Hakim,” komentar Shadox, memperkenalkan dirinya. Dia terlihat ragu menyebut namanya, entah mengapa. Aku menawarkan jabatan tangan.

“Tidak perlu. Jangan mencoba menghormatiku, aku hanyalah orang lain di dalam keramaian,” komentarnya menolak jabatan tangan itu. Dia menatap ke arahku, “siapa namamu, wahai gadis muda nan cantik?”

Tidak mungkin bukan! Salah satu karakter favoritku di novelnya mengucapkan itu pada perempuan yang dia sukai! Aku yakin dia Shadox penulis itu! Meski dia tidak menunjukkan ekspresi hipnotik seperti orang di karyanya, kalimatnya sempurna sama.

Tunggu… Gak. Kontrol dirimu Zihan. Kamu lagi kesulitan membedakan kenyataan dan mimpi terbangmu. Aku menatap Kak Yahya dengan tatapan serius.

“Manis sekali pujian Kakak. Namaku Zihan,” ucapku dengan senyumannya. Dia tidak tersenyum.

“Zihan ya… Nama yang bagus,” komentarnya datar. Dia membuka bukunya dan mengalihkan pandangannya ke buku itu. Isinya hanyalah tulisan yang tidak sepenuhnya tersusun. Sesuatu masuk ke ingatanku. Sebuah ingatan di grup daring komunitas pembaca.

‘Aneh kan, Shadox gak pernah kasih kontak dia sama sekali.’

‘Cuma bisa dihubungi lewat wp, tapi gayanya bagus sih responnya. Cepat dan bersahabat.’

‘Aku penasaran lho dia sebenarnya siapa.’

‘Aku yakin banyak juga yang kayak kamu.’

‘Aku nyari IG, LINE, dan apapun yang berhubungan dengan nama itu gak menghubungkan ke Shadox di WP’

‘Aneh kan? Aku gak ngerti kok dia gitu’

‘Kayak dia sembunyiin dirinya’

“Oh ya Kak-” kalimat itu dipotong oleh Kak Yahya.

“Panggil aku Yahya saja. Aku hanyalah orang lain dalam keramaian,” komentar Kak Yahya lagi.

“Boleh minta kontak Ka- Yahya?” tanyaku langsung menyambung dari pertanyaanku yang terpotong sebelumnya. Yahya menggelengkan kepala.

“Aku tidak terlalu suka media sosial. Hanya menggunakannya setiap akhir minggu atau untuk komunikasi labo-,” komentar itu terpotong oleh sebuah dering pesan ponsel Kak Yahya.

“Sebentar,” komentarnya. Dia tampak sibuk mengetikkan sesuatu dengan cepat, lalu kembali mengantongi ponselnya.

“Aku ada keperluan lab, jadi cukup sampai sini dulu ya. Sampai bertemu lagi,” ucap Yahya dengan lembut, meski wajahnya datar. Aku hanya menganggukkan kepala, meskipun berat karena aku belum mendapatkan kontak Kak Yahya. Dia berdiri, namun sebelum berjalan dia mengambil tangan kananku dan meletakkan sesuatu di sana.

Kertas. Sensasi kasar benda itu adalah sensasi kertas.

“Jangan berikan kepada siapapun. Itu kontak telponku. Terima kasih atas percakapan kecilnya, Zihan,” ucapnya dengan sebuah senyuman kecil yang singkat, sebelum kembali mendatar. Satu titik air jatuh di mata kanannya yang dia abaikan. Dia beranjak pergi, sementara aku hanya bisa terdiam, menyaksikan tubuhnya menghilang di balik pintu masuk kos.

Itu Shadox kan? Asisten killer kan? Aku nggak salah lihat kan? Shadox si asisten killer adalah Shadox sang penulis kan? Semua ini benar terjadi kan? Ada yang bisa beri aku cek kenyataan?

Aku melihat ke tanganku. Sebuah kertas yang berisi nomor ponsel. Aku segera menambahkan nomor itu. Segera, aplikasi LINE memberikan informasi bahwasanya kontak ditambahkan.

“Kak Yahya...,” gumamku pelan. Dia seperti menyimpan sesuatu. Orang bisa mengatakan ada luka yang dia sembunyikan.

“Aku melihat di matamu, airmata mulai berjatuhan,” ucapku pelan. Aku pun kembali ke kamar.

Ingin aku katakan kepada teman-temanku apa yang aku temukan, tetapi rasanya, seperti dia entah mengapa percaya kepadaku. Aku ragu untuk memberitahu, dan akhirnya, aku memutuskan untuk menutup rapat pertemuan ini.

“Aku tidak tahu lukamu apa, tetapi aku akan berada di sisimu,” ucapku pelan seraya membuka pintu kamarku. Aku merebahkan diriku pada kasur di kamarku. Ingatanku masih berputar di pertemuan tadi.

Aku menerima sebuah pesan di grup Trio. Sepertinya Alsya atau Riris.

Alsya: Eh eh, Shadox nulis sesuatu yang menarik di berandanya lho.

Riris: Ini Shadox yang mana?

Alsya: WP, masa yang asisten. Tuh orang LINE aja kagak ada status apa-apa. Kayak mati akunnya.

Zihan: Apa isinya Sya?

[Alsya mengirim foto]

Senja sore menyelimuti ruh ini. Hujan yang bercampur dengan duka membilas bersih mimpi. Dalam mimpi ruh kecil ini, pintaku bertemu pada bidadari kecil. Haturan kasih hamba curahkan pada Nan Agung.

Untuk cerita terbaru saya, rilis bagian ke 21 sudah saya laksanakan. Moga kasih pena menghias dalam mimpi indah pembaca semua.

-Shadox

Alsya: Menarik sih pilihan katanya, tapi baru kali ini dia pake kata bidadari kecil buat status dia.

Riris: Biasanya gak gitu. Paling kalimatnya mendayu, tapi bidadari kecil jelas level berbeda.

Apakah karena percakapan kecil tadi? Aku menggelengkan kepala. Tidak. Seharusnya tidak.

Alsya: Menurutmu gimana Zizih?

Zihan: Aku setuju sama Riris. Jujur gak biasa itu.

Aku menutup grup lalu melihat grup-grup kepenulisanku ikut heboh. Aku memutuskan untuk mengabaikan, karena sepertinya ada sesuatu yang tak kalah penting di grup angkatanku.

‘Woi, yang ngontak asisten Shadox, kalian semua dapat balasan penugasan. Aku diinfokan dari senior semester 3’

‘Eh, seriusan?’

‘Katanya suka detik terakhir’

Tenan ta?’

‘Iya, serius.’

[mengirim foto]

Shadox: Selamat malam. Berikut penugasan pertama untuk yang asistennya saya. Harap selesai sebelum praktikum [pranala]

‘nih linknya [pranala]’

‘Wadaw, aku cek tuh link soalnya mampus.’

‘Mending sih, daripada Legendaria’

‘Kak Faux dong, enak cuy’

‘Bangke, enak betul situ.’

‘Udah-udah, kerjain sono kalian tuh tugas.’

“Ribut terus,” komentarku kesal. Aku menutup grup itu setelah menyalin pranala itu. Selanjutnya, aku membuka isi soal yang diberikan Kak Yahya. Soal-soal yang sulit segera menampilkan diri ke permukaan.

“Aduh, apa ini!? Baru praktikum pertama lagi,” keluhku kesal. Aku mencoba menulis semua soal itu, namun tidak ku jawab. Masih ada hari sabtu dan minggu sebelum praktikum. Setidaknya dua hari itu cukup. Aku memutuskan untuk salat maghrib. Setelahnya, aku mulai memikirkan jawaban dari pertanyaan Kak Yahya dengan apa yang telah ku pahami. Hanya satu pertanyaan berhasil ku jawab seadanya, sementara lima lainnya masih belum bisa ku jawab.

“Sepertinya cukup dulu,” keluhku pelan. Pertanyaan ini di atas dari kemampuanku. Aku memutuskan untuk menutup kertas-kertas hasil tulis tangan laporanku itu dan merapikannya. Segera ku ambil wudu, melaksanakan isya, lalu rehat untuk hari jum’at yang melelahkan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status