Julia menundukkan kepala, air matanya menetes secara perlahan, hingga tak berhenti mengalir membasahi pipi. Seberapa keras pun dia mencoba menggerakkan kedua tangannya, hasilnya akan tetap sama. Tak berhasil. Tangannya terikat kuat oleh sesuatu.
Entah tali atau benda panjang lainnya.
Julia tidak mengerti, apa yang membuatnya terjebak di tempat mengerikan dan gelap seperti itu? Apa salahnya?
Kegelapan di sekitar perlahan mulai menyelimuti. Dirinya benar-benar merasa takut. Apa yang akan terjadi kepadanya jika terus berada di sana? Untuk apa orang-orang itu membawanya ke tempat yang gelap dan pengap seperti ini?
Apa dia menjadi korban penculikan? Tapi ... atas dasar apa orang-orang itu menculiknya? Apa yang mereka inginkan dari Julia yang tidak punya apa-apa ini. Dia memang dari keluarga kaya, apa itu alasan orang-orang yang tadi mengikutiny
Papa, Mama ... aku mau pulang. Pulang ke rumah. Papa ... Jacob ... tolong aku, Jacob .... Julia membatin dalam tangisnya. Ia menangis, tersedu-sedu walau tak ada isakan lirih yang keluar dari mulutnya yang tertutupi lakban hitam. Namun, air matanya mengalir dengan deras dari telaga bening miliknya. Gadis itu ketakutan, kesepian dan merasa ingin pulang dan menemui keluarganya yang ada di rumah. Julia berjanji, akan menjadi anak yang lebih baik dan rajin lagi di rumah. Serta dia akan hidup lebih berhati-hati lagi nantinya. Asalkan dia pulang ke rumah, izinkan dia pulang ke rumah dan kembali bersama keluarganya. Untuk apa menyekapnya di tempat itu? Akan diapakan dia di sana? Apa maksud mereka menjadikan Julia target penculikan? Padahal ... ada banyak orang yang bisa mereka bawa selain Julia tentu saja. Julia merasa takut sekali, ia ingin segera pulang
Hari Senin, pagi-pagi sekali, di saat fajar belum menampakkan diri, Javier sudah berangkat dari kediamannya menggunakan mobil pribadi untuk segera pergi ke rumah lamanya yang berada di kaki gunung. Dengan meninggalkan secarik kertas catatan di atas meja makan yang sudah diisi dengan sepiring bacon dan telus goreng buatannya, Javier berangkat tanpa memberitahu sang kakak. Setidaknya, dia pergi setelah menyiapkan sarapan untuk kakaknya. Memang masakan itu tidak wajib dilakukan, sebab biasanya Jacob lah yang membuatkan sarapan untuk mereka, tetapi untuk kali ini, Javier tak suka menunggu hingga kakaknya itu bangun dari tidur. Ia akan pergi di saat hari masih gelap, dan menyempatkan diri membuatkan sarapan juga untuk Jacob. Di tengah perjalanan, Javier mampir dulu ke sebuah minimarket langganannya. Tentu saja untuk membeli makanan siap saji dan beragam minuman juga cemilan teruntuk dua oran
"Dasar gadis bodoh! Aku tidak akan pernah lagi mau memberikannya makan mulai hari ini! Awas saja!" Mark datang ke ruang tamu sambil bersungut-sungut ria. Membuat Javier dan Daniel yang sedang duduk bersandar di sofa sambil bermain game online dengan seketika menoleh ke arahnya. "Ada apa?" tanya keduanya di saat bersamaan. Mereka lalu saling pandang, kenapa bisa mereka mengucap hal sama seperti itu? "Cih, aku marah dengan si gadis bodoh itu! Gadis yang jadi kekasih barunya Jacob itu yang tadi tidak mau memakan bubur yang kuberikan dan malah memuntahkan isi perutnya padaku!" gerutu Mark sambil berdecak beberapa kali. Mark kemudian duduk di samping Daniel dengan wajah dan tangan yang terlihat memerah—entah memerah karena sebab apa. Yang jelas, sepertinya memerah karena tertumpah oleh sesuatu. "Memangnya gadis
Jacob terbangun di pagi hari dengan tubuh yang semua sendinya terasa sakit, pun dengan suasana hatinya yang entah mengapa mendadak tidak enak. Seperti ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, tetapi dia sendiri tak tahu apa yang membuatnya merasa demikian. Dengan tubuh yang masih terasa lemas, ia pun duduk di pinggir ranjang sembari memijat keningnya yang berdenyut pelan. Senin pagi yang cerah, tetapi tak cukup bisa mencerahkan kondisi hatinya saat ini. Jacob tak bisa menerjemahkan apa yang sebenarnya terjadi padanya sekarang. Apa karena ada sesuatu yang akan terjadi? Entahlah, dia tak ingin menduga-duga dan berakhir menjadi salah paham. Sambil meregangkan tubuhnya selama beberapa saat, Jacob pun meraih ponsel pintar yang dia simpan di atas nakas, mencoba mencari tahu keadaan sang kekasih. Dia pernah membaca di sebuah artikel, bahwa tidur dekat dengan ponsel itu sangat berbahaya. Apa kar
"Ehhh?! Kenapa kau malah menangis, Emi?" Javier panik, saat melihat Emily menyeka pipinya yang mendadak basah. Buru-buru pemuda 17 tahun itu menyeka air mata yang tersisa dengan ibu jarinya secara hati-hati. "Aku sudah sering mengatakannya padamu, jangan pernah menangis lagi!" "Kau tahu? Aku tidak suka melihat air matamu! Kau boleh bersedih, tapi jangan menangis seperti ini di depanku!" Emily menggeleng pelan, ia gigit bibirnya perlahan. "Aku ... aku tidak tahu apakah Jacob masih ingin bersamaku atau tidak," bisiknya lirih. "Aku senang kau berkata seperti itu, Javi. Aku senang sekali. Aku sudah berjanji padamu untuk tidak lagi menangis di depanmu, tapi aku malah menangis lagi. Maafkan aku, Javi." Raut wajah Emily kembali sendu. Air matanya kembali menitik jatuh. "Tapi, kakakmu sudah memiliki orang lain di sisinya, Vi. Apa yang bisa kulakukan selain
Keceriaan yang terpancar di wajah tiga orang remaja yang sama-sama memiliki usia yang berbeda-beda itu memang suatu pemandangan yang teramat langka di kediaman Emily yang dirasa cukup sepi. Terutama dari apa yang dirasakan oleh kedua orang tua Emily ketika melihat anak perempuannya bisa tertawa lepas saat berada di tengah-tengah para sahabatnya yang saat itu sengaja berkunjung ke rumah mereka. Mengintip dari sela-sela pintu yang terbuka sedikit, memang bukan tindakan yang terpuji, apalagi di beberapa negara, mengintip bisa dikategorikan sebagai aksi kriminalitas. Akan tetapi, rasa penasaran kedua orang tua dari seorang anak remaja yang tumbuh pesat memang tak bisa dibendung begitu saja. Larissa memeluk lengan kokoh sang suami, bersandar pada pundak lelaki yang telah ia nikahi belasan tahun silam dengan raut wajah sendu. Nasib malang yang menimpa putri kesayangan mereka sama sekali tak b
Orang-orang sering mengatakan, apa saja akan dilakukan oleh orang-orang jika segala sesuatu itu menyangkut dengan masalah uang. Alat tukar yang bisa dipakai untuk membeli sesuatu itu pun menjadi daya tarik orang di masa sekarang. Tidak, bahkan dulu pun, semua orang saling berlomba mengumpulkan uang yang banyak. Sama halnya dengan dua orang sahabat baiknya Javier, kedua orang itu langsung bergerak cepat ketika mendengar tentang adanya bayaran. Pemuda itu mengernyit seketika. "Masalah uang saja, kalian berdua langsung secepat kilat ya?" kekehnya sambil tertawa kecil. Sesaat kemudian, ponsel di dalam sakunya pun berdering dengan sangat nyaring. Sampai-sampai raut wajahnya pun berubah seketika. "Kenapa?" Daniel bertanya, lalu mendekat ke arah sahabatnya. Dengan malas, Javier mengangkat ponsel dan memperlihatkan siapa sang penelepon. "Orang berengsek itu menghubungiku sekarang," ucapnya data
Tak menunggu sampai hari Sabtu tiba, pasangan suami istri dari keluarga Peterson telah kembali dari luar negeri pada hari Kamis pagi. Sepertinya, Meggan dan Charlie sudah benar-benar merindukan rumah dan anak-anak kesayangan mereka. Teman lama yang sudah mereka anggap keluarga sendiri pun, sempat meminta untuk bertemu di kediaman mereka setelah kepulangan keduanya dari perjalanan bisnis. Walau tiba di pagi hari buta, tampaknya hal itu tak membuat mereka lupa menghubungi putra kesayangan mereka, Louis, untuk menjemput mereka di bandara. Mereka sudah menyiapkan banyak sekali buah tangan yang pasti akan disukai oleh anak gadis kecil kesayangan mereka, Julia. Tentu saja oleh-oleh yang mereka bawa ini hanya untuk Julia seorang, sebab mereka tahu, Louis bukan anak yang suka meminta barang-barang bagus dari mereka. Jadi, tak ada salahnya jika mereka hanya pergi membelikan barang-barang bagus s