Perlahan-lahan kereta eksekutif yang dinaiki Kirana menjauh dari kota kelahirannya. Kota yang menyimpan begitu banyak cerita terutama kenangan bersama Ibunda tercinta.
Diambilnya novel klasik milik Jane Austeen dari dalam tas ranselnya untuk membunuh waktu perjalanannya. Kirana menoleh ke belakang untuk mengira-ngira jarak dengan bangku belakangnya sebelum ia menurunkan sandaran kursinya, agar tak mengganggu penumpang yang duduk di belakangnya.
Gadis berpenampilan sederhana itu memang selalu berhati-hati dalam setiap tindakannya. Selalu berusaha agar apa yang dilakukannya jangan sampai merugikan orang lain. Beruntung bangku di belakang dan sampingnya kosong, hingga ia bisa merasa leluasa.
Kirana mengeluarkan kue bolu pemberian Bu Hadi dan mengirisnya dengan pisau plastik yang sudah disediakan. Seorang anak yang duduk di bangku depannya melirik ke arah Kirana yang tengah memotong kue.
Gadis berkulit kuning langsat itu pun tersenyum dan menyodorkan roti pada anak itu.
"Kamu mau?" tanya Kirana.
Anak itu terlihat ragu-ragu, kemudian melirik ke arah Ibunya, meminta persetujuan. Sang Ibu yang sedari tadi sibuk dengan gadget pun menoleh ke arah yang ditunjuk anak laki-lakinya. Wanita dengan hijab punuk onta itu pun berbisik pada putranya hingga senyum terkembang pada wajah polos itu. Bocah kecil itu pun mengarah pada Kirana dan sang Ibu tersenyum mengangguk.
"Tadi kata Mama boleh ambil kuenya tapi sedikit aja," kata anak kecil itu polos.
Kirana mengambil tissue dan meletakkan empat iris kue bolu di sana, lalu memberikannya pada anak itu.
"Siapa namamu anak manis?"
"Rafli, tante."
"Ini buat kamu, dimakan sama Mama ya!" Kirana mengusap lembut rambut anak itu.
"Makasih," jawabnya kemudian berjalan cepat kembali ke tempat duduknya.
Kembali Kirana melihat Ibu dari Rafli melirik ke arahnya dan mengucapkan terima kasih. Wanita itu kemudian kembali sibuk dengan gawainya tanpa mempedulikan anaknya yang berkali-ki memutar posisi duduknya lantaran merasa bosan.
Kirana hanya menggeleng-geleng kepalanya, heran karena benda pipih itu mampu membuat anak menjadi asing dengan Ibunya sendiri. Dia berjanji dalam hati, kelak jika memiliki anak tak akan menomor duakan demi sebuah benda pipih.
Kirana pun melanjutkan membaca novel Pride and Prejudice milik Jane Austeen sambil menikmati kue bolu buatan Bu Hadi. Terus terhanyut dalam bacaannya, hingga seorang petugas memeriksa tiketnya. Kemudian ia pun kembali terhanyut pada bacaannya sampai tertidur di kereta.
***
Darell menekan pelipisnya, sambil kedua matanya menatap laptop. Banyak sekali email yang harus diperiksa, namun tak satupun yang dibuka olehnya. Ia sangat pusing dengan permintaan Ayahnya.
"Huh ada-ada saja," keluhnya.
Tok! Tok!
Ketukan di pintu ruang kerja Darell membuatnya kembali tersadar kalau ia harus mengesampingkan masalah yang dihadapinya saat ini.
"Masuk!" serunya dari dalam ruangan.
Seorang wanita di akhir dua puluh tahunan masuk ke dalam ruangannya. Ia mengenakan rok sepan yang panjangnya setengah pahanya saja. Blazer berwarna hitam yang senada dengan roknya menutupi kemeja merah yang tiga kancing teratasnya terbuka.
Bunyi tap tap yang diciptakan melalui langkah kakinya membuat Darell melirik sekilas lalu mengusap wajahnya kemudian tersenyum. Seolah dirinya mendapatkan suatu ide brilian.
Sambil duduk, Darell mengundurkan kursinya lalu melebarkan kakinya. Memandang wanita yang datang ke arahnya.
"Saya nggak suka blazer kamu Juwita!" protesnya.
Wanita itu adalah sekretaris Darell yang sangat patuh. Ia cekatan dan kerjanya bagus sekali termasuk dalam mengurus kebutuhan Darell lainnya.
Mendengar komentar Darell wanita itu pun langsung melepas blazernya dan meletakkannya di lengan kursi yang ada di hadapan Darell. Tampak lengannya yang putih karena kemeja yang dikenakannya adalah tanpa lengan.
"Nah itu lebih baik."
Juwita pun menunduk dan tersenyum mendengar pujian Darell. Dia jelas tahu apa maksud dari Boss nya.
"Ada perlu apa?" tanya Darell.
"Ada beberapa berkas yang perlu Bapak tanda-tangani," jawabnya dengan suara serak yang dibuat-buat.
Darell menepuk-nepuk pahanya sambil mengarahkan pandangannya ke arah Juwita. Sekretarisnya pun tahu apa yang harus ia lakukan. Tanpa ragu Juwita langsung duduk di atas pangkuan Darell.
"Good girl," komentar Darell dibalas dengan senyuman manja Juwita.
"Aku baca dulu ya berkasnya, kamu duduk aja di sini jangan kemana-mana!"
"Iya Bos ku sayang."
Darell membaca semua berkas yang diberikan oleh Juwita sambil sesekali mengusap-usap paha mulus sekretarisnya. Setelah membaca semua, Darell langsung menandatangani berkasnya dan menempelkan kepalanya pada bukit kembar Juwita yang montok.
"Haus," rengek Darell manja.
Juwita pun paham apa maksud Darell, segera ia membuka semua kancing bajunya dan pengait bra miliknya yang berada di depan. Darell memang memerintahkan sekaligus mensponsorinya untuk memakai bra dengan pengait di bagian depan tiap kali ke kantor.
CEO Cassanova itu pun langsung mendaratkan mulutnya di sana. Menghujani Juwita dengan ciuman dan sapuan lidah. Sesekali ia menggigit lembut dan membuat sekretarisnya mendesah.
Tangan kiri Darell menyingkap rok sepan Juwita ke atas lalu menurunkan pakaian dalamnya agar jarinya bebas bergerilya. Juwita memejamkan kedua matanya sambil mendongak, menikmati apa yang dilakukan boss nya terhadap dirinya.
"Sssh teruskan Boss!" bisiknya.
Merasa tertantang oleh permintaan Juwita, Darell pun meneruskan aksinya. Membuat tangannya dibanjiri oleh cairan kenikmatan perempuan dalam pangkuannya.
"You done honey?"
"Yessh," desah Juwita.
"Now it's my turn!"
Darell meminta perempuan berambut pendek itu untuk berjongkok di hadapannya dan memasukkan senjatanya ke dalam mulut Juwita.
"Suck it baby!" titahnya.
Juwita terlihat kewalahan dengan ukuran Darell, namun ia tetap melakukannya. Menggerakkan kepalanya maju mudur hingga Darell menyuruhnya berhenti.
"Now sit on my desk, i'll make u fly for twice!
Dengan patuh Juwita pun duduk di atas meja kerja Darell dan melebarkan kakinya. Membiarkan Darell untuk menyelesaikan hasratnya.
Juwita tahu pasti kalau Boss nya sedang ada masalah. Bukan sekali dua kali Boss nya melakukan hal ini padanya. Tiap kali ada masalah di kantor, dirinya selalu jadi pelampiasan.
Juwita tak pernah keberatan dengan kebiasaan Bossnya. Karena tiap pria blasteran Australia ini pun tak segan-segan mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya setiap kali mereka selesai berhubungan. Namun baru kali ini ia melihat Bossnya bertindak bodoh, bercinta dengannya tanpa menggunakan pengaman.
Meski heran, namun Juwita senang. Ia justru mengharapkan kejadian ini membuatnya hamil anak dari Boss nya. Jika itu terjadi, dengan segera status sosialnya semakin meningkat.
"Pak Darell, Bapak ada masalah apa?" tanya Juwita yang baru keluar dari kamar mandi di ruang kerja Darell dengan penampilan yang kembali rapi.
"Bukan urusan kamu!" jawab Darell ketus sambil memainkan ponselnya.
"Sepuluh juta udah masuk ke rekening kamu," tambahnya.
"Makasih sayang. Oh iya Pak, kalau Bapak butuh saya di luar kantor juga bisa koq," jawabnya genit.
"Di luar perempuan seperti kamu banyak," jawab Darell.
"Hmm ya terserah sih, tapi kayaknya cuma saya yang bisa bikin Bapak ketagihan."
"Jangan ngelunjak kamu!"
"Nggak ngelunjak Bapak, cuma bicara kenyataan aja, kalau saya nggak bikin Bapak puas kenapa selalu dengan saya kalau di kantor. Bapak kan bisa panggil perempuan-perempuan di luar sana kemari, toh ini kan kantor Pak Darell, atau bisa memilih perempuan dari divisi lain di kantor."
Apa yang dikatakan Juwita ada benarnya juga. Memang banyak yang mengaguminya di kantornya karena penampilan fisik, kecerdasan dan pasti kekayaannya. Tak jarang perempuan-perempuan di kantornya bersikap sok seksi untuk menarik perhatiannya, namun tak ada yang senekad Juwita, dan yang terpenting setelah bermesraan dengan Juwita Darell selalu mendapat penyelesaian masalah, seperti saat ini. Ia sudah mendapatkan ide untuk nanti sore.
"Sok tahu, sudah sana kembali kerja!"
"Ok Pak, by the way Bapak hebat banget sih hari ini gak pakai pengaman," cibir Juwita meninggalkan ruangan Darell.
Kini giliran Darell yang mematung menyadari kebodohannya.
Darell menegak air putih di meja kerjanya sepeninggal Juwita. Apa yang dikatakan sekretarisnya, lebih tepatnya sexcretary mengganggu pikirannya."Sial! Gara-gara masalah perjodohan itu aku jadi lupa pakai pengaman," runtuk Darell.Terlihat ada sedikit ketakutan di wajahnya. Takut kebodohannya akan menghalangi kebebasannya. Apa kata keluarganya kalau Juwita sampai hamil anaknya."Eh, tapi aku kan baru sekali melakukannya tanpa pengaman, masa' iya bisa langsung jadi. Lagipula Juwita itu kan perempuan nggak bener, gak mungkin dia melakukan itu cuma sama aku," gumam Darell sambil melirik arloji rolex di tangan kirinya.Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Artinya dua setengah jam lagi perempuan yang akan dijodohkan dengannya akan datang."Hmm selamat datang Kirana, selamat menikmati kehidupanmu yang baru," gumamnya sambil tersenyum sinis.Darell pun segera menghubung
"Hey, Iswari kenapa mengintip jendela terus menerus?" tanya James Maxwell suaminya.Sedari tadi Ibu Darell tak henti-henti memandang keluar jendela ruang tamu. Walaupun sejauh pandangan matanya hanya terlihat halaman rumahnya saja."I am waiting for her, Honey," jawab Ibu Darell."Who? Kirana?""Ya, seharusnya dia sudah di sini sekarang," jawab Ibu Darell yang terlihat khawatir."Mungkin Darell mengajaknya mampir ke restoran atau ke kantornya dulu, tak perlu berlebihan seperti itu!"Ibu Darell mengerutkan dahinya. Ia tak setuju dengan pendapat suaminya. Sejak semalam Darell berusaha menolak mentah-mentah perjodohannya, dan putranya terlihat enggan untuk bertemu dengan Kirana."Sepertinya tidak mungkin Darell mengajaknya pegi. Sejak tadi wajahnya mengisyaratkan keterpaksaan saat diminta menjemput Kirana di stasiun.""Mungkin dia berubah pikiran karen
[Sekarang juga ke rumah Dad!]Begitu pesan yang baru muncul pada ponsel Darell bersamaan dengan pesan yang baru diterimanya dari Kirana. Tanpa menunggu lama Darell segera mengarahkan kemudinya ke arah rumah orang tuanya."Huh memyebalkan, pasti perempuan kampung itu yang ngadu macam-macam," gerutu Darell sambil memegang kemudi.Jika dia mendapatkan perintah dari Sang Ayah sudah pasti harus dilaksanakan. Ayahnya memang terkenal tegas, apapun perintahnya harus dilakukan segera, namun beliau orang yang penyayang."Ngeselin banget itu anak," omelnya lagi.Darell menambah kecepatan mobilnya dan memilih melewati jalan tol untuk mempersingkat waktu. Sambil terus-terusan mengomel sendiri sepanjang perjalanan. ***Kirana mengenakan kaos bergambar kartun yang sebagian gamb
"Dad tidak bisa melakukan ini padaku!" protes Darell tak bisa menerima keputusan Ayahnya."Kenapa tidak? Bukankah semua aset masih atas namaku?""Ini tak adil, selama ini aku yang bekerja keras untuk perusahaan sementara Audrey yang sibuk dengan dunianya akan mendapatkan semuanya.""Dad tak mengatakan akan memberikan semua pada Audrey."Wajar jika Darell merasa cemburu oleh adik perempuannya. Audrey sama sekali enggan melibatkan diri dengan perusahaan Maxwell. Gadis itu justru lebih suka berkutat dengan dunia animasinya.Perusahaan Maxwell pernah mengalami penurunan angka yang signifikan, namun berkat inovasi yang dilakukan Darell, perlahan-lahan angkanya mulai naik. Darell tak yakin jika Maxwell group akan stabil jika ditangani oleh Audrey yang masih labil dan bersikap seolah tak menikirkan masa depan."Lalu?" tanya Darell penasaran."Kau akan mengetahuinya n
Seperti biasa, hidangan beraneka ragam tersaji di meja saat sarapan. Aneka roti dan pelengkapnya serta nasi dan kawan-kawannya. Untuk pagi hari, aneka sajian memang sudah tersedia di meja, tidak menunggu permintaan baru dibuatkan seperti saat siang dan malam.Yang membedakan adalah, hari ini ada pemandangan yang sedikit berbeda. Iswari menata meja dengan ditemani seorang perempuan dan bukan pelayan di rumah mewah itu.Meski ada pelayan, Iswari selalu ikut serta menata meja menyiapkan keperluan suaminya. Darell terlihat tak semangat pagi ini, terlebih saat Ibunya menyenggol gadis yang menemaninya. Dengan patuh gadis itu pun mendekat ke arah Darell."Mas mau sarapan apa?" tanya Kirana yang sudah berada di samping Darell.Darell hanya memandangnya sinis, tak menjawab dan memilih untuk duduk."Kirana, Darell biasa minum kopi hitam saat sarapan, kamu buatin sana!" perintah Ibunya,
"Solusi?" tanya Darell mengeryitkan dahi."Ya, tiba-tiba saja aku kepikiran suatu ide.""Apa idemu?" tanya Darell tak sabar."Loe kudu nikah Rell.""Sialan loe, gue kira apaan. Sama aja kayak ide kemauan bokap gue. Enggak ah gue nggak bakal mau nikah sama cewek macam dia."Bastian tertawa melihat sahabatnya yang terkenal playboy itu. Ini pertama kalinya Bastian melihat Darell dipusingkan oleh seorang perempuan. Biasanya sahabatnya punya sejuta cara untuk menolak perempuan yang mengejar-ngejarnya."Tenang dulu Bro, gue kan belum kelar ngomongnya.""Apalagi kalau bukan nikah dengan Kirana. Loe tega ngeliat gue sengsara seumur hidup.""Yaela nggak gitu juga kali Rell, atau jangan-jangan loe beneran ngebet mau nikah sama dia."Darell meletakkan kotak rokoknya dengan kasar ke atas meja. Ia sungguh tak setuju dengan pernyataan Bastian.
"Kenapa Darell?" tanya gadis itu sambil memainkan rambut panjangnya."Nggak ... nggak ada apa-apa kok," jawab Darell menutupi keterkejutannya.Perempuan yang menegurnya adalah Jenny, gadis yang pernah dikencaninya beberapa hari saat mengunjungi kerabat Ayahnya di Sydney dua tahun lalu. Saat itu Jenny masih menjadi mahasiswa di sana."Kok sepertinya kamu kaget.""Iya kaget banget donk, kamu tinggal di sini?""Iya aku sudah hampir satu tahun tinggal di sini, dan hanya ini yang tersisa," jawabnya sedikit lirih."Kok aku nggak pernah lihat kamu, apa karena tempatku cuma aku jadikan tujuan istirahat saja ya.""Bisa jadi, aku pun juga bekerja sekarang.""Oh kamu kerja, sudah lulus ya berarti."Gadis itu tak menjawab pertanyaan Darell, sejenak ia menunduk, jelas terlihat perubahan pada raut wajah Jenny. Dia yang tadinya senang melihat Dare
Dengan manja Jenny mengalungkan kedua lengannya di leher Darell. Membiarkan laki-laki itu menyentuh lembut pahanya yang terbuka."Membuatku nyaman? Maksudmu?" tanya perempuan berambut panjang itu tak mengerti.Jemari Darell menyentuh dagu perempuan dalam pangkuannya."Aku punya penawaran untuknya, Sayang.""Penawaran apa?""Menikah denganku," jawab Darell santai seolah tanpa beban.Jenny yang terkejut dengan perkataan Darell pun langsung berdiri."Kamu nggak lagi mabuk kan Rell?" tanya Jenny."Apa kamu mencium aroma alkohol dari napasku?"Jenny merasa ada yang aneh dari ucapan Darell. Meski ia sempat mencoba menghubungi Darell saat hubungan mereka berakhir, namun sebenarnya ia sadar kalau laki-laki ini tidak bisa berkomitmen dengan perempuan.Ajakan menikah dari Darell terasa begitu tiba-tiba