Ilham membelalkkan matanya ketika melihat tubuh itu terkulai lemas. Lelaki itu adalah Ilham sang CEO baru Dia langsung mengangkat tubuh ringkih itu untuk di bawa keluar dari lift. Riuh suara petugas memberikan jalan pada Ilham untuk menyingkirkan orang-orang yang berkerumun. Jauh di gedung ke dua pemadam yang lain sedang berkutat memadamkan api akibat ledakkan. Seorang pria teridentifikasi melakukan bom bunuh diri. Baru dugaan sementara. Ilham tidak peduli. Dia lebih peduli dengan wanita di gendongannya itu. Ilham meletakkan tubuh ringkih itu di lobi depan. Orang-orang berkerumun. Ilham meraih minyak kayu putih yang disodorkan oleh seseorang. Masih dalam pelukannya lelaki itu mengusapkan minyak kayu putih ke berbagai anggota tubuh untuk membuat Tias terjaga. Tidak berapa lama,Tias membuka mata dan bingung. Mengapa berada di pelukan seorang lelaki.
“Maaf ...” Tias melepaskan pelukannya. Dia menunduk dan terlihat salah tingkah. Ilham membiarkan suasana canggung itu menguasai mereka. Dia tetap ingin terlihat lebih cool di mata wanita itu. Tidak berapa lama, Liam datang dengan segelas air hangat dan beberapa makanan. Lelaki itu tersenyum melihat Tias yang sudah siuman.
“Kamu baik-baik saja, Nona?” tanya Liam. Pertanyaan itu membuat seorang Ilham memicingkan matanya. Ada rasa cemburu yang merasuki seluruh jiwanya. Ah, perasaan apa pula ini. Kenal juga tidak? Tiba-tiba merasa cemburu.
“Iya, Tuan. Saya baik-baik saja.” Tias menundukan pandangannya. Ilham Mengacungkan kepalnya kepada sahabatnya itu, sehingga Liam tertawa ngakak melihat respon dari sahabatnya itu
“Terima kasih atas pertolongan bapak. Saya minta maaf atas sikap saya sebelumnya.” Tias akan beranjak pergi dari tempat itu. Akan tetapi, Ilham mencegahnya. Tangannya menyentuh bahunya, untuk tetap tinggal.
“Saya akan mengantarmu pulang.” Ilham berdiri dan membantu Tias yang agak keliyengan karena dia memang takut dengan suasana gelap dan juga ruang tertutup. Rasa panik karena tiba-tiba lift berhenti dan gelap melanda, masih berefek.
“Saya bisa pulang sendiri,” tolak Tias.
Akan tetapi, Tias tiba-tiba oleng. Ilham memegang kedua lengan Tias agar wanita itu tidak terjatuh. Mereka sangat dekat. Terlihat manik mata Tias yang hitam legam membuat Ilham sangat terpesona. Akan tetapi, dia harus benar-benar mengendalikan diri sekarang. Dia belum mengenal wanita itu. Akan sangat lucu jatuh cinta pada orang yang tidak dikenal.
Liam hanya gedeg-gedeg melihatsahabatnya tersebut. Dalam hati dia berdoa semoga sahabatnya itu akan mendapatkan keinginannya.
“Aku antar.” Tias tersenyum kemudian berusaha melepaskan diri dari cekalan lelaki itu. Akan tetapi, dia benar-benar terkapar kembali karena memang kepalanya masih pusing.
“Tuh ‘kan bandel. Aku akan mengantarmu! Suka, atau tidak suka.” Tias menyerah pasrah. Dia sedang tidak punya tenaga untuk mendebat lelaki itu. Dia hanya pasrah dipapah oleh lelaki bermanik mata coklat itu. Aroma maskulin menyeruak menusuk hidungnya. Dia harus bisa memeras perasaannya, agar tidak terhanyut dalam wangi maskulin pria itu.
Sejujurnya, Ilham sangat ingin menggendong wanita itu. Akan tetapi, tentu tidak akan wanita itu dengan suka rela mau menerima bantuannya. Kenal saja tidak. Nanti bisa jatuh wibawanya di depan bawahannya.
“Pak, maaf. Motorku bagaimana?” tanya Tias.
Tanpa berkata apapun, Ilham masih memapah tubuh Tias, dengan tangan kiri merogoh saku celananya, kemudian terlihat menelpon seseorang. Dalam pembicaraannya, dia memberi tahu pada lawan bicaranya untuk mengantarkan motor mengikuti mobil yang dikendarainya.
Mereka sudah sampai di tempat parkir. Ilham meminta kunci motor Tias, kemudian memberikan kepada satpam untuk dikendarai. Sedangkan lelaki itu terus saja membuka pintu mobil untuk membantu tubuh Tias duduk di kursi penumpang. Mereka bersama dalam diam, sampai di lampu merah dan mobil berhenti.
“Pak, boleh tidak kalau kita mampir ke toko kue di jalan merdeka?” tanya Tias.
Tidak menjawab apapun, Ilham terus saja melajukan mobilnya. Jujur, lelaki itu sangat membuat kesal. Akan tetapi, lelaki itu menuruti setiap yang diinginkan Tias. Sampai di toko yang di maksud Tias, lelaki itu membelokkan mobilnya.
“Terima kasih.” Tias bermaksud turun mengambil pesanan kue yang sudah tiga hari lalu di pesannya.
“Tunggu! Mau beli apa?” Tias menjelaskan bahwa dia akan mengambil kue yang sudah di pesannya tiga hari yang lalu. Ilham mengulurkan tangannya ingin membantu Tias mengambilkan pesanannya. Akan tetapi, di hatinya timbul rasa ingin tahu. Kira-kira kue apa yang di pesan Tias. Lagi-lagi, dia bersikap seolah-olah tidak perduli. Ilham melihat kertas yang di berikan oleh Tias. hanya tertulis pesanan atas nama Tias di ambil taggal hari itu. Ilham menggeleng berusaha tidak ingin rahu apapun tentang kue itu.
Lelaki dengan mata setengah sipit itu melangkah memasuki toko kue Adinda. Demikian namanya. Toko ini punya sejarah tersendiri, Ilham mengingat gadis remaja masa lalunya yang tersimpan rapat di sanubari yang masih dia cari. Toko ini yang mengantarkan pula dirinya jatuh cinta kepada wanita yang dulu teman satu klubnya saat menekuni sekolah bela diri enam belas tahun yang lalu. Ilham tersenyum. Akan tetapi, mengapa bukan kue keju yang di pesannya? Melainkan sebuah black fores. Ilham merasa konyol. Dia berharap Tias adalah cinta masa lalunya hanya karena tokokue tersebut.
Setelah toko kue, Tias meminta mampir sebentar ke sebuah rumah makan kecil. Banyak makanan yang dibeli. Lagi-lagi, Ilham mengerutkan kening.
“Bapak mau makan sekalian?” tanya Tias.
“Tidak, terima kasih.” Ilham menunggu Tias di depan restoran itu. Sambil main games, sesekali melirik ke arah Tias. Setelah mendapatkan yang di inginkan, Tias melenggang dengan bungkusannya di bantu Ilham. Tias maih oleng, sebenarnya kepalanya belum sembuh, dia memaksakan diri.
“Terima kasih, Pak.” Tias mengucapkan terima kasih singkat. Setelah itu, mereka tanpa bicara apa pun. Hanya mobil saja yang meraung-raung mengisi ruang telinga. Mobil melaju lambat menuju rumah Tias. Sebelumnya, lelaki itu sudah diberitahukan oleh Tias di mana rumahnya. Tias menunjukan arah lagi karena Ilham masih bertanya yang mana rumahnya.
“Depan belok kanan, Pak. Perumahan Griya Abadi.” Ilham hanya mengangguk. Dia terus memainkan stir bundarnya, menguasai jalanan yang masih padat karena jam pulang belum usai. Adzan berkumandang mewarnai perjalanan mereka. Sebelum suara merdu itu menghilang, mereka sudah sampai di rumah Tias.
“Terima kasih, Pak.” Tias tidak menawarkan Ilham mmnpir. Sudah Wanita itu turun dari mobil, akan tetapi kepalanya masih pusing rupanya. Untung saja, Ilham sigap menangkap tubuhnya.
“Saya antar sampai dalam. Apakah kamu tinggal sendiri?” Tias tidak tahu harus jawab apa, sehingga dia mengangguk saja. Terbit rasa gembira di hati Ilham. Entah untuk hal apa dia merasa gembira jika wanita itu masih sendiri.
Ilham memindai sekitar rumah. Dia menyukai model rumah itu. Minimalis dengan warna dominan putih. Gaya Eropa dan sentuhan sedikit klasik di bagian atapnya, sehingga membuat suasana tidak monoton. Di sudut ada bunga-bunya warna cerah. Ilham teringat lagi kesukaan wanita masa lalunya .itu masih suka bunga lavender. “Tias memeiliki banyak kesamaan dengan My Anggel,” gumam Ilham.
“Hiduplah seperti lavender. Tidak disukai nyamuk, tetapi sangat bermanfaat bagi manusia.” Ilham tersenyum sendiri mengingat hal itu.
“Terima kasih banyak, Pak. Maaf merepotkan.” Ilham hanya mengangguk saja. Dia berbalik, kemudian masih memandang sekitar.
“Ah, siapa sebenarnya kamu, Tias. Kamu memiliki banyak kesamaan dengan Anggela.”
Note : Wah, sepertinya bisa bahaya nih, Tias masih sendiri atau sudah bersuami ya? Ikuti terus ya? Kalian boleh kok hubungi aku 088216076937
“Terima kasih banyak, Pak. Maaf merepotkan.” Ilham hanya mengangguk saja. Dia berbalik, kemudian masih memandang sekitar. Ilham melepas maskernya, untuk lebih menikmati suasana sekitar. Masa pandemi seperti ini, memakai masker menjadi keharusan. Segala yang ada pada Tias mengingatkan dirinya pada seorang remaja yang dia cari selama ini. Remaja putri bernama Divia yang dahulu selalu menarik perhatiannya. Remaja itu selalu mengendap-endap saat Ilham dan teman-temannya latihan bela diri. Anehnya perempuan itu bisa menyerap semua ilmu yang dia pelajari dari hasil mengintipnya itu.Setelah Ilham pergi, rumah ini selalu sepi tanpa penghuni. Setiap pulang kerja, hanya kehampaan terlihat tanpa adanya tawa yang menghiasi. Seorang wanita yang hanya bagai serpihan kaca yang retak seribu tanpa dapat disatukan lagi. Hatinya terkoyak dan menjerit. Mau protes, kepada siapa? Memang kesalahan ada pada diri wanita tersebut katanya. Wanita mandul itu yang selalu didengungkan o
Dia mendendangkan lagu janji suci dengan sudut mata yang sudah meleleh. Disisir rambut panjangnya dengan hati-hati. Rontok? Ah, mungkin stres penyebab yang terjadi. Dia semakin tergugu dan membenamkan diri di meja riasnya. Setelah tangisnya tumpah, beranjak ke meja makan untuk merayakan sendiri hari kebesaran pernikahannya. Disulut lilin dengan pemantik api. Cahayanya menerangi ruangan itu. Dimatikan lampu agar suasana lebih dramatis. Nyanyi sendiri, untuk menghibur hati.“Happy birthday ... happy ...” Suara seraknya tidak mampu dilanjutkan. Semua tercekat di tenggorokan dengan tangis yang makin mencair membebani benaknya. Ditiup lilin kemudian Dipotong kue bergambar bola tersebut. Warna coklat terlihat menarik, dia tidak suka coklat. Setelah dipotong, seolah memberikan kepada seseorang dan meletakkannya kembali. Sama seperti waktu kecil saat main.“Ini kue untukmu. Potongan pertama spesial untuk orang yang sepesial.” Tergugu
“Pak, saya tidak bawa. Bagaimana mau ganti?” Tias terlihat frustrasi. Tidak dipungkiri lelaki di depan wajahnya ini selalu membuatnya gondok setengah mati. Bukan kali ini saja. Seminggu dia menggantikan CEO lama, sudah seperti neraka terasa suasana kantor. Jika bukan karena atasannya, mungkin sudah disamck down lelaki bertubuh jangkung itu.“Gampang saja. Sekarang naik!” Tias tetap bergeming. Dia tidak mau satu mobil hanya berdua dengan buaya darat menyebalkan itu. Bagaimana tidak, lelaki sarap itu selalu membuatnya fr emosi tingkat tinggi. Kalau dalam mobil berduaan selama setengah hari, bisa-bisa jantungnya Kolaps mendadak. Dia belum mau mati.“Kok bengong? Ayo!” Ajak Ilham sambil berbalik ke arah Tias, karena wanita itu hanya diam di tempat.“Bapak yakin, kita cuma berdua? Siapa yang nyetir?” tanya Tias sebaga
“Apa kamu bilang?” Tias mengernyitkan dahinya. Dia tidak bilang apa-apa? Tias hanya berkata dalam hati. Eh, kok bisa tahu?.“Maksud, Bapak?” tanya Tias dengan penuh heran.“Kamu pasti ngatain saya di hati kamu ‘kan?”“Tidak, Pak. Mana berani saya?” Tias menunduk karena takut. CEO yang baru itu sungguh terlalu killernya. Tidak tahu apa, kalau dia sedang patah hati karena suaminya tidak pulang semalaman. Duh, rasanya ingin menjambak rambutnya yang sangat tebal itu. Gedeg banget rasanya menghadapi spesies macam pak Ilham itu. Dia terdiam di kursi itu, dengan melirik blok name yang ada di meja itu. Ilham Sanjaya Sasmita. Tertulis dengan huruf kapital dan berbentuk balok seperti orangnya lempeng dan kotak seperti itu dalam pikirny
Tiba-tiba bannya kempis sehingga membuat mobil itu terasa oleng. Ilham menepikan mobilnya, kemudian turun memeriksa. Dia menghembuskan nafas kasar. Ternyata bannya kempes. Dia mengambil serep ban kemudian dengan tangan perkasanya mulai memutar pengait ban dan memulai menggantikan dengan yang baru. Baru akan mengganti, tiba-tiba ada tiga lelaki menghampiri mereka.“Tidak boleh parkir di sini. Semua ada aturannya. Kalian harus membayar.” Tias mengerutkan kening. Melihat dari gelagatnya,ada ketidakberesan pada mereka. Tias turun dari mobil, kemudian siaga jika ketiga lelaki itu akan berbuat semena-mana. Tangannya sudah gatal ingin memberi tanda perkenalan pada lelaki di depannya itu, yang sudah belagu.“Maaf, mas-mas. Kami ‘kan kempes bannya. Bukan karena ingin parkir. Kalau memang harus membayar, kami akan bayar.” Kawanan lelaki dengan baju warna hitam dan tato dimana-mana itu memandang mesum pada diri Tias. Seakan-akan Tias adalah mangsa em
Lelaki tua itu terlihat mengobati Ilham dengan berbagai alat yang Tias sendiri asing melihatnya. Yang pertama diliahat, lelaki itu menyedot dengan peralatan seperti pumping ASI untuk entah mengambil apanya, darah kehitaman keluar dari tubuh Ilham memenuhi pumping itu. Mungkin, menghisap racun yang masuk, demikian perkiraan Tias.p“Itu apa, Pak?” tanya Tias.“Ini adalah obat untuk pembekuan darah. Dia terkena racun bisa ular. Saya belum tahu, Neng ular apa. Tapi, akan kasih penawar dulu, untuk bisa bertahan hingga rumah sakit.” Lelaki tua itu menumbuk dedaunan untuk dibubuhkan ke lukanya Ilham. Hari sudah semakin sore. Akan tetapi, mau tidak mau dia harus melanjutkan perjalanan untuk mncari rumah sakit terdekat.“Pak, apakah ada bengkel terdekat?” tanya Tias.“Adanya bengkel motor, Neng. Kalau bengkel mobil tidak ada di daerah ini bahkan belum ada yang punya mobil kecuali pak lurah.” Wanita deng
Tias sesekali menoleh ke belakang, dilihat Ilham mulai menggerakkan kepalanya, mungkin mulai sadar. Ingin rasanya memegang tangannya dan memberikan semangat. Dia tidak tega melihat bosnya itu merasa kesakitan seperti ini.“Duh, apa yang ku pikirkan?” Tias menepuk jidadnya. Dia kembali fokus ke jalan untuk mencapai rumah sakit. Bekas hujan dan longsoran tanah membuat ban mobil sulit berputar karena licin. Dia sulit mengendlikan mobilnya. Nafas memburu karena adrenaline mulai berpacu. Dia berhenti sejenak.“Ya Allah, Tuhanku bantu saya.” Keyakinan itu tampak teguh. Dia mulai menginjak pedal gasnya sangat dalam. Setelah sekitar setengah jam berputar-putar di bagian lumpur, akhirnya dapat lolos juga. Dia berhenti mengatur napasnya. Sedangkan Ilham di belakang masih terlelap. Mungkin terlalu sakit, sehingga dia tidak dapat membuka matanya secara langsung.“Hufff ... sesuatu banget, Pak ... sudah malam, jalanan licin pula. Semoga sudah se
Wanita dengan baju lusuh itu meletakkan barang-barangnya di meja kemudian menghambur ke kamar mandi. Dia mandi dengan air dingin agar lebih segar. Dilihat sudah pukul delapan malam, setelah selesai mandi. Beribadah dulu, setelah seharian melewatkan ibadah karena musibah itu. Tuhan maha tahu. Jadi, sekarang dia akan menggantinya ibadah yang terlewat. Cukup lama dia bersujud, hingga sampai Ilham tersadar.“Semakin lama, kamu semakin mirip dengan dia. Wanita yang paling aku cari selama ini. Ah, atau mungkin cintaku sudah beralih padamu, Tias. Bolehkah aku berangan-angan? Jika kau menjadi milikku?” Karena berpikir demikian, maka perutnya kram. Ilham meringis karena hal itu. Tias yang baru saja selesai reflek berlari mendekatinya.“Bapak tidak apa-apa?” tanya Tias.“Hanya nyeri sedikit saja, Yas. Kamu sudah selesai?” Tias tersenyum. Ah, senyum itu membuat hatinya sangat berantakan.Tias kembali jalan ke arah sajadah dan muke