Gwen Chevalier. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu adalah sepupu Quen. Dengan mengenakan gaun berwarna perak, dia berjalan menghampiri Quen yang berdiri di samping Zane.
Hubungan Quen dan Gwen tidaklah baik. Gwen selalu iri dengan Quen. Apapun yang dimiliki Quen, Gwen tidak mau kalah. Karena itulah Gwen merupakan satu-satunya orang yang ingin merebut kursi Presiden Direktur Chevalier Inc. Langkah Gwen terhenti tepat di hadapan Quen. Dengan ekspresi tenang, Quen menatap Gwen. Dia tidak menyadari jika tangannya masih menggenggam tangan Zane.
“Hallo, Sepupuku.” Gwen menyunggingkan senyuman sembari melambaikan tangannya.
“Aku pikir kamu tidak akan datang, Gwen.” Ucap Quen dengan sinis.
“Mana mungkin aku tidak datang ke pernikahan sepupuku sendiri.” Tatapan Gwen beralih pada Zane. Dia menyunggingkan senyuman lalu mengulurkan tangannya kepada Zane. “Halo, Tampan. Jadi kamu adalah salah satu suami Quen, ya? Aku adalah Gwen, sepupu Quen.”
Zane tidak menunjukkan ekspresi apapun. Dia hanya menatap tangan Gwen dengan tatapan tidak tertarik. Kemudian Zane mengangkat genggaman tangannya dengan Quen.
“Aku hanya bergandengan tangan dengan istriku. Aku tidak tertarik berjabat tangan dengan wanita selain Quen. Termasuk dirimu. Aku tidak tahu apakah tanganmu penuh dengan virus atau tidak.” Mulut pedas Zane mulai bekerja.
Quen berusaha menahan tawanya melihat ekspresi kesal Gwen. Meskipun terkadang kesal dengan mulut pedas Zane, tapi kali ini Quen menyukainya. Terutama mulut pedas pria itu bisa membuat sepupunya tampak kesal.
Gwen langsung menarik tangannya dan mendengus kesal. “Apakah kamu tidak bisa mengajari suamimu dengan baik, Quen? Sepertinya menikah dengan lima pria membuatmu kewalahan. Lain kali kamu harus mengajari suamimu untuk menjaga mulutnya, Quen.”
Quen tersenyum sinis. “Untuk apa aku harus mengajari suamiku menjaga mulutnya. Dia tidak mengatakan hal yang salah. Kamu baru saja datang, Gwen, mungkin saja banyak virus yang menempel di tanganmu. Lagipula yang harus menjaga mulutnya bukankah kamu?”
“Wanita sialan! Kamu pikir tanganku dipenuhi lumpur?” geram Gwen.
“Ckck… Jaga ucapanmu, Nona. Jangan pernah berkata kasar seperti itu kepada istri kami.” Ace memeluk bahu Quen dan melayangkan tatapan tajamnya ke arah Gwen.
“Bagaimana bisa kamu berkata begitu pada istri kami yang menggemaskan?” Kali ini Levin melingkarkan tangannya di leher Quen danmenyandarkan kepalanya di bahu wanita itu.
“Ular!” Vinson yang berdiri di samping Zane menunjuk ke arah Gwen.
Zane menoleh ke arah Vinson. Kemudian dia melihat ke sekeliling untuk melihat apakah ada ular di sekitarnya. Lalu Zane mengikuti arah yang ditunjuk oleh Vinson.
“Maksudmu wanita ini adalah ular?” tanya Zane.
Vinson menganggukkan kepalanya. “Benar. Wanita ini seperti ular yang punya mulut berbisa.”
Quen, Ace,Levin dan Zane tak mampu menahan tawanya. Penyatuan yang berbahaya. Si dingin dan si mulut pedas. Bahkan saking kesalnya wajah Gwen pun memerah. Lalu sebuah suara membuat tawa mereka terhenti. Mereka bisa melihat Owen berjalan menghampiri Quen dan keempat suaminya. Satu tangan Owen dikepalkan kemudian dipukul-pukulkan ke telapak tangan seakan menunjukkan betapa kuat pukulannya.
“Hati-hati dengan mulut berbisamu, Nona. Karena jika kamu menyakiti istri kami, maka aku tidak segan-segan memberikan hantaman yang keras dan menyakitkan.” Ancam Owen berdiri di samping Ace.
Awalnya Gwen datang untuk mengolok-olok Quen. Tapi sekarang justru dirinya yang menjadi bahan olok-olok Quen dan kelima suaminya. Kedua tangannya terkepal erat di samping tubuhnya. Tatapan kebencian Gwen dilayangkan ke arah Quen sebelum akhirnya wanita itu berbalik pergi meninggalkan mereka.
“Dia kelihatan jelas membenci Quen,” ucap Levin.
“Dari mana kamu tahu?” tanya Ace.
“Tatapannya sudah kelihatan. Dan cara dia berbicara tampak kesal sekali pada istri kita yang menggemaskan ini.” Levin mendusel di leher istrinya.
“Aku senang kalian mau membantuku melawan Gwen. Tapi jika tidak melepaskan tangan kalian dari tubuhku, aku pasti akan menendang kalian.” Ancam Quen.
Segera Ace dan Levin melepaskan pelukan mereka dari tubuh Quen sebelum istri mereka yang galak melayangkan tendangan mautnya. Lalu tatapan Quen berada di tangan kirinya yang digenggam oleh Zane.
“Apa kamu juga tidak mau melepaskannya, Zane? Sepertinya kamu sangat menginginkan tendanganku.” Quen melayangkan tatapan tajamnya ke arah Zane.
“Bukan salahku menggenggamnya, Quen. Tadi aku memang menggenggamnya. Lalu kamu sendiri yang menggenggam tanganku. Jadi aku tidak bisa melepaskannya.” Ucap Zane.
Quen mendengus kesal lalu melepaskan genggaman. “Kamu memang pintar beralasan ya.”
“Jadi siapa wanita berbisa tadi?” tanya Owen penasaran.
“Dia adalah sepupuku. Namanya Gwen. Sejak dulu dia selalu iri denganku. Jadi setiap bertemu, pasti mulut berbisanya berulah. Tapi kenapa kalian membantuku? Aku pikir hubungan kita tidak dalam sampai kalian mau membantuku.” Quen menatap kelima suaminya satu persatu.
“Karena kamu istriku.” Jawaban singkat, padat dan jelas khas Vinson.
“Hanya karena itu?” tanya Quen tidak percaya.
Ace menganggukkan kepalanya. “Tentu saja. Sekarang kamu adalah istri kami. Karena itu kami pasti akan melindungimu dari orang-orang yang berusaha merendahkanmu.”
Levin ikut menganggukkan kepalanya. “Benar sekali. Seperti yang kamu katakan padaku tadi. Kamu tidak akan membiarkan aku diinjak-injak orang lain. Begitu juga kami tidak ingin kamu diinjak-injak.”
Vinson menganggukkan kepalanya. “Setuju.”
“Jangan khawatir, Istriku. Seperti yang aku katakan, aku pasti akan melindungimu.”
Quen merasa sedikit tersentuh dengan ucapan mereka. Tapi dia tidak mau membiarkan perasaan itu merasuki hatinya. Menaruh kepercayaan pada orang lain tidak mudah bagi Quen. Ada masa lalu kelam yang membuat wanita itu menutup hatinya dan tidak membiarkan siapapun masuk.
“Aku juga setuju dengan ucapan mereka. Tapi alasan utamaku adalah aku tidak ingin istriku malu-maluin. Jadi sebaiknya aku melindunginya.” Ucap Zane begitu pedas.
“Malu-maluin ya. Yang ada kalian yang malu-maluin aku.” Quen menginjak kaki Zane membuat pria itu merintih kesakitan. Sedangkan Ace, Levin, dan Owen hanya tertawa melihatnya. Sedangkan Vinson menatap Zane dengan tatapan kasihan.
* * * * *
“Kalian pasti bercanda.” Ucap Quen melongo menatap pemandangan di hadapannya.Pasalnya, papanya tidak hanya menikahkan dirinya dengan lima pria pilihannya tapi dia juga berniat membuat Quen tidur dengan lima suaminya. Pasalnya setelah pesta pernikahan selesai, Arthur mengantarkan Quen dan kelima suaminya ke sebuah kamar di mana ada sebuah empat ranjang berukuran besar yang dijadikan satu.Arthur menggelengkan kepalanya. “Tidak, Nona. Eh, maksudku Nyonya. Kata Tuan besar seorang istri, terutama pengantin, baru tidak boleh pisah ranjang. Karena itu Nyonya harus tidur di sini bersama para tuan muda.”Quen mendengus kesal. “Bukankah ini keterlaluan? Aku sudah menuruti Papa untuk menikah dengan mereka. Dan sekarang dia memintaku untuk tidur bersama l
“Untuk apa kami harus memakai ini?” Zane mengangkat gaun snow white berwarna biru dan kuning.“Aku tidak mau.” Owen menggelengkan kepalanya melihat kimono wanita di hadapannya.“Gila.” Vinson melotot kaget melihat kostum Elsa dalam film Frozen.Levin meraih seragam sekolah wanita yang sudah dipersiapkan untuknya. “Kalau aku pakai ini, apakah kamu akan memaafkanku, Quen? Karena aku tidak bisa jauh darimu.” Levin memanyunkan bibirnya.“Dasar gila!” Gumam Quen yang duduk di atas sofa sembari menikmati secangkir kopi.“Quen!” Panggil Ace yang mengambil kostum Sailormoon. “Bagaimana ka
“Kenapa kamu di sini? Bukankah seharusnya kamu sedang bulan madu?” tanya Brandon saat melihat putrinya duduk di dekatnya saat berada di ruang meeting.“Bulan madu? Sepertinya Papa minta di lempar keluar jendela.” Quen menunjuk ke arah dinding kaca di ruang meeting.Brandon memasang ekspresi sedih. “Putriku benar-benar durhaka. Jika saja aku bisa menggantinya.”“Ganti saja. Aku yakin tidak akan yang lebih baik dariku.”“Kuakui itu memang benar. Putriku memang yang terbaik.” Brandon mengacungkan dua jempolnya.Setelah semua orang berkumpul, akhirnya meeting pun dimulai. Brandon berdiri menatap para p
Quen duduk di kursi dalam ruangannya. Dia meletakkan tas di atas meja dan mengambil ponselnya. Wanita itu hendak membuat grup di aplikasi chatting. Tapi sebuah pesan yang baru saja masuk menarik perhatian wanita itu. Quen membuka pesan itu. Papa [Lokasi rumah baru Quen] Putriku tersayang, ini adalah alamat rumahmu dan juga suami-suamimu. Buatkan Papa cucu sebanyak-banyaknya, ya? Jika kamu berhasil, Papa akan memberikan saham 35% milikku. Seketika Quen melotot kaget membaca pesan dari ayahnya. Bukan hanya di bagian membuat cucu sebanyak-banyaknya, tapi juga iming-iming dari ayahnya. Jika Quen bisa mendapatkan saham tiga puluh lima persen dari ayahnya, maka dia akan memiliki saham lebih banyak dari Gwen. Tapi tetap
Setelah menikmati makan malam bersama, Quen menggiring kelima suaminya menuju ruang keluarga yang sudah bersih dengan barang-barang mereka. Dengan anggun wanita itu menyesap teh yang sudah disiapkan oleh pelayan. Quen selalu menyukai teh hitam. Karena teh hitam memiliki aroma dan cita rasa yang kuat. Wanita itu meletakkan cangkir teh berwarna biru dengan hiasan bunga lupin atau wolly lavender di cangkir itu di atas piring kecil yang menjadi satu set. Kemudian tatapan Quen tertuju pada lima suaminya melihat reaksi mereka saat minum teh yang sama. Wajah Ace saat meminumnya tampak jelas tidak menyukainya. “Kenapa rasanya aneh begini? Kopi jauh lebih enak.” Levin terkekeh melihat reaksi Ace yang duduk di sampingnya. “Itu karena kamu tidak pernah meminum teh. Jika kamu sudah terbiasa, kamu akan menyukainya.” Ace melih
Quen menatap pantulan tubuhnya di cermin. Di mana saat ini wanita itu sudah mengenakan gaun tidur berwarna putih. Dengan bahannya yang lembut dan tipis tak mampu menutupi tubuh Quen yang sexy. Tali tipis menggantung di bahunya yang diselimuti kulit putih pucat. Dan belahan dadanya pun juga tertalu turun sehinga payudara Quen mengintip.Tak pernah Quen mengenakan pakaian terlalu terbuka. bahkan saat tidur pun biasanya Quen mengenakan piayama. Dia tidak pernah mengenakan gaun tidur yang nyaris tembus pandang itu. Segera Quen mengambil jubah putih yang menjadi satu set dengan gaun tidur itu. Dia mengikat jubah itu untuk menutupi tubuhnya. Setelah itu barulah wanita itu berjalan keluar. Saat baru melangkah dia melihat Ace yang berjalan ke arahnya. Beruntung pria itu berhasil menghentikan langkahnya sebelum menabraknya.“Ah, apakah kamu mau menggunakan kamar mandinya?” tanya Quen.Ace menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku justru ingin mengetuk pintu dan bertanya apakah kamu baik-baik saja.
Matahari mulai menyusup ke dalam kamar Quen dan Ace. Cahaya itu membuat Quen perlahan membuka matanya. Tepat saat dia membuka matanya, dia melihat Ace tengah berbaring di sampingnya dengan posisi miring dan satu tangan menyangga kepalanya. Tatapan pria itu tertuju lurus pada Quen.“Apakah kamu tidak tidur?” tanya Quen.“Aku sudah tidur dan baru bangun lima belas menit yang lalu.”“Jadi kamu bangun lima belas menit yang lalu dan hanya memandangiku?” tebak Quen.Ace menganggukkan kepalanya. “Ya, aku tidak bisa menikmati pemandangan seindah ini besok pagi. Jadi aku harus memanfaatkannya dengan baik.”Quen hanya bisa mendengus kesal. “Kamu tidak mencoba mengintip tubuhku saat aku tidur bukan?” curiga wanita itu menggenggam ujung selimut untuk melindungi tubuhnya. Ace menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku menepati janjiku untuk tidak melakukan apapun yang tidak kamu sukai. Aku hanya suka momen ketika aku terbangun dan melihatmu berbaring di sampingku. Dan aku juga sudah mengabadikan momen
“PUTRIKU SAYANG….” Seru Brandon membuka pintu ruang kerja Quen yang baru.Quen yang sedang mempelajari dokumen di atas meja langsung mendongak. Dia bisa melihat sang ayah yang terlihat begitu gembira. Pria itu duduk di atas sofa sembari menatap putrinya yang masih duduk di ruang kerjanya. “Apa yang Papa lakukan di sini? Aku pikir Papa sedang menikmati waktu bebas Papa.” Tanya Quen kembali mempelajari dokumen investasi.“Awalnya aku merasa sangat senang saat merasakan kebebasan. Bisa bangun siang, tidak memikirkan apapun yang berkaitan dengan pekerjaan dan hanya menikmati waktu untuk diriku sendiri saja. Tapi tetap saja aku merasa bosan.” Brandon memasang ekspresi sedih.“Mungkin Papa harus mengajak teman untuk menikmati liburan.” Saran Quen.“Bagaimana jika aku mengajakmu?”Seketika Quen langsung mengalihkan pandangannya pada sang ayah. Tatapan tajam sang putri tidak memberikan pengaruh apapun untuk Brandon.“Pa, aku baru saja menerima jabatan baru sebagai Presiden Direktur. Mana mun