Bola mata lelaki itu bergerak perlahan, mencoba memahami perasaan yang aku sembunyikan, lalu tatapannya meneduh, mengambil tanganku dan menggenggamnya.
"Tidak semua hal yang kita inginkan bisa dimiliki, kamu sudah mendapatkan banyak hal yang tak sebanding dengan apa yang kamu inginkan."
"Tidurlah, ini sudah malam," ucapnya sebelum pergi, mengelus rambut Bian, dan berjalan keluar.
"Mah," panggil Bian membuyarkan lamunan. Aku baru saja mencoba memahami perkataan yang Mas Rian utarakan.
Anak lelaki itu menyelusup dalam pangkuan, menempatkan dirinya agar bisa berbaring.
"Aku punya Papah dan Mamah, itu jauh lebih berarti dari segalanya," ucapnya sembari memandang wajahku yang masih memikirkan perkataan Mas Rian.
Tak bisa disangkal Bian anak yang cerdas, ia pandai membaca situasi, memahami perasaan orang tuanya.
"Tidurlah sayang." Aku mengelus pundaknya, menyugar rambut tipis yang mirip ayahnya, "benar, kebersamaan kita tidak sebanding dengan apa yang ingin mamah miliki."
_______
Bian bangun lebih awal, ia bersemangat untuk ikut ke cafe, aku senang melihatnya begitu bergairah.
Mas Rian ijin berangkat lebih awal, katanya ada rapat pagi. Aku tidak banyak bertanya, selalu percaya pada apa yang dikatakannya seperti dulu, sebelum Tuhan memperlihatkanku pada kenyataan pahit yang sebenarnya tidak siap aku terima.
Aku dan Bian sampai di cafe, ia menyusun mainan yang di bawanya dari rumah.
"Sebanyak itu kamu membawa mainan?" tanyaku pada Bian. Ternyata ia lebih dulu memasukkan tas mainannya sebelum aku menaiki mobil.
"Teman baruku harus tahu, kalau aku sangat dicintai Papah, Mah," celotehnya. Memang benar semua mainan yang ia bawa saat ini adalah pemberian ayahnya.
Rupanya penilaian Bian hampir sama denganku, aku anggap Mas Rian sangat mencintaiku karena ia adalah suami yang bertanggung jawab. Meski aku bekerja, nafkah ekonomi tidak pernah kurang, nafkah bathin pun ia berikan dengan sopan dan lembut.
Saat ini aku baru sadar, kalau tanggung jawab dan cinta adalah sesuatu yang berbeda.
"Hal, ada yang mencari." Tiba-tiba kepala Rini mendongak di celah pintu.
"Oh ya. Mungkin itu Riana, dan Zain," jawabku memberi isyarat pada Bian.
"Bawa mereka masuk, Rin."
"Ok."
Bian bersembunyi di belakang tubuhku untuk mengindetifikasi teman barunya yang datang.
Zain dan Riana datang, anak lelaki yang terlihat sedikit lebih dewasa dari anakku itu melongok Bian yang masih malu-malu. Lalu, ia berjalan menghampirinya.
"Aku Zain, namamu pasti Bian, kan?" sapanya mengulurkan tangan.
Bian tersenyum menyambut tangan Zain, beradaptasi sebentar sebelum ruangan akhirnya menjadi sangat ramai dengan suara teriakan dan gelak tawa mereka.
"Duduklah." Aku mempersilahkan Riana untuk duduk di sofa, sedangkan kedua anak lelaki itu asyik bermain di karpet.
"Apakah kedatangan kami tidak mengganggumu?" tanyanya tiba-tiba.
Aku tersenyum, lalu menggeleng.
"Selama ini aku terlalu banyak bekerja hingga lupa memperhatikan orang-orang di dekatku."
"Mungkin justru undanganku yang menggangu waktumu?" tanyaku balik. Menuangkan teh pada gelasnya.
"Aku masih baru di sini, setelah hampir 8 tahun tinggal di kota orang. Kota sendiri serasa asing," jawabnya sembari menyeruput teh dan memalingkan wajah ke luar jendela.
Persis sama dengan pesan e-mail yang dikirimkan Mas Rian pada Riana. Delapan tahun silam Riana menghilang dan saat ini ia kembali.
"Apa yang membuatmu akhirnya kembali?"
"Heum ...." Riana mengangkat kedua alisnya, menyimpan cangkir teh dengan pelan.
Mataku tidak lepas dari memandangnya, dia terlihat terkejut dengan pertanyaan itu, namun tetap terlihat tenang dan bersikap anggun.
"Tak bisakah aku kembali pada masa lalu yang telah lama ditinggal pergi?" tanyanya. Dahiku mengerut disusul gelak tawanya yang ditutupi telapak tangan.
"Sebelumnya aku ikut suami Mbak. Oh ya siapa namanya? sepertinya kita belum berkenalan," lanjutnya, menjulurkan tangan.
Tangan putih dan terlihat lembut dengan jemari yang lancip, mengambang di udara menungguku menyambut.
"Aku Riana," ucapnya.
"Halwa." Tangan kami saling menjabat.
Benar saja, kulit tangannya begitu halus dan lembut. Bibirnya merekah dengan senyum yang indah.
"Aku sangat senang bisa menemukan seseorang di sini," ujarnya.
Riana sedikit bergeser untuk memperbaiki posisi duduknya, menyandarkan punggung ke sandaran sofa dan terlihat lebih santai.
Kami masih berbicara dan menceritakan banyak hal, saling mengenal satu sama lain. Sampai kudengar suara anakku berteriak cukup keras.
"Bagaimana bisa kamu tidak hati-hati!" sentak Bian mengambil mobil-mobilan yang masih dipegang Zain. Seketika menghentikkan percakapan kami dan bersamaan menoleh pada keduanya.
"Ini hanya sedikit," bela Zain.
Zain terlihat kaget saat Bian bereaksi cukup keras, wajahnya merengut dengan tangan yang bergetar.
"Kamu tidak bisa merusak barang berharga orang lain," ucap Bian kecewa, mencoba membetulkan bagian yang patah.
"Aku akan membantumu memperbaikinya." Rayu Zain lagi merasa bersalah.
Pelan, Zain menyodorkan tangannya untuk ikut membantu memperbaiki, tapi Bian menepis kasar.
"Tidak mau! Papah pasti kecewa karena aku tidak bisa menjaganya," jawab Bian hampir menangis.
Zain mundur perlahan, berlari pada pangkuan Riana.
"Aduuh sayang, nggak apa-apa, nanti kan bisa sama-sama dibetulkan sama Papah. Ini bisa diperbaiki kok." Aku mendekati Bian yang terlihat sangat murung.
"Maaf ya, Riana," ucapku menyesal.
Ia menggeleng, "Ini bukan salah Bian. Hanya saja." Ucapan Riana terjeda, mengangkat kepala Zain yang menunduk, "Hei anak jagoan, masih ada ibu di sini," lirihnya menguatkan.
Apa? apa Zain sudah tidak punya ayah?
Aku segera memeluk Bian dan membawanya mendekati Zain.
"Maaf sayang, Bian pasti tidak bermaksud seperti itu, iya kan?" ucapku mencari persetujuan Bian.
Bian menatapku, aku memberi isyarat agar ia meminta maaf.
Perlahan Bian mengulurkan tangannya, menarik pakaian Zain pelan.
"Kamu tidak usah sedih, aku punya Papah yang sangat hebat, kita bisa bersama denganya. Papahku bisa menjadi Ayahmu juga," kata Bian dengan senyum tulus.
Hatiku mencelos dengan apa yang dikatakan Bian.
Bagaimana bisa dia membagi Papahnya untuk orang lain? Sedangkan aku begitu takut kehilangannya.
Bersambung .....
Mendengar ucapan Bian, Riana terlihat kaget sama sepertiku, namun ia segera menyunggingkan senyum indahnya."Kamu anak yang manis dan baik sayang," jawab Riana menanggapi, "kalian akan jadi teman yang saling menguatkan." Lanjutnya.Aku melihat kebaikan dan kasih sayang yang dipancarkan Riana. Ia sosok wanita yang baik, seandainya ia bukan wanita yang menempati hati suamiku. Kami pasti akan sangat dekat.Aku menitipkan Bian pada Riana dan meninggalkan mereka sebentar karena ada hal yang harus diselesaikan di cafe.Riana setuju dan berkata agar aku tidak khawatir, di cafe ada seorang wanita yang membuat keributan, menumpahkan makanan pada wanita lain yang lebih awal datang dengan seorang pria."Kamu sudah gila, hah!" sentak sang pria."Kamu yang gila Mas, bermain wanita di belakangku. Kamu lupa aku baru saja melahirkan anakmu!" teriaknya, meraih rambut wanita i
"Mas," gumamku lagi tak percaya. Kedua bulu alisnya yang terbal menyatu seperti ulat bulu. Tubuhnya yang tinggi berdiri tepat di hadapanku."Apa yang terjadi?""Tidak." Gelengku cepat."Ini sungguh kamu kan, Mas?" Kali ini bukan hanya bulu alisnya yang menyatu, dahinya pun ikut berkerut."Dari mana kamu, Mas?""Aku?""Iya, Mas, dari mana?""Dari gedung sebelah, ada rapat.""Oh, ya," jawabku menggaruk kepala yang tidak gatal."Kamu mau makan?" tanyanya, setelah ia menyadari kami berdiri di depan resto saat ini."Nggak." Aku kembali menggeleng. Memegangi wajahnya yang akan melihat ke dalam restoran."Mas bisa menemani sebentar jika kamu ingin makan," ucapnya lagi hendak berbalik badan. Sigap aku segera mengalungkan tangan ke lehernya. Melirik ke arah r
Mendengar kebohongan Mas Rian aku enggan menanggapi, membiarkannya berbicara sendiri."Bu, kerusakannya cukup parah, mobil harus kami bawa ke bengkel," seorang petugas derek tiba-tiba memberitahu."Oh begitu.""Terus ke rumah Kakeknya gimana Mah? Papah juga nggak datang," ucap Bian terdengar sedih.Aku memeluk Bian, mengikuti petugas derek untuk melihat kerusakan ban mobil."Mamah juga bingung sayang," jawabku pelan. Sungguh Mas Rian benar-benar tega membiarkan kami terlantar di jalanan seperti ini dan dia lebih mementingkan bertemu dengan wanita yang sangat ingin ditemuinya itu."Halwa."Seseorang memanggil dari arah samping. Aku segera menoleh."Radit, kok bisa di sini?""Kebetulan lewat, perasaan kenal, jadi aku memutuskan untuk turun," jelasnya sembari melihat mobilku yang sedang berusaha di angkat petugas derek."Kenapa mobilnya?" tanyanya lagi."Aku hilang fokus, mobil oleng masuk gorong-g
Sampai di rumah ayah dan ibu mertua, kami disambut dengan bahagia oleh mereka.Kebahagiaan itu terpancar jelas dari wajah ayah menyambut kedatangan Bian. Sedangkan aku mengobrol bersama ibu dan Sindi."Ibu sangat senang kamu datang," ucap ibu berkali-kali, matanya hampir berkaca-kaca saat melihat Bian tumbuh sehat dan ceria."Meski ...." Ucapannya terjeda. Aku tahu, ibu pasti mengharapkan Mas Rian datang."Besok, Mas Rian akan datang untuk menjemput Bu," jawabku membesarkan hatinya."Untuk apa? kalau dia datang hanya untuk sekedar menjemput dan langsung pergi," ucap Ibu lagi. Nampak terlihat kekecewaan dari raut wajahnya."Ini sudah malam Bu, biarkan Mbak Halwa beristirahat." Sindi menimpali, mengelus lengan ibunya."Ya sudah, kamu istirahat ya." Ibu akhirnya keluar dari kamar. Aku tidur di kamar Mas Rian saat ia masih di rumah ini, masih nampak rapi dan terurus."Mbak kasian sama Ibu, ia pasti sangat merindukan anaknya.
"Ini hanya masa lalu," ucapnya pelan. Mengumpulkan lembaran foto itu dan menyimpannya di atas nakas.Ia berjalan mendekat, duduk di ujung tempat tidur.Aku masih diam, menyembunyikan tangisku dalam sunyi."Hei, sudahlah, itu hanya foto lama yang lupa aku buang," lanjutnya lagi, beringsut mendekat."Lepaskan!" Aku menepis tangannya yang mencoba menyentuh lengan."Bukankah sudah kubilang jangan ke rumah ini," ujarnya lantang tak ingin menerima penolakan.Aku terbangun dan menatapnya, "Kenapa? agar aku tidak tahu kelakuanmu?""Kelakuan apa? sudah kukatakan foto itu hanya masa lalu.""Masa lalu yang sengaja Mas simpan dengan baik di hati dan kamar ini?" jawabku memalingkan wajah."Aku hanya lupa membuangnya Halwa, itu saja," belanya lagi."Heum! lupa." Aku berdecak.
Deru suara mobil terdengar di halaman, aku segera membawa Bian keluar."Hentikan Halwa!" Tanganya mencoba meraih."Ayo sayang kita pulang," ajakku pada Bian."Kamu mau pulang? mari pulang sama Mas, bukan sama orang lain." Tangan Mas Rian menarik lengan Bian."Mamah," rengek Bian mencoba menolak."Lepaskan Bian Mas, dia kesakitan!""Aku tidak akan melepaskan kalian."Aku kembali menghampiri, menatap bola matanya."Kalau begitu lupakan Riana, dan cintai aku!" ucapku menekan."Aku tidak bisa.""Heum. Egois kamu Mas!" Kutarik Bian dan melangkah lebar menuju mobil Radit."Halwa, kamu mash istriku!" cegatnya lagi."Tinggalkan dia! jangan ikut campur urusan keluargaku," sentak mas Rian pada Radit agar ia kembali.Radit ya
Aku menengok celah pintu, Mas Rian dan ayah duduk berhadapan di ruang tamu. Mereka terlihat sedang berbicara serius, aku ingin mendengarnya meski samar."Berkacalah dari masalalu, jangan lakukan kesalahan yang sama," ujar ayah menerawang."Aku tidak akan melakukan kesalahan kalau ayah tidak bersikeras melarangku saat itu," jawab Mas Rian tegas."Pelankan suaramu Rian! Hargai perasaan istrimu saat ini. Apakah memiliki dua anak tidak cukup mampu membuatmu berubah?" tanya ayah. Aku semakin menajamkan pendengaran, mendengar suara ayah yang semakin pelan."Kami harus menanggung akibat keegoisan ayah, dan Riana yang paling menderita," bela Mas Rian seakan kebencian masalalu itu tidak pernah lenyap."Apa yang membuatnya menderita? dia menikah dan bahagia. Kamu saja yang terlalu berpikir dangkal sampai tidak bisa melihat orang di sampingmu yang setia memberi kebahagiaan.
Pagi-pagi Sindi membangunkanku, aku segera membuka mata dan terjaga. Malu sekali jika aku bangun kesiangan di rumah mertua."Mbak ...," sapa Sindi, mengelus pelan."Ini sudah siang kah?" jawabku segera terbangun.Jam masih menunjukkan pukul 02.00 malam, aku mengucek mata takut salah lihat."Ini masih malam Mbak," jawab Sindi pelan."Ada apa?" tanyaku setelah sadar kalau Sindi membangunkanku malam-malam seperti ini."Mas Rian belum pulang, apakah Mbak tahu kemana dia?" tanyanya."Belum pulang? Mbak kira Mas Rian hanya keluar dari kamar dan ada di rumah," jawabku sembari beringsut."Tidak Mbak. Semenjak keluar dari kamar, Mas Rian pergi dan belum kembali. Sindi takut kalau ...." Ucapan Sindi terjeda."Kalau apa?" tanyaku penasaran.Sesaat Sindi menerawang dan bergidik ngeri.