Bab 3
*Namaku Sekar, saat itu usiaku masih sembilan tahun. Masih mengenyam pendidikan sekolah dasar di kelas empat. Aku merupakan anak tunggal dari orangtuaku. Sejak kecil tinggal bersama orangtua di rumah yang sangat sederhana, bagiku rumah itu sangat layak dan menjadi tempat teduh ternyaman. Mungkin bagi orang lain tidak. Sebuah rumah yang terbangun dari bahan kayu, lantainya masih beralaskan tanah. Hanya di kamar saja yang sudah disemen kasar, kamar ibu bersama ayah dan kamarku.
Letaknya tak jauh dari rumah nenek, sekitar lima rumah selang dari rumah itu. Tanahnya tidak luas, hanya cukup untuk membangun rumah dan tersisa sedikit halaman di depannya. Berbeda dengan halaman rumah nenek yang cukup lebar. Kata ayah, tanah itu ia beli sendiri dari hasil sawah sejak ia masih muda.
Kehidupanku sama seperti anak kecil lainnya. Sekolah di pagi hari, mengaji di siang hari dan bermain di sore hari. Malam adalah waktu bersama ibu dan ayah, karena saat siang hingga sore ayah dan ibu pergi ke sawah atau bekerja di pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin hari semakin meningkat.
Ayah adalah satu-satunya anak nenek yang tak memiliki pekerjaan tetap, meskipun ia tamat SMA. Ia merupakan anak pertama nenek. Sejak kakek meninggal, ayah yang membantu nenek untuk menyekolahkan adik-adiknya. Dulu, untuk masuk ke sebuah lembaga pendidikan masih mudah, juga untuk melamar sebuah pekerjaan masih mudah. Jamal, pamanku memang tidak kuliah, tapi ia bisa menjadi guru di salah satu sekolah dan sekarang bisa menjadi PNS. Namun, kabar terakhir yang kudengar ia sudah pensiun setelah beberapa lama dimutasi ke daerah lain. Zaman dulu, tidak membutuhkan ijazah strata 1 untuk melamar menjadi guru, berbekal ijazah SMA boleh-boleh saja mendaftar sebagai guru. Berbeda dengan sekarang.
Anak nenek satu lagi bernama Harun, ia bekerja sebagai salah satu pegawai di kantor kecamatan. Ia tinggal tak jauh dari rumah nenek juga, hanya beberapa meter di pusat kecamatan.
Kehidupan kedua anak nenek jauh berbeda dengan kehidupan orangtuaku. Mereka termasuk orang kaya yang dipandang di kampung mereka. Sementara keluargaku entah dipandang dengan cara apa. Aku ingat saat suatu hari ayah pernah berkata.
“Tak apa tak memiliki harta yang banyak, kedudukan yang tinggi, tapi harga diri selalu harus tinggi. Jangan mau diremehkan.”
Salah satu dari kalimat yang sampai saat ini masih tersisa di ingatanku.
Kedua pamanku memiliki anak perempuan. Kalila dan Karina. Kami bersekolah di sekolah yang sama, salah satu SD di dekat kampungku. Kami sebaya, meski hanya terpaut beda usia sebulan dua bulan. Padahal ibu dan ayahku yang lebih dulu menikah, tapi mereka baru bisa memilikku setelah beberapa tahun dari pernikahan itu.
Aku, Kalila, Karina sekolah dan mengaji di tempat yang sama. Di kelas yang sama. Awalnya aku merasa mereka berteman baik denganku, tapi ternyata tidak. Aku ingat saat Farah, sahabatku mengatai mereka. Ia tak pernah mau bermain denganku jika ada dua sepupuku itu.
“Males aku ada Kalila sama Karina. Mereka sombong.”
Aku menatap Farah dengan raut tak suka, bisa-bisanya ia mengatai saudaraku sombong. Rasanya aku tak terima, karena bagiku saudara tetaplah saudara.
“Sombong gimana maksudmu? Selama ini kan kamu yang nggak mau main sama mereka.”
Kulihat Farah pergi setelah aku mengatakan itu. Mungkin marah, atau ia tak bisa menjelaskan apa yang ada dalam hatinya. Saat itu aku tak tahu, karena bocah kecil sembilan tahun terlalu polos untuk mengetahui karakter seseorang.
Seperti pagi sebelumnya, kulihat ayah dan ibu bersiap dengan cangkul dan segala alat untuk mereka pergi ke sawah. Hari itu ibu akan menanam padi di sawah, karena saat itu sedang musim tanam. Biasanya ibu akan memakai jasa para tetangga untuk membantunya menanam, ibu Farah yang sering diajak ibuku. Nantinya tidak dibayar dengan uang, tapi dengan tenaga, saat mereka akan menanam di tanahnya ibu akan datang membayar keringat mereka. Semacam membayar tenaga dengan tenaga, karena sebagian besar penduduk di kampung ini memang bergantung pada sawah dan ladang. Hanya beberapa orang yang diberikan keberuntungan untuk bisa merasakan gaji bulanan, seperti paman-pamanku.
“Nanti pulang sekolah langsung pulang ya, Sekar. Ibu dan ayah mungkin pulangnya sorean. Makan siangnya udah ada di bawah tudung saji. Langsung pergi mengaji.”
Ibu berpesan panjang lebar padaku sambil menggantungkan bekal makan siang si stang sepeda ayah. Sawahnya lumayan jauh, orangtuaku harus pergi naik sepeda. Ya, meski nanti sesekali ibu harus turun saat mendapati jalanan becek.
“Iya, Bu.” Aku menjawab sambil mengangguk. Sejenak melihat kepergian ibu dan ayah di depan pintu rumah. Lalu aku melongok sedikit ke dalam, mengambil sepatu dan memakainya.
Aku menatap sepatu yang akan kupakai, warnanya telah kusam dan ada beberapa bagian yang sudah bolong. Jika dulu saat kelas satu sepatuku akan longgar, maka sekarang sepatu itu menjadi sempit. Itu masih sepatu yang sama dengan saat aku masuk sekolah pertama, usiaku yang bertambah membuat kakiku menjadi lebih besar daripada saat kelas satu SD.
“Sekar doakan saja nanti panennya banyak. InsyaaAllah ayah akan ganti sepatu Sekar.” Ayah berkata saat aku mengeluhkan tentang sepatu. Jadi, harapanku saat itu hanyalah semoga Allah memberikan rezeki dari panen yang melimpah.
Aku mengunci pintu, dan melangkah ke sekolah dengan harapan yang menggelora dalam hatiku. Semangat belajarku tinggi, meski dalam keadaan perekonomian yang rumit.
*
Pukul dua belas saat kulihat jam di dinding rumah. Aku menyimpan tas dan menggantung baju di kamar, rutinitas yang diwajibkan ibu setelah aku pulang sekolah.
Perutku terasa keroncongan, cacing-cacing di dalamnya terlalu ribut untuk meminta jatah diisi. Wajar saja, tadi di sekolah aku tidak jajan makanan. Ayah hanya memberikan uang jajak lima ratus perak padaku, jadi aku hanya membeli dua es lilin karena kehausan setelah pelajaran olahraga. Tiga ratus lagi aku simpan untuk jajan ditempat mengaji.
Langsung saja tanganku membuka tudung saji, karena ibu bilang sudah menyiapkan makan siang untukku. Aku menatap makanan di bawah tudung saja dengan terpaku. Bukan terpaku karena mewahnya makanan di dalam sana, tapi karena yang ada di bawah itu adalah makanan yang tadi pagi kumakan. Hanya nasi putih dan telur dadar. Ah, telur dadar yang isinya hanya sebutir bawang, dan tingkat ketebelannya bisa untuk menembus langit jika diangkat di bawah sinar matahari, tipis sekali. Aku tahu, itu satu telur yang digoreng ibu, lalu dibelah menjadi empat bagian. Dua bagian sudah dibawa oleh ibu ke sawah, untuk ayah dan ibu. Satu bagian sudah kumakan tadi lagi, sementara satu lagi menanti kumakan saat ini.
Jujur, aku bosan, karena bukan hanya hari ini makanan seperti itu kumakan.
Entah ide dari mana, mungkin karena lapar yang melanda. Aku keluar dari rumah dan menuju rumah nenek. Di sana mungkin ada banyak makanan, tak salah jika sesekali aku datang meminta. Bahkan Kalila dan Karina malah sering makan siang di rumah nenek, mereka menunggu ayahnya menjemput, lalu ditawarkan makan oleh nenek.
Dengan langkah yakin, aku memberi salam dan memanggil nenek. Kudengar di dalam sana nenek menjawab, tapi aku langsung masuk saja sebelum dipersilakan. Apa salahnya, itu rumah nenek sendiri.
Setelah melihatku masuk, nenek bangun dari rebahannya. Saat itu nenek masih terlihat kuat dan segar.
“Ada apa, Sekar?” nenek bertanya.
“Nek, aku bosan makan telur tipis terus. Nenek punya lauk enggak?” tanyaku.
Sejenak nenek diam, lalu tersenyum melihatku. Setelah itu, ia langsung bangun dan menuju ke dapur.
“Tunggu di sini ya.”
Aku mengangguk. Menunggu nenek kembali ke ruang tengah. Lalu, saat nenek kembali padaku ia membawa satu kantong di tangannya.
“Nih.” Nenek mengulurkan kantong kresek itu padaku.
Aku begitu gembira menerimanya, apalagi saat kubuka ternyata isinya daging rendang. Jarang-jarang sekali aku makan daging, paling saat panen.
“Wah, enak. Makasih ya, Nek.” Aku pamit setelah menerima sedikit lauk dari nenek.
Nenek mengangguk, dan menutup pintu setelah aku keluar dan lari ke halaman untuk pulang.
Hatiku begitu gembira dengan apa yang kini kupegang. Aku masuk ke dalam rumah, kembali membuka tudung saji dan mengambil sepiring nasi. Tanganku membuka lauk yang diberikan nenek dan bersiap untuk memakannya.
Namun, tiba-tiba hidungku seolah menghidu bau aneh dari rendang hang diberikan nenek. Aku masih berharap itu hanya pikiranku. Pikiran burukku. Lalu, aku mencoba mencicipi dengan lidahku. Benar. Rasanya sangat berbeda dengan rendang biasanya, aku masih hapal rasanya meski jarang makan.
Baunya aneh. Rasanya asam. Itu rendang basi.
Part 4 * Aku terdiam cukup lama demi memikirkan apa saja kemungkinan yang baru saja terjadi. Kemungkinan nenek memang sengaja memberikan makanan basi, atau memang indera penciuman nenek yang sedang bermasalah, sehingga tidak bisa mengisi bau aneh dari rendang itu. Saat itu, aku memilih untuk berpikir positif bahwa nenek tak sengaja. Nenek hanya tidak teliti dalam memberikan makanan itu untukku. Namun, saat aku melihat lagi ke dalam plastik yang berisi rendang, beberapa belatung tampak saling muncul di dalam sana. Beberapa binatang kecil itu terpintal-pintal diantara daging. Aku bergidik ngeri dan geli, juga sedikit mual saat itu. Bahkan buluku merinding karena rasa geli. Aku segera membuang makanan itu serta plastiknya tak tersisa. Rasa laparku yang tadinya bersuara kini bilang entah ke mana. Siang itu, aku memilih untuk langsung pergi mengaji. Untuk makan sisa telur di bawah tudung saji pun aku sudah tak selera, rasanya belatung itu akan melompat-lompat di piringku. Seringnya, aku
Part 5 * Sisakan untuk Kalila dan Karina. Jujur, aku cemburu mendengar kalimat itu keluar dari mulut nenek. Ia terlalu spontanitas mengatakan bahwa dua cucunya itu terlalu spesial di hatinya. Dan, aku hanya cucu yang ada atau tidak keberadaannya sama sekali tak berpengaruh pada nenek. Beberapa menit setelah mengatakan itu, dari atas pohon kulihat Kalila dan Karina datang bersama ayah mereka. Keduanya menaiki motor yang mengkilat dibonceng sang ayah. Aku hapal nama motornya hingga kini. Ayah Kalila menaiki motor merek Honda Supra Fit. Sementara Aya Karina menggunakan motor Karisma. Melihat kedatangan saudara-saudaraku, Farah berlari pulang tanpa pamit pada nenek, juga padaku yang masih di atas pohon. Dari atas pohon kulihat nenek begitu gembira menyambut dua anak dan cucunya. Paman-pamanku mencium tangan nenek, diikuti Kalila dan Karina. Lalu, ada yang tiba-tiba sesak dalam hatiku. Sesak sekali dan sulit kujelaskan. Tanpa sadar, pipiku basah. Aku tak sengaja menangis. Bukan karena
Bab 6 * Itu masih sebagian yang kualami dalam hidupku. Tentang ketidakadilan, tentang pengucilan juga tentang menepi perlahan. Semuanya diringkas menjadi tentang seorang cucu yang dibedakan. Diperlakukan beda dari Kalila dan Karina. Pagi. Seperti biasa ibu dan ayah pergi ke sawah. Selesai satu sawah, mereka akan bergerak ke sawah lainnya. Ada dua petak sawah yang mereka kelola, setahuku itu milik nenek. Nenek memiliki beberapa sawah dan kebun, peninggalan kakek turun temurun alias warisan. Aku masih sedang menyiapkan diri, mengenakan seragam sekolah saat ibu dan ayah berpamitan. Setelah semua beres, aku pun berangkat ke sekolah. Sampai di depan rumah Farah, aku memanggilnya untuk pergi bersama. Farah juga terlihat sudah siap. Jika dilihat, penampilanku dengan Farah hampir sama. Sama buluknya. Ia mengenakan sepatu butut, tas yang sudah dijahit di bagian talinya. Sama sepertiku. Aku dan Farah berjalan kaki ke sekolah, jaraknya memang tidak terlalu jauh, tapi lumayan membuat kaki
Bab 7 * Setelah berbagai perbedaan yang kualami, aku masih saja menyukai nenek. Masih saja bermain bersama Kalila dan Karina. Karena bagiku saudara tetap saudara, keluarga tetap keluarga. Aku marah, aku kecewa, tapi hanya pada hari itu saja. Layaknya anak kecil yang terlalu polos untuk membenci, untuk menghakimi. Aku hanya bersikap seperti biasa. Meskipun jika dipikir, Kalila dan Karina masih saja suka membuliku. Masih saja suka mencari gara-gara dan menyalahkanku. Seperti saat istirahat di sekolah tadi pagi, anak-anak bermain melempar kertas ke sembarang arah. Kalila dan Karina ikut bersama mereka, melempar kertas dan bersorak dengan gembira. Entah ke mana semua guru, mungkin mereka tak bisa mendengar suara riuh kami, karena kelas lumayan jauh dari kantor guru. Tiba-tiba seorang anak lelaki datang padaku, menghampiri tempat dudukku. “Aku nggak suka ya, kamu nulis nama aku.” Anak lelaki itu berkata. Sementara aku menatapnya bingung. “Apa maksudnya?” tanyaku. Bocah lelaki bernama
Bab 8*Pagi ini aku terbangun agak malas-malasan, karena terdengar rintik hujan di atas atap sana. Aku kembali menarik selimut kumal untuk menutup tubuhku juga untuk menghangatkannya dari serangan dingin hujan di pagi hari.Aku kembali memejamkan mata seraya tubuh meringkuk membentuk angka empat. Ah, iya, aku ingat dulu ketika kelas satu saat belajar tentang angka. Bu guru selalu menyamakan angka empat dengan bentuk kursi atau bentuk orang meringkuk.“Kalau tidak bisa bayangin bentuk kursi, bayangin aja bentuk tubuh kalian kalau lagi meringkuk kedinginan pas hujan. Angka empat itu seperti itu bentuknya.” Bu Lastri menjelaskan.“Udin sering kan meringkuk narik selimut dan malas-malasan ke sekolah?” tanya Bu Lastri pada Udin yang gemar libur sekolah tanpa alasan. Sementara saat itu Udin hanya garuk-garuk kepala sambil nyengir karena semua murid melihat padanya.Kami semua tertawa dengan penjelasan Bu Lastri. Lucu saja angka empat disamakan dengan gaya tidur.Mengingat kejadian itu, aku
Bab 9*Musim hujan tak kujung berhenti di kampungku. Sudah seminggu berturut-turut kampung kami diguyur hujan. Warga mulai panik dengan tanaman dan padi di sawah. Padi baru saja ditanam bahkan belum kuat akarnya, biasanya jika hujan terus-menerus itu akan membuat siput-siput memakan batangnya. Itu sama saja musibah untuk petani desa.Petani dengan kekhawatiran sendiri. Ibu dan ayah dengan kekhawatiran mereka. Dan, aku dengan kekhawatiranku. Jika gagal panen kali ini, artinya tidak ada yang namanya ganti sepatu baru. Itu artinya aku harus memakai kembali sepatu koyak itu entah berapa lama.Awal Desember, akhirnya air sungai meluap di beberapa daerah. Sebagian kampung sudah ada kabar banjir datang menenggelamkan kampung. Kampungku belum terkena banjir, tapi air di sungai dekat rumah nenek sudah penuh terlihat mengalir ke permukaan sungai. Hujan masih belum reda.Ayah dan ibu sibuk memindahkan beberapa barang. Yang paling penting adalah padi yang masih tersisa dua karung lagi. Seharusny
Bab 10*Air mengalir dengan deras, aku yang melihatnya saja mendadak pusing karena aliran dan putaran yang begitu cepat. Melihat gelagatku, ayah tiba-tiba berhenti dan berjongkok, hingga membuat celananya basah.“Naik, sini!” Ayah memberikan punggungnya untuk kunaiki. Sementara tas yang sedari tadi kupegang, kualihkan pada ibu. Ibu memegang dua tas yang berisi keperluan kami untuk sementara selama mengungsi. Entah akan sampai berapa hari kami akan tinggal di balai desa.Seumur hidupku, ini pertama kali aku mengungsi dan merasakan banjir. Mungkin nanti akan tidur ramai-ramai, makan di dapur massal dan segala sesuatu dibagi bersama-sama.“Halah, Sekar ini! Nggak tau ayahnya capek apa? Bukannya jalan cepat-cepat.” Aku menoleh saat kudengar nenek mengomel. Namun, omelan itu serupa angin lalu, karena di hatiku rasa bahagia lebih dominan saat ini. Mungkin setelah kecil dulu, ini pertama kali aku kembali digendong ayah. Aku tahu tubuhku tak lagi ringan seperti dulu, tapi ini menunjukkan bet
Bab 11*Sudah empat hari aku berada di pengungsian. Kehidupan di sana sungguh tak menyenangkan, tapi tak juga sepenuhnya tak menyenangkan. Karena aku melihat kebersamaan warga dalam banyak hal, salah satunya memasak. Aku melihat warga yang akur dan saling berbagi, saling membantu.Hanya saja aku tak bisa tidur nyenyak saat malam, karena banyak nyamuk. Ya, meskipun sudah membakar obat nyamuk, tetap saja banyak karena di ruang yang terbuka. Suara tangisan bayi juga sering membangunkanku jika sudah terlelap. Kasihan, pasti bayi-bayi itu susah menyesuaikan diri dalam keramaian.Mau bagaimana lagi, hanya itu tempat yang paling tinggi. Ada dua tempat pengungsian di kampungku saat itu. Di balai desa tempatku kini tinggal, juga di balai pengajian tempat aku biasa mengaji. Dua tempat yang memang memiliki bangunan bentuk panggung.Hujan telah reda, air mulai surut. Awalnya air setinggi pinggang ayah, kini sudah sebatas sepahaku.Warga sudah bisa mengunjungi rumahnya masing-masing. Mengecek apa