Waktu seolah berhenti untuk beberapa menit ketika kedua benda kenyal itu saling bersentuhan. Dua pasang mata itu saling membulat terkejut tapi sesaat keduanya terpana oleh sorot mata masing- masing yang begitu dekat.
Sementara itu Fiona yang berlari di belakang Vana otomatis menghentikan larinya begitu menyaksikan apa yang terjadi. Dia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, membulatkan matanya. Dia jelas terkejut sekaligus cemas akan keadaan Vana tapi tak berani mendekat ketika sadar siapa yang ditabrak Vana tadi.
Tanpa kata Vana segera mendorong tubuh kekar itu. Meskipun shock, dia tak mengeluarkan suara yang mungkin bisa saja memanggil seluruh penghuni mansion itu. Biarlah Fiona yang menjadi saksi atas insiden itu.
“Apa yang kau lakukan?” Setelah kesadarannya kembali sepenuhnya, Vana protes keras.
“Kau yang salah. Di mana matamu, hah?” balas pria itu tak mau kalah.
“Mana aku tahu kau ada di sana. Iiiiiih, sialan!” sungut Vana sambil melap bibirnya yang masih merasakan kehangatan dari sentuhan tak sengaja itu.
“Apa maksudmu dengan itu, hah?” Telunjuknya mengarah pada Vana yang masih berusaha menghapus jejak seolah yang terjadi itu adalah kesalahan besar.
Tidak ada tanggapan dari Vana, pria itu juga melap bibirnya kasar dengan punggung tangan. Dia mendesis kesal melihat Vana yang berusaha kerasa menghilangkan jejak itu seolah bibirnya itu kotor.
“Apa yang kau lakukan, hah?” Entah mengapa dia lebih murka melihat Vana memainkan bibirnya dengan tangan. Dia mendekat, menahan gerakan tangan Vana di mulutnya. “Ada apa denganmu?” sentaknya.
“Apa? Kau apa, hah? Kau … kau sungguh bajingan!” sungut Vana marah.
Bukan kata terakhir yang membuat Fandra, si pelaku yang Vana tabrak terdiam itu. Tapi hal lain yang seolah menarik baginya. Tiba- tiba sebuah ide hadir di otaknya membuat pria itu mengeluarkan smirk yang bagi Fiona menyebalkan. Tapi sang adik tetap diam seolah dia tak kasat mata dengan ponsel menyala di tangannya. Tentu kakak dan adik sama saja, bukan? Sama- sama menyebalkan.
“Jangan bilang, kau, itu adalah ciuman pertamamu?” tebak Fandra.
Kedua bola mata Vana yang membulat membuat Fandra tersenyum puas.
“Kau gila!” sungut Vana tak terima.
“Kenapa? Reaksimu menjawabnya,” ledek Fandra.
Entah mengapa pria itu berbeda dari wujudnya tadi ketika berada di ruang santai yang seperti ruang sidang.
“Sialan! Tidak mungkin. Itu, bukan yang pertama.” Sialnya pengakuan Vana yang terbata membuat Fandra tergelak. Jelaslah dia tak percaya dengan Vana yang berusaha keras mengelak kalau itu adalah ciuman pertamanya.
“Ckck. Berapa usiamu sampai baru firt kiss? Kuno sekali,” ujar Fandra menghina.
Mendengar apa yang Fandra katakan, mata Vana membulat sempurna. Wajahnya merah padam atas hinaan pria itu. Dia pikir kenapa Vana tak pernah melakukan itu? Sebab dia punya prinsip. Tapi Fandra yang justru mengambilnya tanpa izin meskipun itu adalah kecelakaan.
“Kau pikir hal itu bisa dengan mudah didapatkan, hah? Aku tak peduli apa kata orang! Tapi kau telah menodainya! Mengambil apa yang aku jaga!” tukas Vana. Dia berusaha menahan amarahnya yang terpancing.
Baik Fandra atau Fiona sama- sama terkejut melihat kemarahan Vana. Dia bangun dari duduknya, mendekat pada Fandra lantas memukulinya tanpa ampun. Fandra yang tak menduga akan hal itu berusaha untuk menahan tangan Vana, tapi justru keseimbangan menjadi masalahnya. Untuk kedua kalinya mereka terjerembab ke rerumputan dan sialnya insiden itu terulang lagi untuk kedua kalinya.
“Hei kau!” Seruan Vana menggema mengejutkan Fandra dan Fiona. Wajahnya semakin merah padam karena kedua benda itu kembali beradu tanpa sengaja. “Sialan!” ujar gadis itu lalu mendorong Fandra.
Secepat kilat Vana bangun dari duduknya dan berlari sejauh mungkin dari tempat itu meninggalkan Fandra yang shock sendiri.
“Kak Vana tunggu!” seru Fiona begitu sadar. Dia sempat menatap sang kakak, mengejeknya lalu ikut berlari menyusul Vana.
Fandra yang masih terduduk di tempatnya mencoba mencerna apa yang telah terjadi padanya.
Ini sunggung mengejutkan sekali, “First and second?” gumamnya tak percaya lalu tertawa kecil. Tapi kemudian segera mengubah ekspresinya kembali dingin setelah melihat sekitarnya, sok jaim lagi, berdeham kecil.
Sejak kapan Fandra seperti itu? Tersenyum saja tidak, tapi ini sampai tertawa? “Udah gak waras!” rutuknya bangkit dari duduk dan berjalan menuju mansionnya.
Tidak ada siapapun di sana, tapi sunyinya cukup menjadi saksi bisu dari senyum kecil seorang Altafandra yang dingin dan arogan. Cukup untuk menjadi awal baik baginya, mungkin juga bagi yang lain.
Namun, apakah itu sungguh awal yang baik? Sepertinya tidak. Katakanlah insiden ini menjadi alasan Vana menilai Fandra. Tidak mungkin mereka akan langsung akrab, bukan? Ini baru permulaan akan pertemuan kedua mereka yang berbeda dari yang pertama tadi. Tapi, kenapa Fandra ada di sana? Bukannya Fiona mengatakan kalau pria itu pergi dengan mobilnya tadi? Bagaimana bisa secepat itu kembali?
Di kamarnya Vana berada di kamar mandi. Rusuh sekali dia membasuh wajahnya dengan air, berulang kali berkumur, membersihkan bibirnya seolah telah ternoda. Dia membasuh lagi wajahnya berulang kali.“Sialan!” Dia mengumpat sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya basah dan memerah. “Kenapa harus dia?” tanyanya tak mengerti.Terdiam beberapa saat, Vana kembali teringat akan kecerobohannya tadi. Kedua tangannya bertumpu di sisi wastafel. Pintu kamar mandinya tertutup.Bayangan itu memenuhi pikirannya, memutar kembali kecelakaan yang terjadi dan lagi- lagi mengulang adegan itu bagai film yang di putar lalu di pause, dan kembai di play. Wajah Vana memerah karenanya.“Sialan! Aku pasti sudah gila!” rutuknya kembali membasuh wajah terutama bagian bibirnya.Padahal dia tak perlu melakukannya sampai segitunya. Lagian itu hanya kecelakaan, tidak sengaja tapi kenapa Vana merasa begitu marah?“Kenapa harus dia? Seseorang yang bahkan aku tidak mengenalnya dengan baik,” katanya begitu men
Setelah menjelajahi lorong yang seolah tak bertepi. Vana berpikir Fiona mengerjainya karena ketika gadis remaja itu mengatakan kalau akan segera sampai di ruangan sang nenek, usai berbelok itu masih harus berjalan menyusuri lorong dan Vana tak yakin seberapa panjang itu.Berbelok ke arah kiri, sisi kanan dan kirinya hanya dindin marmer dengan sentuhan putih dan pink pastel. Warna yang tak begitu terang tapi cukup hangat dan terkesan manis.“Maaf, tapi rumah ini selalu banyak lorong dan tangga. Yeah, dan kamar, serta ruang lain,” terang Fiona memberi tahu Vana.Gadis itu hanya mengangguk saja sudah bosan dengan langkah kakinya yang mulai pegal.Ada sebuah pintu dengan bingkai putih gading di depan sana. Seorang penjaga menyambut mereka dan membukakan pintu. Kali ini pelayan pria dengan setelan jas hitam.“Ayo masuk,” ajak Fiona pada Vana yang memperhatikan sekitarnya. Masih elegand dengan tema putih dan pink.Melangkahkan kakinya melewati pintu, Vana terpesona dengan tempat itu. Nuasa
Rungan itu hening meskipun banyak orang di sana, diam sampai sang ratu memberikan instruksi untuk memulai.“Baiklah, kita mulai,” ujar sang ratu memberi perintah pada sekretarisnya.Seorang pria paruh baya menghampirinya. Sejak tadi berdiri tak jauh dari kursi sang ratu. Vena memperhatikannya, pria itu menaruh sebuah berkas di depan nenek.Semua pandangan tertuju pada berkas di atas meja itu yang entah apa isinya.“Ini berisi peraturan untuk keluarga ini, terkhusus untuk Vana,” kata nenek.Mendengar namanya di sebutkan Vana menatap sang ratu bingung tapi wanita tua itu hanya tersenyum lembut padanya lain dengan Fandra yang mendengus.“Pertama, Nenek akan memperkenalkan Vana sebagai anggota baru kita,” lanjutnya dengan tangan kanan mengarah pada Vana. “Untuk semua orang yang ada di sini, berlaku untuk para pelayan dan penjaga perlakukan Vana seperti tuan kalian,” tegasnya mengumumkan.Di ruangan itu tak hanya terdapat keluarga tapi juga kepala pelayan, sekretaris, dan kepala lain yang
Masih dalam suasana tegang karena perdebatan Vana dan Fandra, keduanya sama-sama memalingkan muka setelahnya membuat penonton merasa geli. “Sudah, simpan dulu pertikaian kalian. Nenek sengaja memanggil bukan untuk melihat kalian bertengakar,” ujar nenek. Nada suaranya tidak ada kemarahan, malah terlihat begitu senang. Vana melirik Fandra dari balik bulu matanya tapi hanya sekilas lalu memalingkan muka, kesal sekali karena sang tuan muda. “Baiklah. Nenek akan mulai, kalian dengarkan dengan baik, Vana …” Nenek menatapnya Vana mengangguk. “Bagus. Maka kita akan mulai,” lanjutnya. Semua orang mendengarkan dengan baik, termasuk Vana. Nenek mengumpulkan semua orang untuk memperkenalkannya juga tapi Fandra justru mengacau dengan mendebatnya. Menyebalkan sekali bukan. “Baik. Pertama, kamu akan tinggal di rumah itu untuk waktu yang tak tentu, tapi selama tinggal di sini kamu harus melakukan serangkaian latihan untuk menjadi bagian dari keluarga Alatas,” jelas sang ratu untuk aturan pertama
“Sudah. Kamu bisa pergi ke kamarmu sekarang, Vana. Kita akan makan siang bersama,” kata nenek.“Ah. Baik. Terima kasih,” balas Vana seramah mungkin.Gadis itu melirik sekitarnya beberapa saat. Mulai dari sang ratu, lalu menatap putra dan menantunya yang merupakan orang tua dari Fandra, lalu pada saudaranya kakak dan adik juga kakak ipar dari Fandra mereka semua tersenyum pada Vana. Senyum tulus yang menyambut hadirnya dengan baik. Meskipun bingung, Vana menundukan kepalanya sekilas dan bangun dari duduknya.Tiga pelayan yang berdiri tak jauh dari nenek itu bergerak memberi jalan pada Vana sambil tetap menundukan. Begitu Vana lewat ketiganya mengekor. Entah akan pergi ke mana dia karena yang lain masih tetap di sana.Berjalan melewati pintu yang tadi Vana lalui bersama Fiona. Tapi langkahnya terhenti ketika pembahasan mulai terdengar lagi dari arah depan. Entah apa yang menahan langkah Vana sampai gadis itu tak bergerak. Untunglah dia tersembunyi begitu juga tiga pelayannya.“Nenek su
Ruang ballroom itu ada banyak pilar, tapi di tengahnya kosong melompong hanya ada gambar bunga teratai dari lantai marmer dan meja bundar di tengah. Lampu hias Kristal yang cukup besar terdapat tiga menggantung di langit- langit. Tangga berlapis karpet merah selebar tiga meter menuju atas, di samping tangga itu terdapat sebuah sofa. Dari balik pilar rupanya terdapat beberapa pintu dan entar datangnya dari pintu mana Fandra ada di sana.Kedua tangan kekarnya melingkar di pinggung Vana yang kecil berbalut dress. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Tatapan Fandra juga tertuju pada wajah Vana.Ketiga pelayan yang menyaksikan masih tegang tapi menonton apa yang terjadi dengan diam. Dua dari mereka bahkan menahan senyumnya.Yang pertama kali sadar adalah Vana. Dia segera melepaskan tangan Fandra dari pinggangnya dan mundur dua langkah sambil menundukan pandangannya dari pria itu. Bagaimanapun juga Vana malu.“Woah. Siapa ini?” Suara baritone dari arah belakang Fandra mengusik keduanya untuk
Kembali turun mengelilingi ruang demi ruang yang ada di mansion itu, Vana nyaris bosan tapi dia memperhatikan ruangan dan merekamnya dalam otak. Mungkin dia yang akan pergi sendirian nanti, bagaimana kalau tersesat.Ruang makan itu berada di bangunan utara sementara kediaman nenek berada di barat begitu juga kediaman, maksudnya kamar ibu dan ayah Fandra berada di barat supaya bisa mengontrol nenek dengan mudah. Tentu saja, setiap ruangan itu ukurannya besar dan luas, Vana tidak bisa mengira-ngira berapa luasnya yang pasti seukuran orang kaya raya.Bila kediaman sang ratu di barat, ruang makan dan dapur di utara, ballroom dan segala macam untuk penyambutan tamu di timur, maka kediaman pangeran arogan di selatan.“Banyak sekali ruangannya,” desah Vana tanpa suara ketika kakinya terus berjalan sementara otaknya mengingat-ingat di mana saja para penghuni berada. “Selatan itu adem seharusnya, bukan panas. Tapi, dia dingin, masuk akal juga,” lanjutnya mendumel sendiri.“Lewat sini, Nona,” t
Ruang makan itu akhirnya hening dari semua kegiatan karena baru saja selesai menyantap hidangan yang tampaknya sangat enak sekali. Namun tidak bagi Vana yang sepanjang makan itu dia melamun. Barulah mengangkat wajah ketika semua orang selesai makan.“Nenek, ada yang ingin aku sampaikan,” katanya sebelum nenek bangun dari duduknya.Wanita tua yang menjadi ratu di rumah itu menatap Vana dengan heran begitu juga yang lain.“Ada apa, Vana? Apakah kamu tidak nyaman?” tanya nenek khawatir.“Ah, tidak. Bukan itu,” aku Vana sedikit salah tingkah.“Lalu, apa?”Tapi Vana ragu, dia mengitari meja makan itu yang semu piringnya kosong, hanya menyisakan lemak dan hiasannya.“Ah, kita bisa pindah ke ruang tengah. Kebetulan juga ada yang masih ingin kami sampaikan padamu,” ujar nenek yang mengerti. Vana tersenyum kecil. “Tolong siapkan buah untuk cemilan di depan,” titahnya pada pelayan.Seorang kepala pelayan mengangguk menyanggupinya.“Mari. Tapi, ini untuk yang mau mendengar saja, sekalian mengobr