Share

11. The Antagonist One

"Sekarang, bicara."

Arga berbalik badan. Saat itu juga, Sarah lamgsung menyentak tangannya begitu langkah mereka berhenti di belakang salah satu gedung yang sepi. Sarah mengambil satu langkah mundur, netranya menatap Arga putus asa. 

"Sebenernya lo mau apa?"

"Kenapa jadi gue?" Arga mengernyit.

"Karena sebelum gue tanya, lo harus tau perasaan lo sendiri." 

Ini mungkin terdengar berlebihan, lebay, atau kosakata dengan arti sama lainnya. Tapi demi apapun, Sarah sudah muak. Dia lelah menebak perasaan Arga dan selalu tidak kunjung menemukan titik temu. Dia lelah terus-menerus berpura-pura. Dia lelah berpura-pura selayaknya teman di depan orang-orang namun berkhianat di belakang. 

Sarah... muak jadi nomor dua. 

Orang-orang selalu menyalahkannya tanpa berniat memahami perasaannnya. Di mata orang lain seperti Arwin, apapun alasannya, tetap dia yang patut disalahkan. Tetap dia yang patut dihujani makian. Karena dalam hidupnya, Sarah tidak pernah dijadikan peran utama. Semesta seolah selalu menempatkannya sebagai figuran. Sebab sekalipun dia menghilang, tidak akan ada orang yang peduli maupun repot-repot menanyakan keberadaannya. 

"Gue tanya, sebenernya perasaan lo buat siapa?" Sarah kembali bertanya. "Gue atau Lia?"

"Kenapa tiba-tiba suruh gue milih?"

"Karena lo nggak bisa dapetin keduanya."

Arga mendadak terdiam. Kalimatnya tertahan di ujung lidah. Mengehela napas berat, Arga meraup wajahnya kasar. 

"Dari awal kesempakatannya bukan gini, Sar." Arga menjelaskan, mencoba membuat Sarah ikut tenang. "Waktu itu, kita punya beban yang sama dan butuh pelarian. Kita juga sepakat untuk nggak saling libatin perasaan. Jadi, gue rasa gue nggak wajib jawab pertanyaan lo barusan."

"Karena lo emang dari awal nggak pernah peduli kan?"

"What do you mean? Sarahㅡ"

"Karena lo egois." Sarah memotong tajam.

Arga kian bingung. "Maksud lo apa sih?"

"Lo jadiin gue pelampiasan dan lo pikir gue juga melakukan hal yang sama kan?"

"Ya emang dari awal kesepakatan kita gitu kan? Terus lo masalahin apalagi? " Arga membalas, agak jengah. Arga hanya ingin cepat pulang dan berdebat dengan Sarah tidak masuk dalam agendanya. "Kenapa lo jadi marah-marah nggak jelas gini? Atau lo kesel sama Arwin tadi? Oke. Nanti gue coba bilang baik-baik sama diaㅡ"

"What if I didn't?"

"Apaan sih?" Kening Arga mengerut, tidak paham. Di samping itu, Arga jengkel karena Sarah berkali-kali memotong ucapannya. 

"Gimana kalau gue nggak jadiin lo pelampiasan juga?"

"Ya terus kenapa lo setujuㅡ"

"What if I broke the main rule?"

Arga menaikkan alisnya tinggi. Perasaannya mulai tidak enak. Sebab, Arga tidak pernah melihat Sarah seserius ini. Bisa dipastikan, hal selanjutnya kemungkinan besar hal buruk akan terjadi.

"What if I fall for you?"

That's it.

Jika Arga dibaratkan kota, maka kota yang tepat untuk mewakili perasannya sekarang adalah Kota Hisroshima. Lebih tepatnya, setelah di lempar bom besar. Hancur lebur. Luluh lantak. 

Perasaannya benar-benar kacau sekarang. Segala hal buruk berkejaran mendatanginya. Seolah tak puas membuatnya frustasi karena Lia, Arga harus dibuat bersitegang dengan Arwin, dan sekarang, dia ganti berdebat dengan Sarah. Dalam hati, Arga tak kunjung henti mengumpati semesta. Kenapa dari ratusan hari di bumi, hari ini kehancurannya datang bertubi-tubi. Kenapa pada hari ulang tahunnya, tidak ada satupun hal baik terjadi padanya. 

Arga memang tidak suka ulang tahunnya dirayakan. Dia pernah terpaksa merayakan hari kelahirannya dengan kue disertai lilin diatasnya juga dekor kerlap-kerlip penuh balon khas acara ulang tahun untuk menghargai usaha temannya. Tau rasanya kepalanya dipakai sebagai ganti wajan untuk memecah telur, sampai pernah diceburkan ke kolam ikan. Itu semua bukanlah hal yang baik memang. Namun, meski Arga tidak menyukai tanggal sakral ini yang mana untuk sebagian orang di anggap special, Arga baru tau rasanya hari ulang tahunnya jadi seburuk ini. Arga merasa miris dengan hidupnya sendiri. 

There's no surprise, no whises, no cake, no decor. Just full of tragedy. Kadang kala, skenario semesta memang luar biasa.

"When the rules have been broken, then the game is over." Setelah diam beberapa lama, Arga akhirnya membuka suara. "Know your consequences, Sarah." 

Arga menapaki langkah untuk pergi, sementara Sarah mengepalkan tangannya erat. Wajahnya memerah menahan emosi. 

"LO BRENGSEK AR!"

Langkah Arga sontak tertahan. 

"DENGER INI BAIK-BAIK!" raungan Sarah terdengar menyakitkan. Selanjutnya, yang terdengar ialah isakan yang mati-matian di tahan. "LO ORANG TERBRENGSEK YANG PERNAH GUE KENAL!"

It's okay, Arga menanamkan kalimat tersebut keotaknya dalam-dalam. Merapalnya seolah sebuah mantra. Berusaha menegarkan dirinya sendiri. Dia sudah pernah disebut brengsek. Makian Sarah tidak akan berdampak apa-apa untuknya.

'Kamu tau kamu jadi manusia paling brengsek waktu kamu dengan nggak tau dirinya minta kita buat nggak pisah?'

It's okay.

'Ya karena lo emang pantes disalahin, brengsek!'

It's really okay.

"LO SADAR LO SELALU EGOIS?!" 

Arga masih membatu di tempatnya, mendengar teriakan Sarah dari balik punggungnya. 

"Lo nggak bisa buat pilihan ketika lo sadar lo nggak bisa milikin keduanya! Lo cuma mikirin diri sendiri sedangkan lo sama sekali nggak pernah lakuin hal yang sama ke gue dan hanya peduli tentang Lia!" jerit Sarah akhirnya. Setetes air mata jatuh begitu saja yang dengan cepat Sarah usap. Hal yang selama satu bulan belakangan Sarah pendam, akhirnya dia keluarkan. "Di pikiran lo cuma Lia Lia dan Lia! Gue muak Ar! Gue muak harus jalan sembunyi-sembunyi, gue muak harus bohong ketika orang nanya tentang hubungan kita. Dan gue muak selalu jadi pilihan kedua!"

"Gue tau." Arga kembali berbalik. "Gue tau gue egois, gue tau gue brengsek. Gue paham. Lo nggak seharusnya suka sama orang kayak gue. You deserve better, Sar."

Arga menjeda kalimatnya. 

"Kita udahan aja."

Lalu kembali melanjutkan langkah. Bersikeras menulikkan telinga terhadap raungan kesakitan Sarah di belakang. 

"Keparat! Gue harap lo nggak pernah bahagia Arga!"

Tanpa Sarah menyumpahinya pun, hidupnya sudah ditakdirkan begitu. 

Jika Sarah pikir selalu mendapatkan peran figuran adalah hal yang paling menyakitkan, Sarah salah. Karena Arga jauh lebih buruk dari itu. Jika Sarah adalah figuran, maka Arga adalah antagonisnya. Sebab sepanjang hidupnya, Arga selalu diberi peran untuk menyakiti hati orang-orang. 

Dan itu menyedihkan. 

***

"Arga nyeleweng." 

Mahen nyaris menyemburkan kuah dari mie-nya kala Nadila berkata tiba-tiba. Akibatnya, Mahen tersedak kuah mie instannya sendiri. Azka kontan bergerak cepat dengan menarik tisu dan menyodorkan Mahen minum. Masih dengan batuk-batuk, Mahen meminum air sodoran Azka rakus. Sementara tiga orang lainnya yang duduk melingkar di atas karpet bulu mahal kamar Arwinㅡsama dengan Mahen, masing-masing memegang mangkuk berisi mieㅡterbahak keras. 

"Jangan ketawa dulu!" Mahen melotot, lalu kembali ke mode serius. "Sumpah demi apa?"

"Demi ikan-ikan di laut."

"Serius, anjing." Mahen melempar Nadila dengan gumpalan tisu bekas yang langsung di respon pekikan oleh Nadila dan pelototan tidak terima dari pacar bulolnya. "Gue serius elah. Arga beneran selingkuh?"

"Iya, dongo." Nadila menukas kesal.

"Gimana ceritanya?"

Arwin menghabiskan mie-nya terlebih dahulu, sebelum kemudian menceritakan semuanya pada Mahen yang dari awal memang tidak tau apapun. Tanpa terkecuali. Tentang sikap aneh Arga sebulan belakangan, misi rahasia yang Arwin dan Lia jalankan untuk mengulik kebenaran, dan puncaknya ketika mereka memergoki Arga dan selingkuhannya di mall dua hari lalu. 

Sepanjang Arwin bercerita, Mahen hanya bisa melongo keheranan. Mulutnya menganga disertai mata membelalak lebar. Selepas mencerna semua cerita dengan baik, respon pertama Mahen adalah menoyorㅡuntuk yang kedua kalinyaㅡsatu persatu dahi orang di samping tubuhnya. 

"WOY?!" Azka menyahut kesal.

"Ini udah dua kali, ketiga kalinya gue pastiin lo dapet lemparan piring cantik." Arwin membalas sarkastik sambil mengusap dahinya. Arwin menoleh pada Nadila dengan ekspresi melas yang dibuat-buat, tidak lupa dengan bibir dimajukan. "Nad..., sakit."

Nadila bergegas untuk balik menoyor Mahen hingga terhuyung ke belakang. 

"SAT!"

"Rasain!" balas Nadila puas. 

Mahen mendesis kesal, ganti dia yang mengusap keningnya kesakitan. Tidak sakit sih, cuma Mahen hampir terjerumus ke belakang sebab toyoran Nadila tidak main-main kerasnya. Hal tersebut tentu saja mengundang gelak tawa dari Azka serta ejekan yang dilayangkan Arwin penuh kepuasan. Mahen mengumpat pelan, dalam hati berjanji tidak akan lagi-lagi berbuat ulah pada Arwin ketika disampingnya ada sang pasang. Bahaya.

"Emang gue temen tiri! Bisa-bisanya gue nggak dikasih tau. Bisa-bisanya cuma yang nggak tau! Bener-bener lo berdua." Mahen menunjuk penuh dendam pada Arwin dan Azka dengan sumpit. 

"Ya emang lo temen tiri kali, nggak nyadar?" Nadila menukas. 

"Maksud ngana?!"

"Loh, bukannya Mahen emang temen pungut ya Ar?" Nadila bertanya dengan.nada dibuat semenyebalkan mungkin pada sang pacar. Membuat Mahen menahan dorongan untuk memutilasi perempuan itu hidup-hidup. "Lihat, di antara kalian berempat, lo yang paling beda sendiri. Nama aja udah mirip-miripㅡArwin, Arga, Azka. Nah, ini nih, nih orang satu tau-tau nyempil. M sendiri. Jauh bos, perusak aja lo. Kan kalo A semua bisa gue namain A4 biar kayak drama Korea Boys Before Flowers. Makanya, gue waktu awal mikirnya lo emang temen pungut beneran."

"Win, ini pacar lo boleh gue jual ke Pasar Senin aja nggak sih? Kesel gue denger congornya lama-lama." Mahen menatap sinis Nadila di depannya sebelum mendengus sebal. 

"Ide bagus. Nanti hasilnya bagi dua." Di luar dugaan, Arwin justru meng-iyakan ajakan nyeleneh Mahen bikin Nadila mendelik lebar. "Soalnya meskipun Nadila pacar gue, gue kadang-kadang suka sebel kalau mulutnya nggak bisa di atur. Kalau ngomong suka semaunya sendiri."

"Oke, siap." Mahen membalas semangat disertai kekehan. "Besok dandan yang cantik ya Nad, biar besok waktu kita jual cepet laku."

"Diem lo temen pungut!" 

"Diem lo calon dagangan Pasar Senen!" Mahen menyahut, tak mau kalah. 

Nadila yang kalah omongan mencebikkan bibir kesal, memandang penuh murka pada sang pacar yang malah jadi tim haha-hihi saja.

"Win, kamu mau aku pecat jadi pacar?!" 

"Kalau habis itu naik pangkat jadi suami sih, boleh aja."

Mahen mendadak batuk-batuk sambil menepuk-nepuk dadanya dengan lidah terjulur keluar, berakting pura-pura muntah. Azka yang daritadi menjadi penonton dan lebih banyak diam tersenyum tipis, lalu menumpuk mangkok bekas mie mereka berempat yang isinya sudah tandas sejak lima menit lalu. 

Azka menyerahkan pada sang pemilik rumah. "Nih, Win. Bawa ke dapur sana."

"Lah, kok gue?" Arwin mengernyit heran. 

"Kan lo tuan rumahnya."

"Nah, itu yang lebih aneh. Gue tuan rumahnya gue juga yang jadi babu." Arwin berdecak jengkel, meski tak ayal menuruti perintah Azka karena mendapat pelototan dari Nadila. "Emang ya, lo-lo semuaㅡnggak kok Nad, kamu nggak termasuk." Arwin berdeham salah tingkah saat lagi-lagi Nadila memberinya pelototan tajam. "Nggak tau diri semua. Delivery nggak mau, mintanya dibikinin mie. Udah gitu makannya di kamar gue lagi. Pinter banget!"

"Lah, emang ujan-ujan gini tuh paling bener makan mie soto, Win." Mahen membela diri sendiri. Karena memang cowok itu yang memaksa untuk membuat mie. 

"Alah, bacot."

Arwin memutar bola mata malas, lantas segera keluar untuk menaruh mangkok-mangkok kotor ini ke tempat pencucian. Mahen tertawa, lalu memberinya kalimat penyemangat dengan nada tak semangat. Alias nggak niat. Mahen hanya terbahak keras kalau Arwin memberinya acungan jari tengah. 

Selepas itu, mereka bertiga sibuk dengan urusan masing-masing. Azka membuka laptop, mengecek desain maketnyaㅡMahen sampai heran, manusia bernama Narazka Aksara itu tidak pernah mengeluh tentang tugas padahal jurusan Azka termasuk ke dalam salah satu jurusan dengan mahasiswa tersibuk, derita anak Arsitek memangㅡNadila berkutat dengan ponselnya, sedangkan Mahen sendiri tiduran di kasur Arwin. Pandangannya menerawang ke atap dinding. 

Mereka hampir 4 jam di rumah Arwin sekalian meneduhkan sebab di antara mereka, rumah Arwin memang yang paling dekat dari kampus. Rumah Arwin juga tergolong besar dengan taman luas di halaman belakang juga kolam renang. Itulah mengapa mereka lebih sering menjadikan rumah Arwin sebagai tempat bermain maupun berkumpul. Mahen melihat jam tangannya, jam setengah 10. Padahal dia ada kelas pagi besok. 

Karena jam tangan Mahen juga terdapat fitur tanggal, untuk sesaat Mahen dibuat tertegun sejenak. 

"Guys guys!" Mahen berteriak heboh, matanya masih terpaku pada jam di pergelengan tangan kirinya. Hal tersebut spontan mengundang decakan malas dari Nadila. 

"Kenapa sih, Hen?" tandas Nadila.

"Ini tanggal 11 atau jam tangan gue yang rusak?"

"Bener, kok." Azka membalas setelah mengecek tanggalan di ponselnya. "Emang kenapa?"

"ANJINGGGG!" Mahen langsung terduduk tegak di atas kasur. "Hari ini Arga ultah! Sialan, bisa-bisanya kita semua lupa!"

"Hah sumpah?!" Nadila terperanjat, buru-buru melihat tanggalan, lalu mengumpat setelahnya. "Meskipun gue masih kesel setengah mati sama tuh orang, tapi Arga gitu-gitu masih temen gue. Setannnn! Pikun banget gue emang."

"Ini tanggal 11 tinggal dua jam lagi, kalau ngucapin sekarang boleh nggak sih?"

"Basi, Hen." Nadila mendengus samar. "Mending nggak usah ngucapin sekalian."

"Karena udah terlambat, gue telatin sekalian aja deh. Besok aja gue ngucapinnya."

"Geblek!"

"Ya daripada nggak ngucapin sama sekali!"

Nadila hanya mencibir. 

Azka menghela napas berat, diam-diam juga merutuki dirinya sendiri. Jarinya berhenti mengetik, laptop di pangkuan dia acuhkan. Seharian ini, Azka memang cukup sibuk. Apalagi ditambah dengan masalah Arwin dan Arga tadi, benaknya seakan tidak bisa menampung hal lebih banyak lagi. 

"Kita terlalu sibuk sama masalah kita sampai lupa sama ulang tahun temen sendiri." Azka berucap dengan nada rendah. "Dia tadi juga kelihatan lagi nggak sehat. Gue tau Arga nggak bakal marah cuma gata-gara kita nggak ngucapin selamat ulang tahun, but damn, deep down inside, I bet he would disaponted with us."

Di dalam kamar, mereka bertiga terdiam. 

Sedangkan di luar ruangan, Arwin menahan langkah, berdiri mematung. Membiarkan tangan yang tadinya akan membuka pintu, menggantung. Seakan di mode otomatis, otaknya memutar kejadian di parkiran sore tadi. Saat dia berdebat dengan Arga, saat dia menyalahkannya, saat dia memakinya bahkan menyebutnya..., brengsek. Arwin memejamkan mata, disusul rasa bersalah yang mendadak menyerangnya. 

***

Usai selesai siaran, Lia menyempatkan diri untuk ke kamar mandi. Melangkah sembari mengecek jam di ponselnya, ternyata sudah jam 8. Sebenarnya hari ini dia tidak ada jadwal siaran, tapi tadi Tasyaㅡtemannya, yang mana salah satu anak Radio Kampus jugaㅡmeminta tolong pada Lia untuk menggantikan Tasya siaran karena perempuan itu ada urusan mendadak. Karena tidak tega melihat wajah memohon Tasya serta Lia jadwalnya sedang senggang sebab tidak ada deadline, Lia akhirnya mengiyakan. 

Lia segera menyelesaikan urusannya dan mengaca sebentar. Suasana kampus saat malam tidak bisa dibilang menyeramkan karena meski cahayanya remang-remang, masih banyak mahasiswa yang masih berkeliaran. Tapi tetap saja, sendirian di kamar mandi bisa membuat bulu kuduk Lia berdiri. 

Setelah selesai, Lia mencuci tangannya di wastafle dengan gerakan tepat. Waktu mendongak kemudian melihat kaca, Lia nyaris terjungkal kala tiba-tiba di pantulan kaca tidak hanya ada dirinya seorang, melainkan ada satu perempuan berambut panjang di sana. Bukan, ini bukan seperti Lia yang mendadak bisa melihat makhlut tak kasat mata. Sebab melihat Sarah di belakangnya, sudah cukup menyeramkan dari film horor manapun yang pernah Lia lihat. 

"Hai."

Sarah melangkah mendekat, ikut mencuci tangan. Lia berusaha menstabilkan ekspresinya yang sempat hiperbola. 

"Sekarang hari apa ya, Li?" Sarah bertanya, menatapnya lewat pantulan kaca. 

Kening Lia berkerut heran, tidak habis pikir. Sarah bertanya seakan-akan Lia adalah teman akrabnya. Seakan perempuan itu tidak pernah main belakang dengan mantan pacarnya. Tidak ada sepercik pun raut bersalah, yang ada hanyalah senyum Sarah yang terlihat menyebalkan di mata Lia.

Waktu kembali bertemu di kantin FISIP berminggu-minggu lalu, Lia memang ingin menjalin kembali hubungan pertemanan mereka yang sempat putus. Mereka bertukar nomor, saling membalas status W******p, bahkan merencanakan untuk makan bersama. Lia bersyukur, kebenaran lebih cepat terungkap sebelum dia dan Sarah betulan akrab. Karena jika itu terjadi, Lia akan kehilangan dua hal. Pacar dan teman. Beruntungnya dia dan Sarah tidak sejauh itu. Kini Lia tidak perlu susah payah untuk menganggap Sarah orang asing lagi.

"Lo nggak punya tanggalan bukan ngecek sendiri?" Lia menjawab ketus. 

"Oh, iya, hari ini hari Selasa ya." Sarah berlagak baru mengingat. Sumpah, Lia ingin melakban mulut Sarah agar perempuan itu tidak banyak berulah. "Tanggal 11 Maret. Artinya apa, Li?"

Lia tidak berniat menjawab pertanyaan sampah Sarah. 

"Hari ulang tahun Arga."

Entah untuk keberapa kalinya, kehadiran Sarah saat ini bisa membuat Lia terperangah berkali-kali. 11 Maret, Lia merapalkan kalimat tersebut dalam hati. Jika dulu dia bisa heboh sendiri merencanakan kejutan untuk ulang tahun Arga, sekarang jangankan memberi ucapan. Lia bahkan lupa dengan ulang tahun Arga. 

"Hari ini juga, gue putus sama Arga."

Sarah tertawa ringan. Lia hampir berpikir Sarah betulan gila. 

"Dari wajah lo, kayaknya lo lupa. Lucu ya, karena kayaknya, cuma gue yang inget hari ulang tahunnya. Cuma gue yang persiapin kejutan buat Arga. Cuma gue yang beliin kado buat dia." Sarah tertawa lagi. Bukan seperti sebelumnya, tawa Sarah kali ini terdengar getir. "Lebih lucu lagi, setelah gue persiapin itu semua, gue putus sama Arga. Yah, nggak bisa dibilang putus juga karena gue dan Arga nggak bisa dibilang pacaran. Tapi, yah, intinya gue sama Arga..., udah selesai."

"Gue nggak peduli." 

Sarah mengangkat alisnya seraya mengeringkan tangan. Lalu senyum miringnya muncul. "Gue nggak butuh kepedulian lo, Lia."

"Dan gue juga nggak nanya hubungan lo sama Arga."

"Gue nggak lagi menjawab pertanyaan, gue ngasih fakta." Lia menebak, sepertinya salah satu kegunaan bibir Sarah adalah untuk membuat orang marah. "Gimana? Seneng nggak gue sama Arga selesai?"

"Gila." Lia tertawa sarkastik. "Lo kayaknya udah gila."

"Makasih ya udah perduliin gue. Tapi nggak, gue masih waras dan gue nggak gila kok." Sarah tersenyum. "Gue bukan Arga. Gue nggak akan stress kayak orang gila cuma karena abis diputusin pacarnya."

Lia tau itu sindiran. 

"Tapi tenang aja, gue nggak bakal biarin Arga hidup tenang. He doesn't deserves to live his life happily after all the things he has done."

Sarah tersenyum lebar usai mengaplikasikan kembali lipstick di bibirnya. Netranya menilik pantulan wajahnya di cermin sebelum akhirnya melenggar keluar sambil menepuk pundaknya dua kali. Namun, ketika sampai di ambang pintu, Sarah berhenti. Berucap yang hanya membuat Lia mengepalkan tangan menahan gejolak amarah. 

"Gue harap, lo juga selalu bahagia kapan pun dan dimana pun lo berada ya, Lia."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status