Tian berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan terburu-buru, Almeera mengikutinya di belakang, “Apakah kamu harus ikut juga? Ayah masih sangat marah padaku,” kata Tian setengah berlari menuju ruang ICU. “Aku tidak akan mendekati keluargamu, aku akan melihat saja dari jauh,” jawab Almeera. Tian tidak ada waktu untuk protes pada Almeera, saat dia memberitahukan bahwa ayahnya masuk ruang ICU, Almeera memaksa untuk ikut dengannya ke rumah sakit. “Kau tunggu disini saja, ruang ICU di sana, sudah ada ibuku dan adikku, jangan sampai mereka melihatmu,” kata Tian, lalu berjalan menujur ruang ICU meninggalkan Almeera di ruang tunggu tamu. “Huh, kalau saja Tian tidak menikah dengan Nora, aku sudah menjadi bagian keluarga mereka, dan tidak perlu sembunyi disini,” kata Almeera dalam hati dengan kesal. “Bagaimana keadaan ayah?” tanya Tian pada ibunya yang terlihat duduk dengan wajah penuh ke khawatiran. “Menurutmu bagaimana?bisa-bisanya kau melakukan itu kepada ayahmu,” jawab ibunya
“Seperti yang kau tahu, pacarku hamil,” kata Tian sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, wajahnya terlihat sangat lelah, Tyas tidak pernah melihat kakaknya seperti itu, dia masih ingat dulu, Tian pernah bicara bahwa dia akan mengakhiri hubungannya dengan Almeera, tapi kenapa sekarang ceritanya berbeda. “Bukankah kau pernah bilang, bahwa kau akan meninggalkan pacarmu itu,” kata Tyas, sambil melihat kea rah luar, dia tahu Almeera dari tadi menunggu di sana. “ Entahlah, aku hanya tidak bisa, karena dia hamil saat itu,” jawab Tian. “Lalu kenapa kau harus menceraikan Nora? bukan Nora yang harus keluar dari rumah itu, tapi wanita itu yang seharusnya tak datang ke sana,” kata Tyas dengan nada sedikit meninggi sambil menunjuk kea rah tempat Almeera menunggu, Tian terkejut, bagaimana bisa Tyas tahu ada Almeera di sana. “Kau kira aku tidak tahu wanita itu ada di sana dari tadi, menunggumu seperti orang bodoh,” kata Tyas, dia tidak peduli bila Tian marah kepadanya, usia mereka hany
“Apa kita akan berangkat sekarang? Kau sudah memastikan tidak ada yang tertinggal sayang?” tanya Tomi pada Nora. Nora tersenyum, “Aku yakin, aku sudah membawa semuanya, kita bisa berangkat sekarang, agar tidak tertinggal pesawat,” jawab Nora, Tomi mengangguk, lalu menyuruh sopir kantornya untuk memasukan semua barang ke dalam bagasi mobil. Tomi dan Nora akan kembali ke Jakarta untuk menghadiri pemakaman Hendra Winata, ayah Tian, bagaimanapun Tomi dan Tuan Hendra mempunyai hubungan yang sangat baik, tuan Hendra sudah menganggap Tomi seperti anaknya sendiri, tidak sesekali tuan Hendra lebih bangga dengan Tomi daripada Tian, karena Tomi sering membantu tuan Hendra dengan kemampuan menjalankan bisnis yang dimiliki Tomi. Lain halnya dengan Nora, sepanjang perjalanan perasaannya tak menentu, namun dia berusaha tidak memperlihatkannya kepada Tomi, melihat Tomi yang tidak berhenti mengajak Bian bercanda, Nora bisa merasakan bahwa Tomi sangat menyayangi anak itu, meskipun itu bukan dara
“Kau tidak perlu bermalam disini bila kau tidak nyaman sayang,” kata Tomi kepada Nora. Nora yang sedang merapihkan baju Bian dari koper berpaling melihat Tomi yang masuk ke kamar. “Aku tidak apa-apa, Nyonya Winata dan Tyas sudah memohon padaku untuk bermalam disini, aku tidak sampai hati menolaknya,” jawab Nora sambil lanjut merapihkan baju. Tomi duduk di samping tempat tidur menghadap Nora, dia mengambil tangan Nora dan menggenggam sambil menepuknya mesra. “Aku ingin menjadikan Bian sebagai penerus perusahaanku,” kata Tomi sambil memandang kedua mata Nora. Nora terlihat kaget, dia tidak harus menjawab apa, apalagi saat ini Nyonya Winata sudah mengetahui kehadiran Bian, bagaimanapun Boan adalah anak Tian, secara otomatis anaknya yang akan menjadi penerus Winata Grup setelah Tian, tapi selain itu Nira hanya ingin dia dan anaknya hidup normal tanpa embel-embel penerus tahta. “Aku belum memikirkan itu, aku ingin Bian tumbuh sebagai anak normal, tanpa protokoler yang membosankan
“Brakkk,” Almeera membanting pintu kamarnya, wajahnya terlihat gusar campur marah, dia berjalan mondar mandir di dalam kamar, berpikir keras sambil menggigit ibu jarinya. “Sialan, kenapa perempuan itu datang kesini,” kata Almeera pelan, dia berkali-kali melirik ke arah pintu kamar. “Beraninya dia datang kesini membawa anak Tian,” katanya lagi. “Aku harus memikirkan cara agar dia tidak merebut posisiku lagi,” kata Almeera sambil duduk di tepi tempat tidur. Saat Almeera sedang berpikir keras, pintu kamar terbuka dan Tian berjalan masuk ke dalam kamar, wajahnya terlihat tidak biasa, keningnya berkerut dan sepertinya dia tidak sadar ada Almeera di sana “Kau dari mana?” suara Almeera mengagetkan Tian. “Bertemu para tamu, tapi sebagian dari mereka sudah pulang,” jawab Tian sambil menyandarkan badannya di sofa lalu memejamkan mata. “Tamu dari mana?” kata Almeera sambil memancing. “Apa maksudmu?” tanya Tian. Almeera terdiam, dia duduk di samping tempat tidur, dia ingin
Malam itu Nora tidak bisa memejamkan matanya, dia melihat ke samping tempat tidur, sudah pukul satu dini hari, dia masih mengingat perkataan Almeera tadi, dia tahu Almeera tidak main-main dengan perkataannya. “Kau belum tidur?” tiba-tiba suara Tomi mengagetkan Nora. “Ada yang sedang kau pikirkan sayang?” kata Tomi lagi. Tomi memandang wajah Nora, dia melihat ada kegelisahan di wajahnya, Tomi tahu ada sesuatu yang membuat Nora tidak nyaman saat itu. “Tidak, aku hanya tidak bisa tertidur saja, mungkin karena malam pertama di tempat yang baru,” jawab Nora mencari alasan. Tomi hanya mengangguk, namun dia tidak eprcaya apa yang Nora katakan, dia tahu Nora bukanlah orang yang susah beradaptasi, saat pindah ke Australia, Nora tidak mempunyai masalah bergaul atau kesulitan tidur, dia tahu istrinya seperti itu bila ada sesuatu yang di pikirkannya. “Tidurlah, besok pagi kita akan pergi setelah pemakaman Om Winata, lagipula di bawah masih banyak tamu, mungkin aku akan tidur 2-3 ja
Tian terus menerus menatap ke arah Nora dan Tomi, meskipun dia tahu ada Almeera di sebesarng sana yang juga ikut memperhatikannya, namun Tian tidak dapat melepaskan pandangannya dari Nora, terlebih anak itu yang sedang Nora gendong yang membuat rasa penasaran Tian makin memuncak. Semalaman Tian tidak bisa tertidur, dia memilih untuk turun kebawah bersama para tamu yang datang melayat ke rumahnya, dia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, setelah perpisahannya dengan Nora dua tahun lalu, Tian masih merasa bersalah jauh di dalam hatinya, dia tahu saat itu dia sudah mempunyai perasaan sedikit pada Nora, namun kehamilan Almeera membuatnya teralihkan dari Nora. “Apakah saat itu Nora sedang mengandung anakku?” kata Tian dalam hati. “Apakah dia anakku?” kata Tian lagi, seakan-akan pertanyaan di kepalanya tidak ada putusnya. Tian berjalan di samping ibunya, mengantar jenazah Tuan Winata, keadaan rumah sangat ramai, para pelayat yang terdiri dari kolega-kolega bisnis per
Mobil Tomi berjalan masuk ke dalam pekarangan rumahnya, dia melihat Nora dan Bian tertidur di sampingnya, Nora tertidur sangat lelap saat itu karena malam tadi dia tidak bisa memejamkan mata hingga dini hari. “Sayang kita sudah sampai,” kata Tomi perlahan membangunkan Nora. Nora perlahan membuka matanya, dia melihat ke sekeliling, rumah yang indah dan halaman yang asri. “Ini rumah kita, kita akan tinggal disini sementara,” kata Tomi yang lekas turun dari mobilnya, dan menyuruh supirnya untuk menurunkan barang-barang bawaan mereka. Nora mengikuti Tomi turun dari mobil sambil menggendong Bian, dia belum pernah melihat rumah yang akan mereka tempati selama di Jakarta. “Apakah kau membelinya?” tanya Nora pada Tomi. “Tidak, ini adalah rumahku, aku hanya sedikit merenovasinya sebelum berangkat ke Australia,” jawab Tomi. Nora mengikuti Tomi masuk ke dalam rumah, meskipun rumah ini lama tidak di tempati oleh Tomi namun rumah ini terlihat sangat bersih dan tidak berbau khas ru