“Jadi, selama ini, Paman dan Bibi tidak menentang hubungan kami?” seru Julian, mempertegas pertanyaannya barusan.
Sambil menarik napas panjang, Minnie berkedip-kedip mengulas memori. “Awalnya, kami memang keberatan.”
“Apakah benar karena ketidakbecusanku?” terka sang pria dengan mata bulat.
Dengan senyum miring, sang wanita tua menggeleng lambat. “Bukan. Perkataan saya yang Anda dengar waktu itu sama sekali tidak benar, Tuan. Saya mengatakannya karena Mia yang meminta. Dia ingin mencoba untuk membenci Anda. Tapi ternyata, dia tidak bisa.”
Mendengar penjelasan itu, hati Julian menjadi semakin lega. Namun, selang satu embusan napas, kebingungan kembali menciutkan senyumnya. “Kalau bukan karena itu, lalu apa? Apakah karena pandangan orang-orang? Paman dan Bibi takut jika Mia mendapat cemoohan?”
Setelah mendesah samar, sang wanita tua mengangguk. “Ya, kami takut jika orang-orang tidak senang pada Mia dan berusaha menjatuhkannya.”
“Bibi tid
Sembari mengacak rambut, Julian menghela napas cepat. Wajahnya telah kembali suram. Harapan yang sempat mewarnai matanya, kini telah lenyap ditelan resah. “Mia, kau di mana?” erangnya sambil mendongak dengan tangan di pinggang. Sembari menatap langit-langit yang tak mampu memberikan jawaban, pria itu mendesah. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” Sadar bahwa pikirannya telah buntu, Julian akhirnya mengambil ponsel. Tanpa mengulur waktu, ia menghubungi seseorang yang bisa memberinya solusi. “Halo?” sapa seorang pria dari seberang telepon. “Max, di mana Gabriella?” tanya Julian secepat angin. “Istriku sedang memandikan Pangeran Kecil. Ada apa?” Sambil memijat pelipis, si penelepon membalas, “Bolehkah aku bicara dengannya?” “Tentu saja,” sahut sang adik agak pelan. Selang beberapa saat, suara pria itu kembali terdengar. “Gaby, Julian mencarimu.” “Ada apa?” Tanpa sempat menyapa, sang CEO melantangkan jawaban. “Mia m
Cayden berhenti menggoyangkan kaki ketika sang ayah membawanya memasuki apartemen Mia. Kondisi ruang yang tertangkap oleh mata bulatnya merupakan pemandangan yang belum pernah ia lihat. Tidak satu pun benda tertata pada tempatnya. “Mi ... ya ... jajajaja!” seru bayi itu sembari meruncingkan telunjuk ke depan. Setelah menghela napas samar, wanita yang berdiri di samping suaminya pun mengangguk. “Benar. Mia akan marah besar jika dia tahu rumahnya telah diubah menjadi kapal pecah.” “Tidak akan ada seorang pun yang percaya jika Julian sedang mencari paspor,” gumam Max seraya lanjut berjalan, melangkahi bantal-bantal sofa yang berserakan di lantai. “Sepertinya, kakakmu mulai kehilangan akal sehat,” timpal Gabriella sembari mengangkat bantal yang baru dilangkahi oleh suaminya dan memindahkan benda itu ke tempat yang seharusnya. Tepat pada saat itu pula, seorang pria dengan rambut acak-acakan melintasi ruang. Begitu melihat kehadiran para tamu, langk
Sejauh apa pun mata melihat, seindah apa pun pemandangan yang ditangkap, bayangan Mia terus menguasai pikiran Julian. Pria itu sama sekali tidak menikmati perjalanan. Selama ia belum menggenggam tangan sang kekasih, jantungnya akan terus berdegup tak karuan. Ketenangan tidak akan terbit dalam rongga dadanya yang sesak oleh keresahan. Setibanya di hotel, Julian langsung menghampiri meja resepsionis dengan semangat membara. Namun, alih-alih mengajukan booking, ia malah mempersiapkan ponselnya. “Selamat pagi,” sapa pria berwajah lusuh dengan kantong mata yang sangat tebal itu. “Maaf sebelumnya. Apakah seorang wanita dengan nama Mia Sanders memesan kamar di hotel ini?” Dengan senyum ramah yang terancam lepas, gadis di balik meja resepsionis meringis. “Mohon maaf, Tuan. Kami tidak bisa menyerahkan data pengunjung hotel kepada sembarang orang,” tolaknya halus. Tampak jelas bahwa sang resepsionis mencurigai tampang pria yang semrawut itu. “Tolong ja
“Mia?” desah Julian seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sama seperti pria di hadapannya, sang gadis pun menghela napas samar. Tubuhnya telah dibekukan oleh keterkejutan, sementara hatinya menjerit, meminta untuk segera diselamatkan. “Julian? Kenapa dia bisa ada di sini?” batinnya sembari menelan ludah yang terasa amat pahit. Sebelum air mata bertambah tebal, Mia berbalik melarikan diri. Namun, belum sempat ia melangkah, sang pria telah menahan lengannya. “Tolong dengarkan aku. Itu tidak seperti yang kau bayangkan,” ujar Julian dengan ekspresi yang sulit dideskripsikan. Pria itu sedang terimpit di antara harapan dan keputusasaan. Alih-alih menampakkan muka, sang gadis malah tertunduk menyembunyikan pandangan. “Maaf, Anda salah orang,” ucapnya dengan suara datar yang gemetar. “Berhentilah menghindar, Mia. Aku dan Katniss hanya berteman. Yang kau lihat pada malam itu—” “Anda salah orang,” tegas gadis yang kini memberani
Mengetahui bahwa Julian tidak meninggalkannya, hati Mia seketika dilanda kebingungan. Haruskah ia merasa sedih? Atau bahagia? Otaknya benar-benar tidak mampu menentukan. “Apakah kau tahu? Jam di menara ini berdentang satu menit lebih cepat daripada jam lain?” tanya Julian ketika keheningan kembali menyapa. Sadar bahwa mereka bertatapan terlalu lama, Mia sontak mengerjap. Sambil berkedip-kedip, ia kembali menatap ke luar jendela. “Dan siluetmu dari sini tampak sangat cantik,” sambung sang pria, datar. Tak sanggup mendengar suara yang menggetarkan hatinya melebihi dentang jam, Mia akhirnya bergegas menuruni tangga. Hatinya sesak berada di ruangan tertutup bersama dengan sang pria. Mengetahui bahwa dirinya sudah mengambil langkah yang salah, Julian kembali mendesah. “Seharusnya, aku diam saja,” sesalnya sebelum mengikuti jejak Mia. Dengan hati-hati, ia menuruni tangga agar tidak menakuti sang gadis. Lagi-lagi, sang CEO membuntuti sekretar
Begitu memasuki kamar, Mia langsung membuka koper dan mengambil ponsel. Tanpa berpikir panjang, ia mengaktifkan benda yang sudah dua hari dibiarkan padam. Sesaat setelah tersambung dengan internet, sebuah pesan pun muncul di layar. Dengan alis berkerut, Mia memeriksa kabar dari Gabriella. "Mia, apakah kau sudah bertemu dengan Julian? Sejak kemarin, dia tidak memberi kabar. Pesanku tidak dibalas dan teleponku tidak diangkat. Aku benar-benar khawatir. Saat berangkat, kondisinya sedang lemah." Dalam sekejap, jantung Mia berdebar cepat. Keringat dingin telah membungkus tengkuknya yang kaku. Tepat ketika ia hendak mengetik pesan balasan, sebuah panggilan video masuk. Sambil menelan ludah, gadis itu pun menggeser tombol hijau. “Mia,” sapa Gabriella sembari menggendong putranya. Sedetik kemudian, wanita itu menghela napas lega. “Akhirnya kau mengangkat telepon juga,” desahnya sembari menjaga tangan Cayden agar tidak merebut ponsel. “Ada apa, Nyonya?” tanya M
“Kenapa dia tidak mau bangun?” tanya Mia dengan alis berkerut kepada sang manajer. Tak tega melihat keresahan sang gadis, pria berpakaian rapi itu pun melangkah maju. Tanpa aba-aba, ia menjepit jempol kaki Julian dengan tangannya. Dalam sekejap, sang CEO tersentak dan menendang apa yang telah menariknya kembali dari dunia mimpi. “Engh!” erangnya sembari menarik pelupuknya. Mata yang teramat merah sontak menyapa gadis yang terbelalak tak percaya. “Tuan? Anda baik-baik saja?” desah gadis itu, membingungkan sang pria. Melihat wajah sang kekasih begitu
Begitu membuka pintu, Mia tercengang karena Julian sudah berdiri di hadapannya. Namun, selang satu embusan napas tak percaya, ia menutup pintu dan berjalan tanpa menghiraukan sang pria. “Mia, aku tahu kalau kau masih marah kepadaku. Tapi, tolong jangan menganggap kabar dari Gabriella sebagai suatu kebohongan. No Name memang sedang berkeliaran dan akan lebih aman jika kita terus bersama,” bujuk Julian sambil mengimbangi kecepatan sang gadis. Malangnya, sang sekretaris sama sekali tidak tergerak untuk menjawab. Gadis itu bahkan menganggap Julian seolah tidak ada. Ketika berhenti berjalan, ia hanya menekan tombol segitiga dan menatap pintu dengan raut datar. “Mia ...” desah pria yang tak berani menyentuh kekasihnya. Ia hanya bisa berdiri dua langkah dari sang gadis, jarak yang dianggapnya aman untuk menjaga sekaligus memberikan kebebasan. Sadar bahwa sang sekretaris tidak akan menanggapi, Julian pun mengepalkan jari. “Baiklah. Jika kau tidak mau