Atas perintah dari Marwah, Sayyidah segera membereskan tempat tidur dan membersihkan tubuhnya di kamar mandi.
"Mandi yang wangi dan pakai pakaian yang rapih, ya sayang! Biar terlihat mempesona di mata suamimu," goda Marwah dengan nada meledek.
"Apaan sih, Mah!" Sayyidah mendengus kesal dan tak berminat sama sekali untuk menuruti perintah Marwah agar berpenampilan cantik di depan Abbas.
Saat sower mengucur di kepala Sayyidah, pikirannya menerawang jauh mengingat kejadian semalam.
"Apa yang terjadi denganku? Apa aku di mangsa oleh Abbas?" batin Sayyidah, ia tak terima jika itu terjadi.Tapi seingat Sayyidah, ia hanya di tanya mengenai sekolahnya. Kemudian terlelap di pangkuan Abbas. Mungkin Abbas menggendongnya ke atas kasur sampai ia terbangun tadi.
"Ah tidak!" teriak Sayyidah. Membayangkan hal yang tidak ia harapkan. Tangannya segera menggosokan sabun keseluruh tubuh, tak ingin ada bekas sentuhan Abbas yang menempel di sana.
***
Setelah keluar dari kamar Sayyidah. Pandangan Marwah tertarik ke arah dapur yang letaknya bersebelahan dengan ruang makan.
Mata Marwah berbinar kagum melihat Abbas berdiri di depan kompor, tampak sedang memasak sesuatu.
"Loh Abbas, kamu sedang bikin apa? Memangnya kamu bisa masak?" tanya Marwah terlontar. Tidak salah memang ia memilih menantu. Sudah baik, sholeh dan pintar memasak.
"Ngga juga Tante, eh Mah maksud saya! Ini hanya telor dadar dan nasi goreng. Ayo makan, Mah!"
Tangan Abbas mengulurkan piring berisi nasi goreng yang masih mengepul, dengan telor dadar di atasnya. Dia sedikit canggung karena baru pertama kalinya memanggil Marwah—ibu mertuanya—dengan sebutan mama."Kamu jadi repot begini, harusnya mama dan Sayyidah yang bikin sarapan."
"Ngga kok, Mah." ujarnya. Melihat Marwah duduk dan mulai menyendokkan nasinya.
"Mah, Sayyidah di mana, ya?" sambung Abbas lagi. Matanya berputar ke pintu yang subuh tadi ia keluar dari sana, kamar Sayyidah.
Ia ingat dengan sedikit kesal. Bagaimana dia tidak berhasil membangunkan Sayyidah saat azan subuh berkumandang. Karena suara iqomah sudah terdengar, ia segera beranjak meninggalkan Sayyidah tanpa berhasil membangunkannya.
"Tidak lama lagi mungkin keluar, Nak!"
Tak lama berselang Sayyidah keluar dari pintu kamarnya dengan balutan kemeja panjang dan celana kulot warna cream, selaras dengan kemejanya.
Tadinya ia tak berniat menuruti kemauan Marwah untuk berpakaian rapi di depan Abbas, tetapi karena ingin pergi ke perpustakaan. Ia jadi mengurungkan niatnya memakai baju kaus oblong tadi.
"Sini sayang! Ini Abbas sudah buatkan sarapan buat kita. Harusnya kamu 'kan yang buat sarapan? Mama jadi ngga enak sama suami kamu." Tangan Marwah menarik Sayyidah untuk duduk di samping Abbas.
"Iya maaf, Mah!"
"Sayyidah telat bangun." Dengan nada menyesal. Ia merasa malu dengan Abbas, karena kebiasaan buruknya susah bangun sudah terbongkar."Ngga papa, Mah!" Abbas terlihat cemas seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Begini Mah, maaf sebelumnya sudah mengganggu makan pagi Mamah dan Sayyidah. Ada yang ingin saya sampaikan kepada Mamah dan Sayyidah jika di perkenankan."
"Memangnya ada apa, Nak?" Marwah meletakkan sendok yang gagal ia masukan isinya kedalam mulut, guna menatap Abbas dengan serius dan melihat wanita yang duduk di samping Abbas penuh tanda tanya di matanya.
"Maaf Mah! Kalau dibolehkan saya berniat untuk membawa Sayyidah tinggal bersama saya di asrama, sebab masih banyak tanggung jawab saya belajar dan mengabdikan diri kepada Abuya." Sebutan bagi pria matang yang telah membimbing Abbas selama ini.
"Sangat boleh, Nak! Dia sudah menjadi hak dan kewajiban kamu. Kalau mama boleh tau kapan rencananya kamu kembali ke asrama?" tanya Marwah.
"Insyaallah nanti sore, Mah!"
"Uhuk uhuk uhuk." Air yang di minum Sayyidah terasa berat melewati kerongkongannya. Lantaran tersentak kaget mendengar jawaban dari mulut Abbas.
"Pelan-pelan." Abbas mengulurkan kotak tissu yang tergeletak di atas meja kepada Sayyidah.
"Mulai besok saya ada tugas untuk mengajar anak-anak di yayasan Abuya, dan tugas kuliah saya masih banyak yang belum terselesaikan. Maaf ya, Mah. Kalau terkesan sangat buru-buru."
"Bukan buru-buru lagi, tetapi lebih tepatnya kamu itu memaksa!" tuding Sayyidah kepada Abbas. Ia segera beranjak dari meja makan dan berhambur keluar.
"Mau kemana Sayang? Kamu belum selesai makan. Ngga baik bersikap seperti itu kepada suami kamu!" teriak Marwah saat punggung Sayyidah belum menghilang dari balik pintu.
"Saya izin keluar dulu, Mah." Abbas berniat mengejar Sayyidah.
"Iya, Nak! Maafkan sikap anak mamah! Dia anak yang baik, tetapi sikapnya agak manja. Mama harap kamu lebih sabar ya, Nak!" Tangan kiri Marwah mengelus pundaknya.
"Insyaallah Mah! Assalamuallaikum!"
"W*'allaikumussalam."
Terlihat sosok wanita menuruni angkutan umum berwarna biru di seberang jalan. Ia bergegas membuntutinya dari belakang.
Dan sampailah di sebuah gedung. Bertengger plang bertuliskan 'perpustakaan' di depannya. Abbas segera masuk dan menyusuri setiap rak buku.
Tiba-tiba sepasang tangan menutup mata Sayyidah yang sedang celingukan mencari buku bacaan. Refleks Sayyidah menggenggam kedua tangan itu agar terlepas dari wajahnya, ia memutar tubuhnya guna melihat sang pemilik tangan.
Wajah bening dengan senyuman yang terukir menatapnya dengan hangat. Tak menunggu lama laki-laki itu segera membawa Sayyidah dalam pelukannya. Sontak kedua netra Sayyidah melotot.
"Gue kangen sama lo, akhirnya gue ketemu lo dan bisa melepas rasa kangen ini."
Hati wanita manapun akan meleleh mendapat perlakuan manis dari laki-laki setampan dirinya. Begitupun Sayyidah, jiwanya seperti di awang-awang. Sayyidah membalas pelukannya dengan erat.
***
Setelah mencari di setiap rak buku, langkah Abbas terhenti melihat pemandangan di depannya. Matanya berapi-api, tangannya mengepal meluapkan kekesalan, tetapi ia segera menarik ulur kemarahannya.
"Ehem!" Mengalihkan perilaku dua sejoli di hadapannya.
Sayyidah dan Sofyan terkejut, terlebih Sayyidah.
"Kamu?!" Sayyidah segera menarik tubuhnya dari dekapan Sofyan.
"Sayyidah, mari pulang!" ajak Abbas dengan ekspresi datar.
"Siapa dia?" Jari telunjuk Sofyan mengarah kepada Abbas.
"Ummm ... nanti gue jelasin ke lo,"
"Sofyan gue harus pulang dulu sekarang, maaf ya, gue tinggal." Sayyidah menarik tangan Abbas dan membawanya keluar.
"Siapa Sofyan?"
"Bukan urusanmu."
"Aku adalah suamimu, aku berhak tahu urusanmu. Sudah kewajibanku untuk menjagamu."
"Omong kosong." Sayyidah menatap Abbas sinis.
"Tolong maafkan aku, ikutlah tinggal bersamaku!"
“Setelah akad itu aku merasa tugas di pundaku semakin berat, karena kamu adalah amanah yang harus aku jaga di dunia ini sampai ke akhirat," balas Abbas dengan muka memelas.
Ucapan Abbas menguapkan sedikit kemarahan Sayyidah, ia merasa berempati dengannya.
***
Kedua insan itu bergegas meninggalkan perpustakaan. Mereka harus segera berkemas dan mempersiapkan diri sebelum berangkat ke asrama Abbas.
"Kenapa dia tidak mencaciku?"
"Padahal dia bisa aja mengamuk seperti di drama ketika istri ketahuan selingkuh."
Tanpa sadar matanya sudah meneliti jeli di wajah laki-laki yang sedang memperhatikan jalan itu. Wajahnya terlihat cukup manis, walaupun berkulit sawo matang. Hidungnya mancung, alisnya tebal dan terlihat bulu-bulu hitam tumbuh di ujung dagunya.
"Aduh! Kenapa aku ini? Bisa gawat kalau Abbas menyadarinya." Ia segera mengibaskan pandangan matanya dari wajah Abbas.
Selepas waktu subuh, Marwah mengantarkan kedua anaknya ke sebuah daerah yang cukup terpencil di Pasuruan, jauh dari kota Jakarta tempat tinggalnya. Marwah dan Sayyidah sangat menikmati udara segar yang mereka hirup. Sangat jauh berbeda dengan suasana kota dan polusi udara yang menyesakkan dada. Terlebih pemandangan alam pegunungan dan area pesawahan di samping asrama yang memanjakkan mata. Tak jauh dari tempat asrama yang Abbas tinggali, terlihat deretan gedung bertingkat tiga. Terdengar suara lantunan Al Quran dari sana. "Sofa sangat bijak memilih Abbas mendapatkan pendidikan di tempat ini, nyatanya tempat ini berhasil mencetak Abbas menjadi orang baik dan berakhlak." Marwah begitu iri dengan Sofa, karena ia tak bisa seperti Sofa dalam mendidik anaknya. Menyesal, tentu. Setidaknya Marwah telah memutuskan jalan hidup untuk Sayyidah saat ini. Dunia bisa di cari, tetapi akhirat siapa yang bisa menjamin bisa selamat, sedangkan kehidupan akhirat itu k
Satu bulan berlalu Sejak tinggal di asrama Abbas, Sayyidah berdaptasi banyak hal. Dengan lingkungan baru, Sayyidah 'pun harus belajar kebiasaan baru. Abbas memberikan Sayyidah beberapa potong gamis yang harus ia pakai setiap hari. Dia hanya di perbolehkan memakai celana ketika di dalam asrama atau hanya untuk daleman ketika keluar. Lingkungan Abbas yang mengedepankan nilai-nilai agama memaksa Sayyidah untuk terbiasa, tidak seperti kehidupan sebelumnya yang bebas dan tanpa batas. Pukul enam pagi Abbas telah berpakaian rapi, gamis putih panjang berkerah, di lapisi jaket hitam, sedangkan kepalanya ia hiasi dengan peci putih. Ia duduk menyuapi mulutnya dengan bantuan sendok, lidah Abbas menyecap rasa dari kuah kuning bubur ayam yang ia buat sendiri sebelumnya. Manik mata Abbas menatap Sayyidah keluar dari pintu kamar dengan muka bantal dan rambut yang acak-acakan. "Say, ayo makan!" Sayyidah tak menggubris aj
"Sudah dua hari Sayyidah mendiamkanku. Dia tak mau menatapku. Bahkan memalingkan pandangannya setiap berpapasan denganku. Bersama di bawah satu atap. Namun, rasanya seperti ada tirai yang menghalangi aku dengan istriku." "Aku sangat sedih, batinku tersiksa. Tapi aku harus lebih tabah dan sabar menghadapinya. Lagi pula tidak gampang baginya menerima segalanya dengan mudah. Ia butuh waktu dan menata hatinya." pikir Abbas dalam muhasabahnya. Saat azan subuh berkumandang, Sayyidah beranjak dari tempat tidur tanpa Abbas di sisinya. Abbas memilih tidur di perpustakaan kecil miliknya, menghindari penolakan Sayyidah yang membuat hatinya kecut.Sayyidah bergegas membersihkan tubuh dan keluar dari kamar mandi dengan gamis polos berwarna abu muda sebagai penutup tubuhnya. Ia menghadap cermin guna melihat wajahnya saat membalut pashmina plisket di kepala. Tidak ada riasan. Walaupun polos, pipi mulusnya menampilkan rona alami. Dering benda pip
Pesawat terbang meninggalkan pacuannya, air mata Sayyidah terjun bebas di pipi. "Rasanya baru sebentar,” ucap Sayyidah seraya menyeka air matanya."Semoga Mamah selamat sampai tujuan, aamiin," ucap Abbas."Aamiin.""Ayo kita balik ke asrama, Say!" Keesokan harinya Tugas Sayyidah sebagai mahasiswa mulai menumpuk. Walaupun kuliah online, tapi tugas terus berjalan. Ceklek! "Assalamuallaikum." Abbas memasuki kamar. "W*'allaikumussalam,” balas Sayyidah dengan tatapan jengah. Ia melihat jam masih menunjukkan pukul sebelas siang. Biasanya Abbas pulang sore, ini lebih awal dari biasanya. "Ada yang ketinggalan tadi pagi,” ujar Abbas lebih dulu melihat ekspresi penuh pertanyaan di wajah istrinya. Namun, sayangnya ia hanya diam seolah tak peduli.Abbas berjalan mendekati nakas.Benar saja map hijau tergeletak disana. Suara dering benda pipih di atas kasur mendorong tangan empunya untuk men
Abbas berjalan mengiringi langkah Sayyidah memasuki sebuah mall. "Bas, kamu nunggu aja, ya!" Sayyidah menghentikan langkahnya. "Ngga Sayyidah, aku mau menemanimu,” pinta Abbas. "Tapi Bas, pakaianmu ... udah ku suruh pakai celana aja, kenapa sih ngga mau?" "Ngga papa Say, aku sudah terbiasa pakai sarung, ngga biasa pakai jeans seperti yang kamu suruh. Biarin orang mau nilai aku apa, yang penting aku jadi diri sendiri." "Ish! Keras kepala amat." gerutu Sayyidah. "Dimana tempat teman kamu yang bernama Zahra?" Mengedarkan pandangannya. Merasa dirinya asing di tempat seperti ini, walaupun bukan pertama kalinya ia berkunjung ke mall. Bahkan dulu ketika libur dari pondok, uminya sering mengajaknya ke mall untuk berbelanja atau mencari kebutuhan saat persiapan berangkat ke pesantren. Sangat jarang, alasannya tentu menghindari pemandangan aurot dari wanita yang memakai pakaian kurang bahan, menurutnya.
Abbas duduk di belakang kemudi, melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Sayyidah berada di sampingnya. Keduanya diam tanpa sepatah katapun. Detik kemudian ... "Ada yang mau kamu jelasin?" tanya Abbas memecah keheningan. "Tidak ada," balas Sayyidah dengan malas. "Kalau pergi kemanapun harus tau waktu, waktunya sholat harus sholat. Jangan sampe di tinggal!" pesan Abbas, kepalanya menengok kepada lawan bicaranya. Sayyidah membuang wajahnya ke jalan, "Aku udah besar, tau mana yang benar-mana yang salah, tau depan-belakang, tau atas-bawah. Ngga usah kamu ngasih tau, aku juga sudah tau," sanggah Sayyidah dengan ketus. "Jaga pergaulan kamu Sayyidah, jangan sampe mama sedih di alam sana dengan keadaan kamu di sini!" "Aku tau," jawab Sayyidah dengan ekspresi kesal. Abbas tak lagi membalas ucapan Sayyidah. Tak ada kata maaf sama sekali dari mulutnya, setelah mengatakan Abbas sebagai sepupu di depan
Sayyidah dan Abbas masih menjalani hari-harinya di Jakarta. Demi menemani Sayyidah, Abbas rela meninggalkan tugas khidmah di ma'had dan perkuliahannya. Hati Sayyidah masih terpukul dengan kepergian Marwah, hari-harinya masih hampa tanpa semangat. Lepas sholat subuh, Sayyidah mengurungkan diri di dalam kamar. Sebagai suami, ia sendirilah yang mengerjakan pekerjaan rumah. Pukul tujuh pagi ia sudah selesai nyapu, ngepel dan menyiapkan sarapan untuknya dan Sayyidah. Ia berjalan membawakan makanan untuk Sayyidah ke dalam kamar. Tubuh Sayyidah terbungkus oleh selimut, matanya terpejam, tapi mulutnya meracau."Mah, Sayyidah kangen ... peluk Sayyidah, Mah." Bulir air matanya mengalir, Abbas yang sudah duduk di tepi ranjang di tarik oleh tangan Sayyidah dan di bawanya dalam pelukan. Kini Abbas sudah terbaring di sampingnya, kepala Sayyidah terbenam di leher Abbas, tangan kiri Sayyidah melekat di pinggangnya, sedangkan tangan kanannya meraba ba
"Terima kasih banyak Say, gue pamit dulu." "Sama-sama Zahra." Setelah cipika-cipiki, Zahra berjalan ke arah mobil yang telah terparkir.Sayyidah melambaikan tangan ketika mobil Zahra melaju pelan meninggalkan pekarangan rumahnya. Drrt ... Drrt ... Drrt ...Benda pipih yang tersimpan di saku gamisnya bergetar, segera ia buka pesan-pesan yang sedari tadi masuk. Namun, tak junjung ia buka karena asik berbincang dengan Zahra. Deretan pesan pertama muncul atas nama Sofyan dengan pesan beruntun,[Sayyidah manis][Sayyidah cantik][Sayyidah imut][gue kangen sama lo Say] pesan ke empat di iringi wajah Sofyan yang tersenyum manis di depan kamera, senyum yang bisa melelehkan siapa pun yang melihatnya. Sayyidah tersenyum simpul melihat layar andoidnya, tanpa mengalihkan pandangannya ia berjalan santai menuju kamarnya. Abbas baru saja keluar dari pintu kamar, hampir saja bertubrukan dengan Sayyida