Share

Tidak Dianggap

Jenia membuka mata lalu mengerjap berkali-kali. Matanya terasa panas. Akibat demam yang menyerang. Dia merasa heran ketika mengingat seharusnya sedang pingsan di ruang depan, bukan di kamar.

"Kenapa aku bisa pindah ke kamar? Apa Thomas yang melakukannya?" Jenia hendak duduk, tetapi rasa nyeri di kepala langsung terasa.

Jenia menghela napas sejenak. "Ini bukan pertama kalinya aku sakit. Aku pasti bisa mengurus diri sendiri."

Jenia memaksakan diri untuk berjalan ke dapur. Tertatih-tatih langkahnya. Dia harus duduk di kursi untuk mengatur napas yang terasa berat.

Jenia menahan semua keinginan untuk berbaring meringkuk di dalam selimut. Tidak ada alasan untuk mengasihani diri. Jenia harus makan dan minum obat.

Hanya ada roti yang bisa langsung dimakan. Maka Jenia menyeduh teh agar bisa langsung mengisi perutnya. Sebutir pereda demam dan sakit kepala, pun ditelan setelah perut rampingnya terisi.

Jenia merasa tenaganya terkuras banyak. Dia kembali tertatih-tatih menuju sofa. Ada ingatan menyedihkan yang mampir ketika melihat sofa itu.

Langkahnya berbalik, menuju kamar saja. Entah kenapa, Jenia merasa tersakiti dengan perlakuan buruk Thomas semalam.

Jenia menyembunyikan diri di bawah selimut. Sampai akhirnya tertidur kembali karena pengaruh obat.

Tanpa sepengetahuannya, Thomas dan keluarga sudah memutuskan sesuatu. Jenia memang tidak pernah dilibatkan dalam acara apa pun di kediaman Thomas. Bahkan nyatanya tidak dianggap.

Ketika Jenia terbangun, Thomas masih belum kembali. Namun, Jenia tak pernah diperbolehkan untuk bertanya mengenai jam kerja, sedang apa dan di mana. Thomas tak menyukainya.

"Sepertinya tubuhku sudah jauh lebih baik. Aku harus segera membersihkan rumah. Jangan sampai dia pulang dan melihat semua masih berantakan."

Jenia segera mengikat tinggi rambutnya.

Dia berubah seperti sosok yang tidak pingsan di lantai. Betapa cekatannya Jenia merapikan semuanya. Aroma sup kaldu ayam yang menguar harum pun sudah siap untuk dihidangkan.

Sayangnya, dia harus makan sendiri lagi. Karena sampai jam makan malam terlewati, masih belum ada tanda-tanda kepulangan Thomas.

Namun, begitu selesai merapikan meja makan, Thomas masuk. "Papa meninggal."

"Kapan?" Jenia sama sekali tidak diberi tahu tentang kondisi kesehatan papa mertuanya itu.

"Tadi, saat kau pingsan. Aku harus bergegas pergi mengurusinya." Datar saja nada bicara Thomas. Seperti Jenia tidak penting baginya.

Jenia memejamkan mata. Ada rasa sakit yang mungkin sudah terlalu familiar di hatinya. Namun, papa mertua tetaplah orang tua yang harus dihormati. Dan dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk memberikan penghormatan terakhir?

"Ke-kenapa tidak membawaku ke sana?" Susah payah bibir Jenia mengucapkan kalimat protes itu.

Tatapan Thomas berubah sengit. "Untuk apa membawamu ke sana? Semua orang akan mempermalukan aku di sana." Laki-laki itu menunjuk-nunjuk. "Apa kau lupa berkaca? Lihatlah penampilanmu! Kurus, kumal dan bau."

Thomas bergidik jijik sembari memindai penampilan istrinya dari ujung rambut hingga kaki. "Begitu bodohnya aku terpesona pada penampilanmu yang pintar menipu. Jalang!"

"Kalau begitu, lepaskan saja aku." Jenia menantangnya.

Seperti kesurupan, Thomas menghadiahkan tamparan keras berkali-kali ke pipi tirus Jenia. "Kau pikir kau siapa, hah? Putri Kerajaan? Kau ini hanyalah pelayanku! Kau tidak akan aku buang, sebelum aku menemukan mainan baru."

Jenia terduduk di lantai. Tubuh dan hatinya sudah terlanjur sering disakiti. Hanya kematian saja yang belum mendatanginya. Walau terkadang dia ingin sekali menjemputnya agar datang lebih awal.

"Kau tidak akan aku lepaskan semudah itu. Kau dengar aku? Aku akan menjadi mimpi dan kenyataan paling buruk untukmu!" Thomas berkacak pinggang.

Jenia hanya bisa menangis tergugu. Setiap perbuatan dan ucapan sang suami, serupa sayatan belati. Membuatnya sakit tak berperi.

"Sekarang, bereskan semua pakaian milikku. Kita akan pindah ke rumah Mama. Harus ada laki-laki pengganti sosok papa di sana."

Jenia semakin menangis membayangkan bagaimana hidupnya jika tinggal satu atap dengan ibu mertua dan adik iparnya. Kedua wanita lintas usia itu kompak menaruh benci yang begitu besar pada Jenia.

Jenia tak bisa mengatakan tetap ingin tinggal terpisah. Rumah ini walau tidak menjanjikan keamanan karena sikap kasar Thomas, tetapi masih jauh lebih baik ketimbang tinggal bersama keluarga sang suami.

Di rumah ini, Jenia bisa melakukan hobinya. Bercocok tanam di tanah belakang yang tersisa. Entah menanam bunga atau tanaman obat. Dia juga bisa memasak menu tanpa beban. Karena Thomas jarang mau makan bersamanya.

Kaki Thomas melayang ke arah paha Jenia. "Jangan melamun, Bodoh! Kau lambat seperti siput! Pergi berberes, sekarang!"

Susah payah Jenia berusaha untuk bangkit dari duduknya. Agak terseok-seok langkahnya menuju kamar. Dan dia bingung hendak memulai dari mana.

"Astaga! Kau masih saja belum melakukan apa-apa? Bawa barang seperlunya. Sisanya bisa menyusul." Thomas memberi perintah.

Jenia pun bergegas memindahkan setelan kantor yang biasa dikenakan Thomas. Lengkap dengan segala keperluan pribadi sang suami. Usai melakukannya, barulah Jenia mengepak barang ala kadar yang dimilikinya.

Hanya satu tas ukuran sedang. Sementara milik Thomas, dua koper besar. Ketika suaminya kembali ke kamar, hanya tatapan datar yang diberikan atas upaya Jenia itu.

"Karena rumah ini akan kosong untuk sementara, kau tetap harus datang mengurusi semuanya. Setelah urusanmu di rumah Mama selesai. Kau paham?" Thomas berkata ketus.

'Astaga, aku jadi pembantu di dua rumah?' Jenia bergidik ngeri.

"Kenapa wajahmu tampak tak senang begitu?!" Thomas menghardik.

Jenia menelan ludah. "Kau tau aku tak punya uang pegangan. Bagaimana bisa aku berpindah ke dua tempat tanpa uang ongkos?"

Thomas mendengkus keras. "Kau memang sangat menyusahkan! Nanti aku beri kau uang tambahan."

Melihat Jenia menganggukkan kepala, Thomas menggeleng cepat. "Giliran tentang uang, cepat sekali otakmu mencerna. Selebihnya, kau tak pernah bisa diharapkan!"

Usai berkata sangat ketus, laki-laki itu beranjak pergi. Baru saja mencapai bingkai pintu, Thomas berbalik. "Kau menyiapkan makanan apa untukku?"

Jenia gelagapan. "Emh, itu ... maaf, aku tak masak apa pun hari ini."

Thomas langsung berkacak pinggang. "Jenia! Bisakah sehari saja kau tak membuatku kesal? Kau benar-benar keledai!"

Mata Jenia berkaca-kaca. Lagi-lagi hanya bisa ditelannya semua penghinaan itu. Hukuman yang diterima selama ini, tenyata masih belum cukup untuk menebus semua kesalahannya di awal pernikahan mereka.

"Air mata palsu! Jangan tunjukkan muka memelas dan sok sedih di hadapanku! Aku jijik melihatnya. Kau tampak semakin jelek." Thomas bergidik jijik.

Jenia cepat-cepat mengusap air mata yang tak bisa lagi dibendung. Bukan hanya satu kali, sepertinya dia sudah terlalu sering berandai-andai. Jika mengetahui sikap Thomas akan berbalik 360 derajat seperti ini, tak akan sudi diterimanya ajakan untuk menikah.

"Aku lapar! Bawa keluar semua barang bawaan itu. Sekarang juga kita ke rumah Mama. Di sana pasti sudah ada makanan yang enak. Tidak seperti masakanmu!" Lagi-lagi Thomas menggoreskan luka di hati Jenia.

"I-iya. Tunggu sebentar." Jenia ingin menarik kedua koper itu secara bersamaan, tetapi tenaganya tidak cukup kuat.

Tubuh Jenia belum pulih sepenuhnya. Dia hanya memaksakan diri saja agar tak tampak lemah dan menyusahkan. Seperti makian yang setiap hati kenyang ditelannya dari sang suami.

Thomas malah tidak peduli berapa kali Jenia mondar-mandir membawakan barang. Laki-laki itu malah asyik tertawa di ponsel dalam kondisi mobil yang sudah menyala.

"Iya. Aku pulang ke rumah Mama. Selamat malam. Mimpi indah, ya." Thomas berucap begitu santai, tak peduli Jenia sudah duduk di sebelahnya.

Jenia yang sudah enggan mendengar caci maki dan hinaan itu, tak ingin peduli siapa yang dihubungi Thomas. Jenia malah dengan sengaja memejamkan mata.

Thomas mengernyit. 'Kenapa dia sama sekali tidak cemburu?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status