“Sekali lagi saya ingatkan, jangan perlakukan Gilang dengan istimewa,” pesan Adi saat berhenti di depan meja Kiya. “Gilang Mahardika bukan anak pemilik Jurnal, dan dia di sini CUMA karyawan biasa. Tiga bulan bulan pertama, anggap dia anak magang dan jangan mau diperintah sama dia. Paham, Kiya?”
Kiya yang sudah berdiri dari kursinya segera mengangguk. “Baik, Pak.”
“Pagi semuaaa.” Elok menahan tawa saat melihat Gilang berdiri di balik mejanya. Ia menghampiri sang adik, lalu berdiri di sebelah Gilang dan merangkulnya. “CEO, kan?” bisiknya di telinga Gilang, sambil menepuk keras dada pria itu. “Semangat!”
Hanya itu, kemudian Elok melepas tawa sambil berlalu menuju ruangannya. Sekilas, Elok memberi anggukan formal pada Adi, tetapi tidak berniat berhenti melangkah ataupun menegur sang papa.
Sementara Gilang, spontan memegang dadanya yang nyeri karena ulah Elok barusan. Akhirnya, daripada harus kembali mengurus Event Organizer miliknya, Gilang memilih menjadi asisten Kiya. Bersabar selama satu tahun, agar bisa masuk ke jajaran direksi Jurnal.
Di samping itu, ada alasan lain yang membuat Gilang tidak ingin lagi mengurus Event Organizer besutannya itu. Gilang merasa tidak nyaman bila harus berbaur dengan orang banyak, sementara kondisinya sudah tidak seperti dulu kala. Gilang harus memupuk rasa percaya dirinya, dan harus bisa mengontrol emosinya seperti saran Elok.
Setelah melihat putrinya masuk ke dalam ruangan, Adi kembali fokus pada Kiya. “Satu lagi, Ki, kalau Gilang berani ngasih perintah ke kamu, atau dia ogah-ogahan menjalankan tugasnya, langsung laporkan ke saya.”
Kiya menahan senyum. Menggigit pipi bagian dalamnya sembari mengangguk. “Baik, Pak.”
“Dengar itu, Lang!” tunjuk Adi pada putranya dengan tegas. “Nasibmu satu tahun ke depan, ada di tangan Kiya. Jadi, jaga juga attitudemu baik-baik, karena itu termasuk penilaian yang harus saya evaluasi ke depannya.”
“Siap, Pak!” angguk Gilang sudah tidak bisa mundur lagi. Demi mendapatkan posisi Elok, ia harus bisa menunjukkan kemampuannya di depan sang papa dan anggota dewan direksi yang lainnya.
“Hm!” Adi balas mengangguk, lalu bergegas pergi ke dalam ruangannya.
Setelah Adi tenggelam di dalam ruangannya, Kiya segera mengambil berkas yang ada di meja lalu menyerahkannya pada Gilang. Meja mereka bersebelahan dan tanpa batas, hingga Kiya bisa langsung menyorkan berkas tersebut di depan Gilang.
“Mas, ini berkas titipan dari bu Riris,” ucap Kiya seraya menggese kursi berodanya ke arah Gilang. “Semua job desk beliau sudah ada di sini semua. Silakan dipelajari, kalau sudah selesai, Mas Gilang bisa tanyakan yang sekiranya belum dipahami.”
Sebenarnya, ada rasa kesal yang memuncak saat Gilang harus pasrah berada di bawah Kiya. Ia yang terbiasa memerintah gadis itu, kini harus merasakan situasi yang sebaliknya. “\
“Enak banget hidup lo.” Gilang meraih berkas yang diberikan Kiya, lalu membukanya. “Modal bohong dan pasang muka lugu, langsung dapat jabatan jadi sekretaris eksekutif di Jurnal. Bu Riris yang sudah bertahun-tahun di sini, lo depak begitu aja.”
Andai bukan anak dari pemilik Jurnal, Kiya pasti sudah melayangkan sepatunya ke mulut Gilang. Namun, hal itu tidak mungkin dilakukannya. “Justru jabatan bu Riris sekarang lebih tinggi. Beliau jadi kepala sekretariat dan kerjanya mantau kinerja kita-kita yang ada di divisi—“
“Gue ngerti.” Tidak perlu dijelaskan panjang lebar, Gilang juga sudah tahu tugas dari kepala kesekretariatan di Jurnal. Gilang juga sudah tahu semua tugas masih-masing jabatan yang ada di Jurnal. Namun, yang Gilang tidak tahu ialah masalah yang kerap dihadapi, dan bagaimana harus mencari solusi terbaiknya.
Kiya menghela dan berusaha sabar. Bayaran yang diterimanya setiap bulan, cukup sepadan jika hanya harus dihadapkan dengan Gilang. Ia lantas memundurkan kursi berodanya, dan kembali ke tempat semula. Kiya memilih diam, daripada harus meladeni Gilang yang cukup tempramental.
“Oia, Mas, satu lagi.” Kiya menoleh pada Gilang, karena ada hal yang baru disampaikan Elok di telepon pagi tadi. “Mas Gilang di sini memang asisten saya, tapi, tugas pokok dan tanggung jawab Mas Gilang itu langsung ke bu Elok. Sementara pak Adi, saya yang handle.”
“Oke.”
~~~~
“Mas Gilang mau makan siang ke kantin, atau—”
“Gue makan di ruangan mbak Elok.”
“Bu Elok,” sambar Adi baru keluar dari ruangannya, lalu berhenti di samping meja Kiya. “Saya mau keluar, dan nggak balik kantor lagi karena ada pertemuan di kantor PWI. Semua jadwal saya hari ini dihandle bu Elok.”
“Baik, Pak.”
Adi berjalan ke meja Gilang dan berhenti di hadapan putranya. “Kalau sudah selesai makan siang, dan masih jam istirahat, pergilah keliling gedung. Lakukan pendekatan dengan semua divisi yang ada di kantor. Biar kamu tahu dan semakin paham dengan masalah yang selalu kita hadapi.”
“Baik, Pak.” Gilang mengangguk pelan, penuh keraguan. Namun, ia tidak bisa membantah karena ucapan Adi memang ada benarnya. Untuk menjadi pemimpin, Gilang harus merangkul semua bawahannya, dan memahami masalah yang mereka hadapi.
Akan tetapi … Gilang mendadak merasa rendah diri bila harus berjalan dan menemui semua orang yang ada di dalam Jurnal. Apa yang akan mereka katakan di belakang, bila melihat Gilang yang sekarang?
“Oke, saya tinggal.”
Kiya dan Gilang sama-sama mengangguk, kemudian kembali menyelesaikan pekerjaan mereka masing-masing.
“Mas Gilang kalau mau istirahat, telpon bagian FO dulu,” ujar Kiya sembari merapikan berkas di mejanya. “Biar mereka yang handle telpon, selama kita istirahat.”
“Hm.” Gilang menoleh. Melihat Kiya sudah membawa dompet dan ponsel dalam satu genggaman. “Lo sendiri nggak nelpon FO?”
“Saya sudah kirim pesan barusan.” Kiya beranjak pergi menuju ruangan Elok, dan mengetuk pintu yang terbuka terlebih dahulu. “Bu El, mau keluar atau makan di sini?”
“Keluar, tapi tunggu suami saya dulu,” ujar Elok kemudian beranjak dari tempatnya dan menghampiri Kiya yang berdiri di ambang pintu. “Lagi otewe. Kamu kalau mau makan, duluan aja.”
Kiya spontan bergeser, untuk memberikan jalan pada Elok. “Saya sekalian izin ke bank sebentar, Bu. kartu ATM saya ketelen.”
“Oke, hati-hati di jalan.”
“Iya, Bu, makasih.”
“Hm.” Melihat Gilang masih berkutat dengan layar komputernya, Elok segera menghampiri sang adik. Ia duduk pada kursi Kiya dengan perlahan, lalu menggesernya ke arah Gilang. “Gimana?”
“Ya begitu, mau bagaimana lagi,” sahut Gilang sewot. “Yang benar aja, aku dianggap anak magang di sini sama papa. Sementara Kiya, bisa-bisanya jadi atasanku.”
“Lang, hubunganmu sama Kiya itu sebenarnya bagaimana, sih?” Elok sedikit meringis, saat satu tendangan keras menimpa perut bawahnya. “Sabar bentar, ayah masih dijalan,” ucapnya sambil mengusap-usap perut yang sudah cukup besar.
“Mbak.” Gilang menghempas berkasnya, lalu berputar agar bisa fokus menatap Elok. “Selama Kiya kerja, apa nggak pernah dia kelihatan aneh?”
“Aneh gimana?”
“Gini, gini, waktu dia ngelamar kerja duluuu.” Gilang berdecak, karena masih banyak keraguan di hatinya. “Mbak pernah ketemu keluarga Kiya?”
Elok menggeleng. “Kiya itu … dia nggak pernah mencampuradukkan urusan kerja dan pribadi. Dia juga nggak pernah ngeluh masalah keluarganya, dan nggak pernah juga cerita banyak. Tapi, aku tahu kalau papanya sudah nggak ada dan dia cuma tinggal sama ibunya.”
“Mbak, Kiya selama ini sudah bohongin kita.” Tidak bisa menyimpan rahasia terlalu lama seorang diri, akhirnya Gilang mengatakan semua hal yang sudah terjadi di antara mereka.
“Kiya … sudah punya suami sama anak? Delapan tahun?” Elok tertawa datar, dan masih tidak bisa percaya. Namun, dari wajah Gilang yang serius itu, adiknya tidak mungkin berbohong.
“Suaminya … kerja di mana?”
“Ngapain aku tanya sampai ke sana,” jawab Gilang dengan intonasi yang semakin meninggi. “Yang jelas, Kiya itu nggak jujur dan sudah bohongin kita selama ini. Dia bisa ngelakuin apapun demi uang. Mbak nggak khawatir kalau dia sampai bocorin rahasia perusahaan ke pihak pesaing? Apalagi sekarang jabatannya sudah jadi sekretaris papa. Jadi, lebih pecat aja, daripada ada masalah belakangan nanti.
Kiya menelan ludah. Menatap Adi dan Elok yang berada di depannya secara bergantian. Kemudian, ia tertunduk dan menghela panjang karena memikirkan nasibnya saat ini. Gilang sungguh keterlaluan, karena sudah membongkar rahasia yang selama ini Kiya simpan rapat-rapat. Hanya satu harapan Kiya saat ini, jangan sampai kedua orang itu memecatnya. Banyak hal yang belum Kiya selesaikan, termasuk biaya sekolah Duta yang memang tidak murah. Karena ingin memberi semua yang terbaik, maka Kiya juga menyekolahkan putranya di tempat yang terbaik pula. “Jadi Ki, saya mau dengar semuanya dari mulut kamu sendiri,” pinta Elok. “Pak Adi dan saya di sini, sudah nganggap kamu itu seperti keluarga sendiri, jadi, ceritakan semuanya dan nggak perlu sungkat.” “Dan jangan ada lagi yang ditutupi,” tambah Adi bersedekap tegak menatap Kiya. Sulit dipercaya, bila Kiya memang benar sudah memiliki suami dan seorang putra. Bahkan, usia putranya lebih tua satu tahun daripada Kasih. Sementara itu, selama ini Kiya sela
Gilang menutup pintu ruangan Elok dengan kasar, sehingga membuat sang kakak yang baru saja duduk di kursinya kembali berdiri dan menghardik pria itu.“Apa-apaan, sih, Lang!” Elok menghela panjang, sambil mengusap perutnya dengan kedua tangan. “Belum waktunya lahiran, aku sudah brojol duluan gara-gara kamu!” “Itu!” Gilang menghampiri Elok, sembari mengarahkan telunjuk ke arah luar ruangan. “Si Kiya itu makin besar kepala gara-gara papa nggak mecat dia!”“Lang.” Elok membuang napas kecil, lalu kembali duduk di kursinya. Ia bersandar pelan, kemudian menyalakan perangkat komputer di mejanya. “Setelah aku sama papa ngobrol empat mata, yang bermasalah di sini itu sebenarnya kamu, bukan Kiya.”“Aku?” Gilang menunjuk wajahnya sendiri. Ia menarik kursi yang berseberangan dengan Elok, kemudian menghempas kasar tubuhnya di sana. “Aku nggak ada masalah, Mbak. Tapi Kiya sudah bohongin keluarga kita selama ini.”“Dan dia punya alasan untuk itu.” Elok berusaha sabar, kerena sudah membahas permasala
“Siang, Pak Pemred,” sapa Elok menghampiri Bumi lalu mengulurkan tangan lebih dulu. “Lama kita nggak bersua, ya! Apa kabar? Antariksa baik, kan? Pak Dewa gimana? Galak, nggak?”Bumi segera berdiri, lalu menyambut jabat tangan Elok dengan suka Cita. Ia juga memberi kekehan, karena Elok langsung mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. “Lebih galak dari Bu Elok.”Elok tertawa kecil, lalu mempersilakan Bumi untuk duduk kembali. Ia melihat secangkir kopi yang sudah ada di hadapan, dan tersenyum. Satu langkah kecil ini, bisa membuat Gilang sedikit menurunkan egonya di hadapan semua orang.“Tapi bukan pak Dewa yang ngurus Antariksa, Bu,” lanjut Bumi seraya duduk dengan perlahan. “Pak Reno! Kabar awalnya bu Rindu yang diminta masuk Antariksa, tapi beliau nggak mau karena sibuk ngurus anak sama kuliah.”“Ah! Ya, ya, ya.” Elok jadi memikirkan permintaan Lex untuk berhenti bekerja, setelah anak mereka lahir nantinya. Namun, Elok masih bernegosiasi agar bisa tetap bekerja membantu sang papa di Ju
“Sore Pak Lex,” sapa Kiya yang baru saja berdiri dan hendak pergi ke ruangan Adi. Ia melihat Lex berjalan menuju mejanya, dan memberi anggukan singkat pada saat Kiya menyapanya.“Sore, Ki.” Lex membalas saat sudah berhenti di depan meja Kiya. Ia tersenyum kecil pada Gilang, lalu ikut menyapanya. “Sehat, Lang?”“Sehat, Mas.” Gilang balas tersenyum dan menyapa, sembari membereskan barang-barang di mejanya. Ia melirik sejenak pada Kiya, yang selalu saja terlihat memiliki energi lebih untuk menghadapi semua hal.“Bu El, ada di ruangan pak Adi,” kata Kiya setelah mendengar Gilang membalas sapaan Lex. “Biar saya panggilkan sebentar dan silakan menunggu di ruangan bu Elok.” Kiya mempersilakan Lex masuk ke ruangan istrinya, dan membukakan pintu terlebih dahulu. “Silakan, Pak.”“Terima kasih.” Lex mengangguk dan segera pergi menuju ruangan Elok, setelah kembali menegur adik iparnya.Kiya berbalik, dan segera pergi ke ruangan Adi. Mengetuk pintunya dua kali, kemudian masuk dan menghampiri kedua
“Apa-apaan ini?” Langkah Adi terhenti saat hendak menyeberang ke ruangan Elok. Ia memutar tubuh, lalu menghampiri Kiya yang mematung dan masih berjongkok di hadapan Gilang. Adi tidak meninggikan nada bicaranya. Ia hanya penasaran, apa yang Kiya lakukan sambil berjongkok di hadapan putranya.Mereka tidak mungkin berbuat hal yang bukan-bukan, karena posisi Kiya dan Gilang sangat terbuka. Namun, tetapi saja semua itu membuat rasa penasaran Adi tergelitik.“Kakinya Mas Gilang kambuh lagi, Pak,” lapor Kiya akhirnya membuka mulut. “Harusnya, Mas Gilang itu masih tetap terapi.”“Skala sakit, Lang?” tanya Adi berusaha tidak memperlihatkan kekhawatirannya, karena ia tahu benag Gilang tidak suka dikasihani. “Dari satu sampai sepuluh.”“Lima … enam.”Adi menghela, lalu melihat Kiya yang membuka kaos kaki Gilang. “Kiya, berhenti. Kamu bukan perawat Gilang, dan biarkan dia lakukan itu sendiri.”“Oh …” Mendadak, Kiya jadi serba salah. Namun, ia tetap melepas kaos kaki Gilang lalu meletakkannya di d
“Sudah lihat semua foto dan dokumennya?” tanya Lex kemudian berdiri dari kursinya, dan mempersilakan sang istri duduk di tempat tersebut. Lex mengambil kursi meja rias Elok, lalu meletakkannya di samping Elok. Mereka melihat layar laptop berdua, dan membaca lagi dokumen yang ada di flash disk yang diberikan Bumi.“Aku baru sempat lihat foto-fotonya, tapi belum sempat baca dokumennya.” Elok menoleh pada Lex, yang tetap lurus melihat layar dengan serius. Suaminya itu, memang tidak bisa dipancing jika sedang serius seperti sekarang. Padahal, Elok sudah mengenakan slip dress dan sengaja menurunkan satu tali spaghettinya dari bahu, tetapi Lex tetap saja sibuk membaca dokumen di depan mata. Belum lagi, Elok juga sudah memakai wewangian dengan aroma yang lembut, tetapi Lex …“Kamu sempat tanya siapa suami Kiya?” tanya Lex sembari menurunkan dokumen di layar, sedikit demi sedikit.“Nggak.” Elok meraih lengan kiri sang suami lalu memeluknya. “Tapi, sepertinya teman SMA-nya. Karena, mereka nika
“Beneran, aku boleh ikut Bunda?”Ini sudah kesekian kalinya Duta bertanya hal yang sama pada Kiya. Sejak bangun tidur, Duta kerap mengajukan pertanyaan tersebut, untuk meyakinkan diri, semua yang didengarnya kemarin malam bukanlah sebuah mimpi.“Boleh,” angguk Kiya seraya mengangkat bakwan sayur yang sudah matang dari penggorengan. “Makanya buruan mandi, sarapan, baru ikut Bunda ke kantor sebentar. Habis itu, kita ke hotel!”“Waaah!” Duta masih saja tidak bisa memercayainya. Setelah sekian lama, akhirnya sang bunda mengajaknya pergi mengunjungi kantor tempatnya bekerja. Selama ini, Duta hanya mendengar gambaran tempat kerja Kiya dari sang nenek. Sebuah gedung yang tingginya mengalahkan mall, sama seperti yang sering duta lihat setiap berangkat sekolah. “Kita ke hotel juga!”“Iya, makanya buruan mandi,” titah Kiya lalu mematikan kompornya dan berbalik. “Bunda nggak mau kejebak macet.”“Siiiap!” seru Duta sambil berlari ke kamar mandi.“Beneran nggak papa, kamu bawa Duta ke kantor, Ki?”
“Kita ketemu lagi.” Gilang menghampiri bocah, yang beberapa waktu lalu datang bersama Kiya. Rupa-rupanya, Kiya mulai menunjukkan jati dirinya dan tidak lagi menutupi identitasnya. Duta memandang Gilang dari ujung rambut, hingga kaki. Pria itu terlihat rapi dan lebih bersih, dibandingkan dengan pertemuan pertama mereka di mall. Namun, hanya satu yang tidak berubah, penampilan Gilang tetap terlihat mahal. Sama seperti para orang tua wali murid, yang terkadang ikut mengantar jemput teman-teman Duta di sekolah. “Om Gilang kenapa pake tongkat?” tanya Duta baru menyadari hal tersebut, saat Gilang berjalan ke arahnya. Ketika Duta baru datang dan menyalami Gilang beberapa waktu yang lalu, ia tidak menyadari ada tongkat di sekitar pria itu. Mungkin karena Gilang tengah duduk, sehingga membuat Duta tidak melihat tongkat tersebut. “Kakiku sakit,” ucap Gilang lalu duduk perlahan di sebelah Duta. Ia menatap Kiya, yang tengah bicara dengan salah satu karyawan hotel, sisi ruang yang berbeda. “Ayah