“Bun, aku gugup!” Kiya sudah berulang kali menarik napas panjang, dan membuangnya dengan perlahan. Namun, hal yang dilakukannya tersebut, tidak kunjung membuat debaran jantungnya kembali berdetak dengan normal. Kedua telapak tangannya masih juga terasa dingin, dan tidak ada hal yang bisa membuat Kiya tenang seperti biasanya. Raissa segera mengambilkan air mineral yang tersedia di meja bar, lalu membukanya sembari menghampiri Kiya. Ia menyerahkannya pada Kiya, lalu duduk di samping putrinya di tepi tempat tidur. “Habis ijab kabul, gugupnya pasti hilang.”Kiya segera meneguk air mineral dari Raissa, tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama saja. Jantung Kiya masih deg-degan tidak karuan, perutnya terasa mulas, ia juga merasakan tremor yang tidak kunjung reda, dan semua itu terasa menyebalkan. Belum lagi, Kiya masih saja memikirkan masalah Garry dan almarhum ayahnya yang belum mendapatkan kejelasan sama sekali. Garry tidak bisa dihubungi, karena pria itu tidak kunjung meneri
“Mati, kan!” Awan menarik cepat, ponsel dari genggaman Duta karena gilirannya bermain game online akhirnya tiba. Tidak terlalu lama baginya menunggu giliran, karena Duta benar-benar tidak mahir melakukan permainan battle royale.“Dasar nggak sopan.” Kasih tiba-tiba menepuk dahi Awan, karena selalu saja berbuat sesukanya. Sejak tadi, mulut Awan itu terus saja berisik dan mengomentari permainan Duta “Kalau hapenya Nando jatoh, terus rusak, gimana!”“Apa sih!” Awan menendang pelan kaki Kasih yang berdiri di depannya, tetapi fokusnya tetap tertuju pada layar ponsel yang sedang ia pegang. “Kalau rusak, tinggal beli lagi. Nando banyak uang! Iya, kan, Ndo!”Nando yang duduk di samping Duta, hanya meringis sembari menggaruk kepala. Sejak tadi, ia cukup pusing mendengar Kasih dan Awan selalu saja meributkan sesuatu. Padahal, ketika tidak ada Awan bersama mereka, suasana taman benar-benar tenang.“Iya, Nando, banyak uang,” timpal Duta membenarkan. Karena ia tahu, ayah dan ibu Nando merupakan pe
Sambil terus berjalan, Duta menoleh ke arah koridor yang baru ditinggalkannya. Ia menggaruk kepala, lalu melihat satu tangannya yang berada di gandengan Garry. Bukankah, seharusnya mereka tidak melewati koridor sama sekali?Jika ingin menemui Kiya, Garry seharusnya pergi menuju lift yang berada tidak jauh dari restoran. Namun, mengapa ayahnya justru mengajak Duta ke lobi?“Ayah, aku tahu kamarnya bunda.” Duta sempat mengira, Garry sudah tahu di mana kamar Kiya saat ini. Namun, ketika mereka berjalan ke arah yang berlawanan, di situlah Duta mulai kebingungan. “Kita harus naik lift dulu.”“Nggak perlu,” kata Garry lalu menoleh pada Duta dengan senyuman hangat. “Nanti bunda pasti nyusul kita.”“Tapi, bunda, kan, mau nikah bentar lagi, Yah?” Duta semakin bingung, karena ucapan Garry kini berubah. Yang tadinya mengatakan, mereka akan bertemu Kiya dan bertanya tentang kepergian ke Kalimantan. Saat ini, Garry mengatakan Kiya pasti menyusul mereka. “Kalau kita nggak datangin bunda sekarang, b
“Berhenti di situ, Garry.”“Om Lex!” Duta terpaku di tempat, dan tidak jadi masuk ke dalam mobil yang pintunya baru saja dibuka oleh Garry. Dari wajah dingin Lex, Duta bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa.“Siapa tadi?” tanya Garry segera meraih pergelangan tangan Duta, karena merasa terintimidasi dengan kehadiran pria asing yang mengenalnya. Garry menelisik wajah pria itu dengan cermat, dan ia yakin tidak pernah bertemu, atau mengenalnya sama sekali. Lantas, bagaimana bisa pria itu mengenali Garry?“Om Lex, masnya, om Gilang.” Karena Gilang selalu memanggil Lex dengan sebutan mas, maka Duta pun menyimpulkan hal tersebut.Garry menelan ludah, karena kali ini rencananya sudah pasti berantakan dan bubar jalan. Terlebih, ada dua orang security yang saat ini berdiri dan mengapit pria itu.“Duta, kemari,” panggil Lex sembari menyunggingkan senyum tipisnya.“Duta, ayo masuk dulu,” titah Garry agak memaksa, sembari memegang kedua lengan Duta.“Garry, saya Lex, pengacara keluarga Antasena
Kiya memeluk Duta, setelah putranya menceritakan semua hal yang terjadi menurut versinya. Sementara itu, Kiya juga sudah mendengar penjelasan dari Gilang, serta Elok sebelum ia bertemu Duta di kamar Raissa.Hari pernikahan yang seharusnya berjalan dengan suka cita, mendadak menjadi runyam karena kehadiran Garry. Kiya tidak tahu lagi, apa jadinya bila Kasih terlambat memberi tahu Elok, dan Lex terlambat bertindak untuk mencegah semuanya. Pernikahannya dengan Gilang hari ini, pasti tidak akan terlaksana, dan Kiya pasti akan semakin serba salah bila Duta sudah berada di tangan Garry.Kiya yakin, Garry sebenarnya ingin membawa Duta pergi ke Kalimantan bersamanya.“Nanti, Duta telpon ayah, ya.” Bagaimanapun juga, Kiya tetap tidak ingin hubungan Garry dan Duta merenggang, karena adanya masalah ini. Namun, mulai saat ini Kiya harus lebih waspada lagi, agar Garry tidak lagi mengambil Duta secara tiba-tiba seperti tadi.Duta mengangguk di pelukan Kiya. Ternyata, bundanya sudah resmi menikah de
“Duta aman, kan?” Kiya kembali mempertanyakan hal tersebut, karena khawatir kejadian pagi tadi akan terulang kembali. Meskipun rasanya tidak mungkin karena Gilang dan Lex telah mengatur dan mengantisipasi semua hal, tetapi hati Kiya tetap saja belum bisa tenang. Terlebih lagi, karena Garry sama sekali tidak bisa dihubungi sejak siang tadi. Ponsel pria itu aktif, tetapi tidak mau menerima panggilan dari Kiya. Walaupun, ia sudah mengirim pesan, yang menelepon adalah Duta, bukan Kiya. “Mas!” “Hah? Apa?” Gilang tidak fokus. Sejak tadi, Gilang menatap Kiya yang terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin yang menutup semua bagian tubuhnya. Gilang tidak terlalu paham dengan jenis-jenis gaun pengantin, tetapi gaun pilihan Kiya sungguh membuat gadis itu semakin anggun. “Duta aman, kan, Mas?” Kiya masih berdiri di samping jendela kaca, setelah sesi foto dan shooting untuk video dokumentasi pernikahan mereka. Mereka hanya tinggal menunggu salah satu pegawai wedding organizer datang, dan mem
“Untung besok masih cuti.” Tangan kiri Gilang memeluk Kiya dari belakang, sementara tangan kanannya tengah memegang secangkir kopi. Mereka berdiri di balkon kamar, sembari menatap hamparan kota yang disinari matahari setelah sarapan pagi.“Tapi, besok sudah pulang ke rumah.” Kiya menyandarkan kepalanya di dada Gilang, yang baru saja mendekapnya. Sampai detik ini, pikiran Kiya masih saja terpecah dengan masalah Garry. Apa yang dilakukan pria itu sekarang? Apa Garry baik-baik saja?“Kenapa? Mau lanjut cuti lagi?”“Bukan.” Kiya terkekeh pelan, sambil mengangkat wajahnya untuk menatap Gilang. “Aku lagi mikirin bunda yang tinggal sendirian.”Gilang menghela panjang, setelah menyesap kopinya. “Kamu minggu depan sudah nggak kerja, kan? Habis antar Duta sekolah, bisalah pulang ke rumah nemani bunda.”“Ah … itu dia.” Gantian Kiya yang menghela. Ia menegakkan tubuh, kemudian berbalik dan bersandar pada pagar balkon. Gilang benar, setelah mengantar Duta ke sekolah, Kiya bisa pergi ke rumahnya. N
Kiya tercengang, ketika memasuki kamar lama Gilang yang berada di lantai dua. Sebelumnya, Kiya memang pernah memasuki kamar tersebut ketika menjadi asisten pribadi Gilang, dan itu sudah cukup lama. Sekarang, kamar tersebut sudah resmi ditempati Duta dan sudah ditata sedemikian rupa. Dari warna cat dinding yang tampak lebih ceria, karpet, tempat tidur, dan beberapa furniture untuk menunjang semua keperluan Duta. Ini semua seperti mimpi. Satu kali pun, Kiya tidak pernah menduga akan mendapatkan seseorang yang benar-benar memperlakukannya dan Duta dengan istimewa. Siapa yang pernah menduga, jika buaya seperti Gilang akan menambatkan hati pada Kiya dan bisa menerima semua yang ada pada dirinya, termasuk Duta.“Nggak takut, kan, tidur di sini sendirian?” Kiya merebahkan diri dengan perlahan di tempat tidur dengan ukuran queen. Tempat tidur baru, yang memang dibelikan khusus untuk Duta. Padahal, tempat tidur milik Gilang dahulu kala juga masih bagus dan masih bisa digunakan. Namun, tetap s