“Pagi, Pak Badai.”
“Pagi, Bu….” Saat Badai mendongak, ia tak menyangka kalau orang yang ia temui pertama di ruang meeting Sadira Group adalah Padma. “Pagi, Bu Padma. Mau kopi?”
Padma menatap paper cup berlogo Starbucks yang dipegang Badai. Paper cup itu berukuran venti, ukuran gelas paling besar yang dimiliki gerai berlogo duyung hijau tersebut.
Dari aromanya, Padma bisa menilai kalau kopi itu cukup kuat dengan tambahan one shot espresso (atau mungkin juga lebih).
“No, thanks.” Padma tersenyum. Kemudian ia kembali menatap laptopnya untuk mempelajari bahan meeting hari ini.
“Dai, apa kamu masih mengingat Padma sampai saat ini?”Badai baru saja duduk di tepi ranjang kamar Angkasa Nirada Tanaka—anaknya dengan Anastasya—ketika Anastasya masuk dan bertanya hal itu padanya.Lelaki itu tak langsung menjawab. Ia benar-benar lelah. Begitu sampai rumah, Asa sudah menangis dan baru diam ketika ia menggendongnya—tentu setelah ia mandi dengan kilat dan berganti pakaian.Baru saja Asa tertidur dan ia bisa merebahkan tubuhnya di kamar Asa, Anastasya sudah melanggar peraturan yang dulu mereka setujui.Menyebut nama Padma.“Aku nggak amnesia, tentu masih ingat dia.”“Maksudku dalam konteks romantis.” Anastasya duduk di sampin
“Kupikir kamu keberatan datang ke sini.”“Keberatan kenapa?”“Karena tempat ini punya mantan tunanganmu.”Padma tertawa seraya menggeleng mendengar ucapan Catra Kamandaru. Mereka masuk ke The Clouds dan lelaki itu langsung menggandeng tangannya agar ia tak terbawa arus gerombolan orang yang suka berjalan sembrono, atau digoda oleh laki-laki hidung belang.“Aku nggak sesentimental itu.”Bohong, ledek satu sisi diri Padma yang lainnya. Tapi ia membiarkan saja dirinya menjawab seperti itu di depan Catra.“Wow, hebat juga.” Catra mengerling jahil pada Padma. “Mungkin itu yang bikin aku suka sama kamu.”
“Kupikir kamu nggak mau dateng.”Komentar Arsa membuat Padma mencebikkan bibirnya. “Aku nggak secupu itu.”“Aku ngeliat kamu nangis di perpustakaan pas nggak sengaja liat undangan pernikahanmu dan Badai dulu,” lanjut Arsa dengan tidak tahu dirinya. “Malam-malam dan nggak cuma sekali sejak aku pulang ke sini. Kupikir kamu udah bakar semuanya.”Padma tertegun mendengar kata-kata Arsa yang terlampau jujur. Arsa baru pulang sejak Senin lalu—Padma bahkan tak tahu kenapa tiba-tiba adiknya pulang.Karena kamarnya bersebelahan dengan Arsa dan tak cukup kedap suara, Padma sering menyendiri ke perpustakaan di lantai satu rumahnya kalau
Badai Tanaka: Maaf untuk kejadian kemarin, Padma. Aku minta maaf atas nama Anastasya.Padma menatap layar ponselnya yang menunjukkan pesan dari Badai. Dikirim semalam, tapi Padma belum membalasnya sampai saat ini. Ia masih memikirkan kalimat yang tepat selain kata ya.“Kamu udah bawa semuanya?” Suara Arsa membuyarkan lamunan Padma.Padma mengangguk seraya memasukkan ponselnya ke dalam tas. Nanti, ia masih bisa membalas pesan Badai nanti. Atau mungkin tidak usah dibalas? “Udah.”“Sunblock?”“Udah.”
“Apa keberangkatan kamu hari ini berhubungan dengan dia?”Padma menahan diri untuk tidak menoleh pada Catra. Kalau ia melakukan hal tersebut, sudah dipastikan lelaki itu akan langsung tahu. Dia yang dimaksud Catra pastilah Badai Tanaka.Atau, yah… Catra sebenarnya memang sudah tahu.“Sedikit banyak.” Padma akhirnya menoleh pada Catra dan tersenyum kecut. “Tapi aku udah memutuskan untuk pergi sama kamu sebelum ketemu dia di acara keluarga kami kok.”Dan hal itu memang benar. Malam sebelum ia ke rumah keponakannya—Kalvin, Padma sudah menyetujui ajakan Catra dan mereka membeli tiket pesawat di saat itu juga.
Rasanya keputusan untuk ke Bali adalah keputusan paling tepat yang Padma ambil dalam setahun terakhir ini.Padma bersenang-senang dan untuk sejenak, ia melupakan tatapan penuh amarah Anastasya di rumah Kalvin dua hari yang lalu.“Papamu nggak komentar apa pun soal cuti mendadak kamu?”Padma tertawa kecil mendengar pertanyaan Catra yang dilontarkan dengan nada jahil. Kemarin, bertepatan dengan resepsi pernikahan sepupu Catra, Padma akhirnya memutuskan untuk memperpanjang liburannya.Hari Senin ini merupakan tanggal merah, jadi ia mengajukan cuti mendadak untuk hari Selasa hingga Jumat. Ayahnya tak berkomentar banyak selain mengingatkan Padma kalau kejadian ini hanya bo
Badai memasuki Ta Wan dan langsung menemukan sosok Padma yang sedang menyantap makanannya.Untuk sesaat, ia menghentikan langkahnya setelah agak menepi supaya tidak menghalangi jalannya orang-orang di restoran tersebut. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia melihat bagaimana Padma makan.Aneh, tapi salah satu hal yang selalu Badai ingat adalah cara makan Padma yang akan membuat siapa pun chefyang memasak makanan tersebut, akan merasa bahagia karena makanannya diapresiasi dengan sempurna.“Hai,” sapa Badai setelah berhasil melanjutkan langkahnya dan tiba di meja yang ditempati Padma. “Maaf aku terlambat.”“Nggak kok, ini aku yang datang terlalu cepat,” jawab Padma deng
Enam bulan adalah waktu yang cukup baginya untuk mempersiapkan dan memantapkan hatinya untuk hal yang lima menit lalu baru ia lakukan.“Kamu serius?” tanya Padma dengan mata yang berpindah-pindah, menatap sesuatu di hadapannya yang berkilauan karena cahaya lampu mobil, lalu berganti menatap lelaki di hadapannya.“Aku serius—kamu tahu kan, aku hampir selalu serius.”“Aku tahu.” Kali ini Padma tertawa. “Kadang aku kasihan sama para standup comedian yang videonya nggak bisa bikin kamu ketawa.”“Bukan salah mereka, waktu pembagian selera humor sebelum lahir, aku telat datengnya.”