MENANGIS karena seorang cowok adalah hal paling bodoh untuk dilakukan seorang cewek. Adelia sangat sependapat dengan itu. Apalagi setelah Friska bercerita kepadanya soal gadis itu yang semalaman harus begadang karena tidak bisa tidur, karena cairan bening terus saja menetes dari pelupuk matanya mengingat Dimas-cowoknya-yang tiba-tiba saja memutuskan hubungan mereka tanpa sebab, ditambah lagi hal itu dilakukan lewat sambungan telefon. Benar-benar membuat tanda tanya besar di kepala.
"Udahlah Friska, nangisin cowok tuh nggak ada gunanya tau nggak, cuma bakal nguras fikiran lo aja! Lagian, dunia ini nggak selebar daun kelor keules, cowok yang lebih baik dari Dimas itu banyak! Lo pernah berfikir nggak sih, air mata lo tuh terlalu berharga untuk dibuang cuma karena satu cowok! Duh~ please deh ya, kantung mata lo udah tebel tau sekarang, jadi kayak mata panda deh! Nih minum,"
Adelia berusaha memberikan nasihat kepada sahabatnya itu supaya tidak te
SUDAH menjadi takdir kalau manusia diciptakan dengan berpasang-pasangan. Tak ada yang tahu, siapa yang akan menjadi jodoh kita selain Tuhan. Semua itu rahasia. Tuhan juga hanya sebatas mempertemukan, tidak mempersatukan. Namun, Adelia sempat bingung, untuk apa dua orang manusia yang sebelumnya tidak saling mengenal, itu dipertemukan jika mereka saja tidak dapat bersatu. Karena Adelia tidak mungkin merusak persahabatannya dengan Dicky hanya karena ke-egois-an-nya. Apakah mereka ditakdirkan bertemu hanya sebagai sepasang sahabat? Tak bolehkah jika lebih dari itu? Entahlah. Tapi yang pasti, Adelia masih ingat, 10 tahun yang lalu-tepatnya saat ia masih berusia 6 tahun, untuk yang pertama kalinya, ia bertemu dengan Dicky.--Flashback On--Sore itu, matahari sudah terlihat sedikit condong kearah barat tetapi sekumpulan anak kecil terlihat masih begitu asik dan bersemangat saling mengoper bola sepak dari kaki satu ke kaki yang lain di sebuah lapang
SABTU malam atau biasa juga disebut malam Minggu adalah surganya bagi para remaja. Biasanya, sebagian besar remaja akan menghabiskan waktu mereka untuk jalan-jalan bareng sama pacar-bagi yang punya-atau sekedar berkumpul bersama teman di satu tempat, nongkrong bareng sambil minum kopi, ketawa-ketiwi, dan bercanda gurau. Untuk Dicky, malam ini adalah malam minggu pertamanya di Indonesia. Setelah selesai shalat Isya, pemuda itu langsung mendudukkan pantatnya di tempat tidurnya. Tak tahu apa yang akan ia lakukan-kalau belajar rasanya kurang seru-Dicky memutar kepala kearah balkon kamarnya yang masih terbuka, dimana berhadapan langsung dengan balkon kamar Adelia."Kenapa tuh cewek jadi makin deket aja ya sama anak kelas 10 itu? Mana tadi pake acara makan bareng lagi, untung gue lagi ada disana, jadi mereka nggak berduaan deh!" gerutu Dicky. "Walaupun gue juga tau sih kalo Adel bersikap biasa-biasa aja,"Dicky menghela
PANDANGAN Dicky menatap fokus ke depan, kearah dimana terdapat sebuah botol kaca. Sedangkan di tangannya, ia menggenggam sebuah benda yang berbentuk gelang. Tak lama, Dicky langsung melemparnya kearah botol itu dan .. masih meleset, belum jatuh tepat disana. Pemuda itu menghela nafas. Ia belum putus asa."Gue pasti bisa!" gumamnya sembari mengambil gelang di depannya lagi dan melemparnya kearah botol itu berdiri. Berkali-kali ia gagal dan mencoba lagi.Ya! Permainan itu! Entah apa namanya, tetapi yang pasti itu berhadiah. Setiap pengunjung yang ingin mencoba, akan dibekali benda berbentuk gelang yang berjumlah 10. Dan barangsiapa yang bisa memasukkan gelang itu kedalam botol-minimal 3 buah, maka akan mendapatkan hadiah. Deretan boneka pun terpampang manis di samping si laki-laki penjaga tenda itu, pemenang boleh memilih salah satu dan itu gratis. Karena pembayaran hanya dilakukan di awal, sebelum bermain.
SALAH satu hal yang paling jarang-bahkan tidak pernah, dilakukan oleh seorang Adelia adalah memasak. Oleh karena itu, Marissa memaksanya untuk belajar supaya gadis itu menjadi perempuan yang benar-benar perempuan. Namun, sedari tadi gadis itu hanya menekuk wajahnya sembari memotong wortel dengan asal-asalan. Sehingga potongan wortel yang dihasilkan pun ada berbagai macam ukuran dan bentuk, ada yang besar, ada yang kecil, ada yang segitiga, dan ada pula yang kotak.Tak~Tak~Tak~Suara pisau dengan papan begitu mendominasi dapur itu. Sementara Adelia memotong wortel, Marissa sibuk menggoreng ayam. "Aduh, kamu salah motongnya, Del! Jangan gede-gede gitu, tipis-tipis aja, kamu gimana sih?" omel wanita itu saat memperhatikan kerja anak gadisnya yang ternyata diluar ekspektasi."Yang penting kan dipotong ma? Biar kenyang kan kalo gede-gede gini!" ujar Adelia masih dengan aktivitas mem
DERAP langkah kaki Adelia tampak menyusuri lorong-lorong koridor yang masih sepi, baru beberapa saja yang datang karena hari masih terlalu pagi. Ya! Karena ini hari Senin dan ia tidak mau terlambat upacara. Namun, langkahnya terlihat santai dan tidak begitu semangat. Pandangannya pun kosong, sepertinya suasana hati sedang tidak secerah matahari pagi. Berkali-kali Adelia menghela nafas dan mengeratkan pegangannya pada tali tas ranselnya.Arahnya berjalan pun tidak menuju ke kelasnya, namun ke tempat lain. Hingga tak lama, gadis itu sampai di sebuah taman yang lumayan luas dan letaknya berada di belakang sekolah, yang notabenenya jarang dikunjungi oleh murid-murid. Rerumputan hijau tampak berembun, udara masih segar. Adelia segera berjalan menuju sebuah kursi panjang yang ada disana."Aduh~ Kenapa masih sakit aja sih, udah diobatin juga tadi malem!" gadis itu mendudukkan pantatnya disana. Jari-jari tangannya meraba bagian sudut bibir yan
LANGIT sudah benar-benar gelap. Dicky berkali-kali menelfon Adelia namun yang ia dapatkan hanyalah suara mbak-mbak operator yang mengatakan bahwa nomor yang dituju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Sedari tadi Dicky juga hanya berjalan mondar-mandir di balkon kamarnya. Ia merasakan hatinya tidak tenang. Cemas dan khwatir amat berkecamuk dalam dirinya karena gadis itu belum juga menampakkan batang hidungnya sampai saat ini."Adel kemana sih? Udah jam segini kok nggak pulang-pulang?" pemuda itu bergumam seraya melirik arloji dalam pergelangan tangannya. "Apa gue cek ke sekolah aja kalik ya?" fikirnya.Karena tidak ingin terjadi apa-apa, Dicky akhirnya memutuskan untuk mencarinya di sekolah. Ia berjalan cepat menuju garasi untuk mengeluarkan mobil dan segera meluncur keluar meninggalkan rumahnya, juga rumah Adelia, yang begitu sepi itu. Ya! Pasalnya, orangtua mereka dengan kompaknya pergi ke luar negeri tanpa sepengetahuan Dicky
"Kriinggg ..''BEL masuk khas GHS baru saja dibunyikan oleh seorang security di ruang TU, getaran suaranya pun merambat hingga terdengar ke seluruh penjuru sekolah itu. Terlihat murid-murid dari berbagai angkatan mulai berbondong-bondong memasuki kelas masing-masing, termasuk Adelia, Friska, dan Dicky. Entah, setelah mengetahui kenyataan kalau ternyata Dimas memiliki hubungan khusus dengan Raisha-terbukti saat cowok itu menjemputnya tempo hari, kini Friska lebih sering berangkat siang.Di bangku paling belakang dan deretan ke 3 dari barat, Adelia mendudukkan pantatnya di tempat duduk yang berada disana, diikuti Friska di sampingnya sementara Dicky duduk di bangku sebelah mereka."Hhh .. Kalian makin hari makin lengket aja deh gue liat-liat! Udah kayak perangko aja! Bikin gue iri tau nggak!" celetuk Friska sambil menghempaskan tas selempangnya di atas meja.Mendengar itu, membuat Dicky dan Adeli
CAHAYA matahari di siang bolong nampaknya begitu membakar kulit Dicky dan teman-teman satu timnya yang tengah bermain basket di lapangan outdoor. Berpeluh-peluh keringat yang menetes di setiap wajah itu, membuat mereka terlihat semakin kece-apalagi Dicky, tingkat ketampanannya bertambah begitu wajahnya terekspos oleh sinar matahari.Tak sedikit pasang mata kaum hawa di sekeliling lapangan yang menyaksikan aktivitas mereka. Bahkan, sesekali ada yang menjerit begitu melihat Dicky memasukkan bola ke dalam ring dengan mulus dan dari sudut manapun.Dug~Dug~Dug~Suara pantulan bola basket dengan lantai lapangan, juga decitan sepatu, dan suara bariton cowok-cowok itu amat mendominasi. Dari satu arah, Adelia datang dengan membawa minuman dingin dan handuk kecil kemudian duduk di salah satu bangku di bawah pohon yang berada di pinggir lapangan. Ikut menyaksikan mereka.&nbs