Share

Keputusan Abah

"Nggak tahu ah abah. Neng juga bingung," Eza menempelkan dagunya ke bahu kursi.

"Begini saja, sekarang mah keputusan ada di Abah, sebab Eza masih tanggung jawab Abah. Abah memilih siapa pun yang akan jadi calon buat Neng. Neng Eza harus terima, dan ini sudah menjadi keputusan Abah."

"Tapi Bah ... " Eza cemberut. "Kenapa sih harus cepat nikah? Eza gak macam-macam, gak pernah keluyuran malam, paling ke pengajian, ke kebun bantuin Abah dan Umi. Paling ketemu teman-teman! itu pun gak pernah neko-neko, apa ada perilaku Eza yang kurang pantas di mata masyarakat?" ungkap Eza seolah tida memberi zeda dalam berbicara nya kali ini.

"Tidak, tidak seperti itu Neng," elak Umi Marni.

"Neng sudah dewasa. Sudah sepantas nya punya tanggung jawab sendiri, itu saja."

Obrolan pun berakhir, Eza masuk kamar dengan perasaan yang sedikit dongkol. Smentara orang tuanya makan malam bersama adik-adiknya.

Di kamar yang lumayan nyaman Eza menjatuhkan tubuhnya di tepi tempat tidur. Ambil guling dan memeluknya. "Kenapa sih yang di bahas itu nikah dan nikah, gak ada kata lain apa?" gerutu Eza, sambil melepas kerudung.

Eza bersiap tiduran. Baru ingat belum sholat Isya. "Oh iya, belum sholat isya," Eza langsung bangkit menyimpan guling. Langsung keluar kamar lagi dengan niat ke kamar mandi yang berada dekat dapur.

Selepas sholat Eza barulah membaringkan tubuhnya, di tempat tidur. Terlentang, miring. Terlentang lagi, miring ke kanan. Miring ke kiri sampai akhirnya telungkup. "Iih ... sulit amat tidur malam ini," Eza gedebag-gedebug, tidurnya sangat gelisah.

Pejam mata tak lena, karena masih teringat kata-kata sang Ayah, yang seolah menekan nya untuk menikah. "Ya Allah ... aku harus gimana nih?" Eza memaksa matanya untuk pejam.

****

Pagi-pagi Eza sudah berlari kecil di jalanan. Walau hawa dingin sangat menusuk kulit tidak mematahkan semangatnya tuk berlari pagi, dan itu sudah jadi kebiasaan Eza. Habis sholat shubuh dan mengaji, dia turun ke jalanan, di temani tiga kawannya yang bernama Resty. Kirana dan calon pengantin yang bernama Sinta.

"Kalau kita masing-masing sudah menikah belum tentu kita bisa bersama seperti ini. Setiap pagi lari kecil bersama. Bercanda bersama," ujar Sinta.

"Kenapa gak bisa?" tanya Kirana.

"Nggak bisa lah. Kalau sudah menikah. Otomatis kita ikut suami. Masa mau ikut orang tua mulu." sahut Sinta dengan cepat.

"Oh iya, sekalipun kita berdekatan, kan pagi-pagi itu kita harus menyiapkan sarapan, beberes rumah, dapur, kasur. Itu, kan tanggung jawab seorang istri ya?" ujar Resty membenarkan perkataan Sinta.

"Itu istri apa pembantu? Hehehe," sambar Kirana sekenanya saja.

"Cielaah ... bukan pembantu. Tapi kalau kita ingin dapat banyak pahala harus gitu juga kali ..." sahut Resty mendelik pada sahabatnya yang bernama Kirana itu.

"Tidak semua wanita mendapat suami yang kaya. Belum tentu kehidupan kita dimasa yang akan datang senang. Adakalanya yang kaya juga mendadak miskin, kan hidup berputar. Jadi kita harus waspada, berkecukupan syukur, kalau pun biasa-biasa saja juga ikhlas," ujar seorang Eza sambil mengulang-ngulang tangannya.

ketiga teman nya mengangguk. "Jadi intinya kita harus menyesuaikan dengan keadaan. Hidup harus tetap berjalan meski apa pun yang terjadi," sambung Eza. Kemudian jalan berlari- kecil.

"Hem ..." gumam ketiganya lantas menyusul Eza yang sudah lebih dulu ke depan.

Di sana banyak yang lewat, termasuk para pemuda, bersiul menggoda empat sekawan itu. Pemuda di sana dan juga dari kampung lain yang kebetulan lewat ke jalan sana, untuk berangkat aktivitas.

"Jangan bersiul kang. Kami bukan burung yang beterbangan," gumam Resty.

"Tapi ...." 

"Bunga yang sedang menanti sentuhan sang kumbang," sambung Resty. sambil ketawa.

"Lahh ... apa bedanya? yang bener itu, kalau si akang suka. Jangan bersiul, tapi ucapkan salam pada Ayah Bunda, dan bilang kalau Aa mau mengajak ke KUA biar halal di mata semua," timpal Sinta.

"Bener-bener, mantap pisan euy," ucap Kirana dan Resty berbarengan.

"Jawabnya, iya A Neng mau di ajak ke KUA di halalin sama si Aa. Tapi jangan sampai setelah halal di KUA, si Aa nya malah mendua, ha ha ha," Eza terkekeh sendiri, di ikuti suara ketawa dari kawan-kawannya.

"Tapi ... ih amit-amit ... amit-amit," ralat Eza mengetuk-ngetuk keningnya.

"Iya lah amit-amit, siapa yang mau. Menikah cuma untuk sakit hati. Ogah," Sinta menggeleng.

"Yuk ah. Pulang, sudah di tunggu suami nih," pekik Eza yang sudah lebih duluan berlari dan kembali pulang.

Kawan-kawannya pun berlarian mengejar Eza sambil cekikikan, tertawa tanpa merasakan beban. Di persimpangan jalan, mereka berpisah. Pulang ke rumahnya masing-masing.

Setelah memberi salam. Eza memasuki rumah, di sana sudah sepi sebab orang tuanya Eza sudah pergi ka kebun, adik-adiknya pun. Fikri sudah berangkat kerja, si bungsu pergi ke sekolah.

Di rumah tinggallah Eza sendiri. Mau mengerjakan pekerjaan rumah, seperti mencuci pakaian, mencuci perabot dapur dan bersih-bersih lainnya, begitu aktivitas Eza setiap hari. Kalau itu semua selesai baru lah. Menyusul abah dan umi ke kebun untuk membantunya berkebun.

Eza pernah kerja di toko. Dan di warung makan. Namun tidak pernah lama dengan alasan tidak betah. Lagian di luar sana banyak pria yang menggoda. Membuat Eza merasa risih. Akhirnya dia lebih betah di rumah, dan itu lebih baik baginya dari pada di luaran.

Sekalipun terkadang membantu orang tuanya di kebun. Namun Eza cukup menikmati keseharian nya itu.

"Hem ... nyuci sudah, beres-beres sudah, ke kebun ah." Eza mengunci pintu hendak menyusul orang tuanya. Namun masih juga berdiri di depan pintu, ada dua orang laki-laki berdiri depan teras hendak bertamu.

"Assalamu'alaikum ..." Neng mau kemana atuh Neng cantik teh? pasti Neng yang bernama Eza ya?" sapa laki-laki yang usianya hampir sama dengan Abah nya itu.

"Wa'alaikum salam ... i-iya saya, maaf mau bertemu siapa ya? dan ada perlu apa." Eza kebingungan sebab belum pernah bertemu atau melihat kedua pria tersebut.

"Oh saya mau bertemu Neng Eza  sama abah Bani, ada abahnya?"

"Oh, silahkan duduk atuh." Eza menunjuk kursi yang ada di teras, jantung nya berdebar. Entah kenapa suka takut kalau ada tamu pria, sementara di rumah tidak ada siapa-siapa.

Kedua tamunya pun duduk setelah dipersilahkan oleh tuan rumah.

Eza juga duduk agak jauh dari mereka dan bingung mau berkata apa.

"Kenalkan, saya juragan Anwar dan dia putra saya Dirwan," tamunya memperkenalkan diri serta mengulur, kan tangan tuk bersalaman, namun Eza hanya menangkupkan tangan di depan dada serta senyuman ramah.

"Em ... tapi maaf banget. Kalau jam segini abah nya tidak ada di rumah. Nanti sore saja kembali lagi," suara Eza dengan lembut.

"Oo gitu ya, bararti kita salah waktu nih. Aduh sudah jauh-jauh tuan rumahnya gak ada. Sayang banget."

"Kita pulang saja Pak," gumam pemuda tersebut yang baru saja mengeluarkan suaranya.

"Iya, tapi kamu suka gak? cantik kan? sholeh juga pasti anak nya," bisik juragan Anwar kepada putranya yang di balas dengan senyuman dan lirikan pada Eza yang menunduk.

Bersambung... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status