Share

Bab 4 Anak Pembawa Sial

Seorang wanita tua duduk di kursi roda sambil menatap ke arah jendela kamarnya. Memandangi langit cerah di pagi hari. Wajahnya tampak terlihat begitu sedih. Perempuan muda bersama lelaki setengah baya datang menghampirinya.

Netra mereka menatap dalam ke arah wanita tua tersebut. M elangkah pelan mendekati sang wanita yang tengah menatap langit itu.

Perempuan muda itu berjongkok di samping wanita tua di sebelahnya. Menggenggam tangan yang sudah mulai keriput karena termakan usia tersebut.

"Ma, kenapa melamun di kamar? Mama juga belum sarapan, bukan?" tanya perempuan muda bernama Karin tersebut.

Kayana, nama wanita tua itu. Menoleh ke arah Karin dan menatapnya datar. Kedua matanya berkaca menahan tangis. Kayana menghela napas dalam.

"Apa kau sudah menemukannya?" tanya wanita tua itu lirih.

Karin menggeleng. "Belum, Ma. Aku, Kak Kevin, dan Mas Erlan sudah berusaha mencarinya. Namun, kami belum berhasil menemukannya. Papa juga sudah berusaha mencari. Akan tetapi, hasilnya masih nihil," jelas Karin dengan wajah sedikit kesal.

"Delapan tahun sudah. Kalian belum berhasil menemukannya? Apa kota ini begitu besar hingga sulit untuk menemukan dia?" ucap Kayana kecewa.

"Ma, mungkin dia tidak tinggal di kota ini. Bisa jadi di tempat lain. Atau mungkin, ke luar negeri," ucap Karin dengan santai.

"Tempat lain? Luar negeri? Apa mungkin. Dia pergi tanpa membawa banyak uang. Jangankan untuk ke tempat lain, bahkan untuk kebutuhan sehari-harinya pun tidak akan cukup.

"Tapi kami sudah mencarinya. Dan hasilnya, kami sama sekali tidak menemukan jejaknya. Apa mungkin dia--"

"Jangan berasumsi sebelum tahu kebenarannya. Kau jangan bicara yang membuat Mama semakin sedih, Karin," ucap Kevin, menyela kalimat Karin dan mendekati sang mama.

"Seharusnya kita tidak mengusir dan membuat dia pergi dari rumah ini. Bagaimana dia menjalani hari-harinya? Mengurus kandungannya? Apa benar kalau dia sudah--"

"Ma, jangan terlalu berpikir keras. Kevin akan cari dia sampai ketemu," ucap Kevin yang kali ini menyela kalimat mamanya. Pria itu tidak ingin jika sang mama bertambah sedih.

Sejak kepergian anak bungsunya delapan tahun lalu, Kayana sering sakit-sakitan, bahkan kini ia harus menghabiskan waktu duduk di kursi roda. Sementara suaminya, juga sering mengalami gangguan pada lambung dan jantungnya.

Kedua orang tua itu terus memikirkan sang anak. Mereka menyesal telah bertindak mengikuti emosi yang membuat si bungsu pergi meninggalkan rumah dengan terpaksa.

Karin semakin membenci adiknya, sebab ia harus repot mengurus kedua orang tua yang sakit-sakitan karena terus memikirkan adik bungsunya tersebut. Kevin yang selalu menjadi penengah. Pria itu menyayangi orang tua dan adik-adiknya.

Karin keluar begitu saja dari kamar Kayana dengan kesal. Wanita itu sudah muak dengan sikap mamanya yang selalu memikirkan adik bungsu yang diusirnya delapan tahun lalu.

Karin membuka dan menutup kasar pintu kamar. Membuat Erlan, sang suami yang tengah bersiap untuk berangkat ke kantor terperanjat. Pria tinggi berkulit sawo matang dengan sedikit jambang di kanan kiri wajahnya itu mendekati Karin yang sudah menjatuhkan bagian bawah tubuhnya ke ranjang.

"Ada apa? Kenapa kau begitu kesal sekali?" tanya Erlan sambil duduk di sampingnya.

"Aku kesal dengan mama. Kenapa selalu saja memikirkan anak pembawa sial itu terus? Padahal anak itu saja tidak ingat pada keluarga dan datang ke sini," omel Karin sambil melipat kedua tangannya di perut.

"Bukan kau sendiri yang mengusir dan mengancamnya agar tidak kembali lagi ke rumah ini?" tanya Erlan mencoba mengingatkan Karin dengan kejadian delapan tahun silam.

"Aku pikir, setelah mengusir anak pembawa sial itu hati mama jadi membaik dan tidak sakit-sakitan. Namun kenyataannya, mama terus memikirkan anak sialan itu. Papa juga, sakit karena terus teringat anak tidak tahu diri itu," omel Karin semakin menjadi memakai adik bungsunya.

"Kita sudah berusaha mencarinya. Namun, belum menemukan dia sama sekali. Apa dia di telan bumi sampai tak terlihat, bahkan jejaknya pun tak ada?"

"Apa dia mati?"

"Kalau dia mati pasti ada jasadnya. Tapi, ini tidak."

"Ya sudah. Jangan terlalu memikirkan hal itu. Pikirkan soal progam kehamilanmu. Kapan kau akan melakukan pemeriksaan lanjutan?" tanya Erlan, mengubah topik agar Karin tak semakin kesal.

"Lusa kita ke rumah sakit. Kau tidak sibuk dan bisa mengantarku, bukan?" ucap Karin sambil menghela napas.

"Emm, aku akan mengantarmu besok. Aku berangkat kerja dulu," ucap Erlan sambil mengecup kening Karin.

***

Dua hari kemudian, tampak kondisi Kaivan sudah semakin membaik. Meski belum bisa menggerakkan tangan dan kaki kirinya. Namun, setidaknya ia sudah bisa duduk serta di pindahkan ke ruang perawatan. Ferdinan menunggu dengan setia sahabat tercintanya tersebut.

Kaivan tampak melirik ke arah sekitar. Ferdinan yang sejak tadi memperhatikan, menaruh curiga pada Kaivan yang terlihat gelisah.

"Ada apa? Apa yang kau cari?" tanya Ferdinan dengan curiga.

"Emm, aku tidak melihat dokter cantik itu datang," jelas Kaivan sambil terus mengedarkan pandangan.

"Maksudmu ...."

"Dokter Kaira," sela Kaivan sambil terus mencari.

Aktivitasnya terhenti saat ada suara pintu di ketuk. Kaivan senang, sebab merasa itu adalah Kaira. Namun, ketika pintu terbuka dan dua orang masuk menghampirinya, ia kecewa sebab ternyata Dokter Harun dan Perawat Nuning yang datang.

"Pagi, Tuan Kaivan," sapa Dokter Harun sambil tersenyum.

"Pa--pagi, Dok," ucap Kaivan datar.

"Bagaimana kondisi Anda hari ini? Apa ada keluhan?" tanya dokter muda itu sambil memeriksa Kaivan.

"Sedikit nyeri pada tangan dan kaki. Kepala saya juga terkadang nyeri saat berdenyut," jelas Kaivan menceritakan apa yang ia rasakan pasca operasi empat hari yang lalu.

"Tidak apa, itu efek dari luka Anda. Obatnya di minum secara teratur, ya. Supaya Anda tidak merasakan nyeri lagi," ucap Harun sambil melingkarkan stetoskop di lehernya.

"Iya, Dok. Emm, omong-omong, Dokter Kiara ke mana, ya? Saya tidak melihatnya beberapa hari ini," ucap Kaivan sambil menanyakan prihal Kaira.

"Dokter Kaira sedang sibuk operasi. Ada beberapa pasien yang membutuhkan pertolongannya. Selain itu, ia juga sedang mengajar training di sebuah universitas," jelas Harun dengan lembut, tanpa menaruh curiga sedikit pun.

"Oh."

Kaivan menjawab singkat sambil membulatkan mulutnya. Ada rasa khawatir dan kecewa karena tidak adanya dokter cantik tersebut.

"Kondisi Anda sudah mulai membaik. Tiga sampai empat hari lagi, Anda sudah bisa mengenakan kursi roda untuk melakukan aktivitas," jelas Harun dengan wajah serius.

"Sampai kapan saya harus duduk di kursi roda?" tanya Kaivan yang mulai mengkhawatirkan dirinya tidak bisa berjalan seperti semula kembali.

"Sampai luka bekas operasinya mengering dan tertutup sempurna. Anda juga harus menjalankan terapi untuk pemulihan."

"Apa saya bisa berjalan dan beraktivitas normal kembali nantinya?"

"Tentu saja."

"Berapa lama?"

"Tergantung dari seberapa cepat tubuh Anda pulih."

Dokter Harun menjelaskan semua kondisi Kaivan. Pemuda tampan bermata elang itu tampak pesimis dengan kesembuhannya. Namun, Harun selalu memberikan semangat untuk dirinya agar bisa pulih kembali.

Dokter Harun meninggalkan ruangan usai melakukan pemeriksaan medis kepada Kaivan. Pria berhidung mancung dengan lesung di kedua pipinya itu yang tampak saat ia tersenyum tampak melamun memikirkan nasibnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status