Orang bilang, pertemuan pertama selalu kebetulan. Tapi, bagaimana caramu menjelaskan pertemuan-pertemuan kita selanjutnya?
***Sudah satu bulan Gus Afnan pulang ke Indonesia. Ia sudah berkali-kali menggantikan Buya Laqief mengisi kajian kitab kuning untuk para santri pada pagi dan sore hari, tentu saja saat Buya Laqief berhalangan hadir atau ada acara di luar pondok pesantren. Cara pengajarannya pun sangat mudah di cerna ole semua santri, apalagi di usianya yang masih sangat muda, menjadikan Gus Afnan bisa lebih menguasai para santri dan berbaur dengan mereka tanpa canggung, bahkan kabarnya Gus Afnan tidak malu dan canggung ikut bermain sepak bola di lapangan pondok putra bersama santri yang lain.
Gus Afnan juga terkenal sebagai pemuda sholeh yang santun dan baik hati, tidak membeda-bedakan status dan kepintaran. Para santri juga terbiasa berkumpul dengannya, meskipun masih ada canggung para santri terhadapnya karena mereka menghormati statusnya sebagai putra Kyai. Bakal penerus pondok pesantren ini.Hari jumat ini kembali kamar Masyithoh mendapatkan piket membersihkan ndalem. Kebetulan kamar untuk santri dan siswa unggulan memang dekat dengan ndalem. Arni dan yang lain segera bersiap. memegang alat kebersihan masing-masing ditangan mereka."Seperti biasa, kamu dan Arni bersihin kamar Buya!" perintah Mbak Rista pada Ratna dan Arni."Nindi dan Mutia bersihin perpustakaan pribadi Buya," ujar Mbak Rista. Membagikan tugas pada anak buahnya."Yang lain bersihkan halaman, kamar Ummi dan ruang tamu juga ruang keluarga," perintahnya pada yang lain. "Mbak, kamar Gus Afnan siapa yang bersihin?" tanya Dewi."O iya, lupa ... hehehe," ucapnya nyengir sambil tepuk jidad."Arni dan Ratna kalau sudah selesai dari kamar Buya lanjut ke kamar Gus ya, kamarnya 'kan sebelahan," perintahnya. "Iya, Mbak."Selesai bersihin kamar Buya, Ratna dan Arni pindah ke kamar Gus Afnan."Kamu sapu dulu kamarnya Gus ya, Ni. Sebentar ya, Aku selesaikan menata meja dulu, ini ada yang ketinggalan belum ditata bukunya," ujar Mbak Ratna.Arni mengangguk, ia segera masuk ke dalam kamar itu.Arni membuka pintu kamar itu. Harum bau maskulin tercium di indra penciuman Arni, aromanya menenangkan syaraf-syarafnya.Arni segera menyapu kamar itu. Kamar itu masih terlihat rapi meskipun tempat tidurnya tidak tertata begitu rapi. Untuk sekelas lelaki kamar itu sudah cukup rapi menurut penilaian Arni. Kriek ....Pintu kamar terbuka dan ditutup lagi.Arni sedang menyapu kolong kamar tidur itu hingga ia tidak tau siapa yang masuk ke kamar itu. Arni kaget bukan kepalang, karena dirinya sangka yang masuk tadi Mbak Ratna, ternyata lelaki tampan yang juga menatapnya heran."Kamu siapa? Mbak Ndalem ya?" tanya Gus Afnan heran.Arni langsung menggeleng. "Ma-maaf, saya hanya diberi tugas untuk membersihkan kamar Gus oleh mbak pengurus," jawabnya terbata masih dengan menunduk."Oo, kamu buat kesalahan ya, makanya di takzir," tebaknya.Arni langsung menggeleng. "Ha-hari ini kebetulan kamar sa-saya kebagian tugas membersihkan ndalem," ujarnya.Gus Afnan mengangguk tanda mengerti."Cepat selesaikan saya mau istirahat," perintahnya.Arni mengangguk. Meskipun dengan tubuh yang bergetar, Arni segera meneruskan menyapunya. Gus Afnan mengambil buku dan membacanya sambil duduk di sofa panjang dalam kamar ini.Arni mengutuki dirinya sendiri. "Kenapa tadi aku harus masuk ke kamar ini sendiri, seharusnya aku nggak mau disuruh masuk dulu, sekarang mbak Ratna mana lagi," batinnya gelisah. Pasalnya saat ini mereka berada dalam satu ruangan, apalagi pintu kamar itu ditutup. Arni takut terjadi fitnah, meskipun mereka tidak melakukan apa-apa, tidak mungkin Gus Afnan berselera padanya, ia hanya gadis miskin yang juga tidak pintar bahkan bukan putri kyai."Arni, sudah selesai belum nyapunya?" teriak mbak Ratna yang langsung membuka pintu kamar itu. Mbak Ratna heran melihat wajah Arni sedikit pucat."Kamu sakit, Ni? Wajahmu kok pucat," ujarnya. Arni menggeleng dan berusaha mengkode Ratna menggunakan dagunya ke arah sofa. Ratna menangkap kode yang ditunjukkan Arni, seketika Ratna melihat ke arah sofa. Mbak Ratna juga kaget seperti Arni tadi, di sofa itu duduk pemuda tampan sambil memegang buku dan melihat ke arah mereka berdua."Ehm ...." Suara barito Gus Afnan membuyarkan keheranan Ratna yang menatap pemuda itu dengan tatapan kagum, beda dengan Arni yang sejak tadi hanya menunduk takut dan malu."Selesaikan bersih-bersihnya cepat! aku mau istirahat, " ujar Gus Afnan."I-iya," ucap Ratna sambil tersenyum malu-malu. Terus terang tingkah Ratna membuat Afnan risih. Arni segera merapikan kamar itu dengan cepat, dirinya ingin segera keluar dari kamar itu, sejak tadi Afnan bahkan sering curi pandang pada gadis itu, yang sejak tadi menunduk, membuatnya penasaran. "Aku jadi penasaran pada gadis itu, semua temannya menatap kagum padaku, sampai aku risih ditatap ribuan santri putri dengan tatapan seperti mereka mau menelanjangiku, tapi dia sibuk dengan dunianya sendiri dan sejak tadi hanya menunduk," batin Afnan.Setelah beres, Arni dan Ratna segera keluar dari kamar itu, Gus Afnan juga langsung berdiri dari duduknya, namun karena lantai masih sedikit licin, Arni yang juga terburu-buru hingga dirinya terpeleset namun sebelum terjatuh ke lantai ada tangan yang memegang tubuhnya. Jleb ....Gus Afnan menahan tubuh Arni. Sekilas mata mereka beradu, Arni segera membetulkan posisinya sehingga bisa berdiri dengan baik. Arni dengan kasar melepas cekalan tangan yang menahan tubuhnya itu, Gus Afnan yang merasakan tangannya tersentak sadar dengan kekhilafannya, niatnya hanya menolong Arni namun Afnan terpesona pada iris mata hitam nan bulat milik Arni yang beradu pandang dengan matanya meskipun hanya sekilas. Mereka berdua merasa canggung. Ratna yang menyaksikan itu tersenyum, ingin tertawa takut dapat hukuman. Ratna hanya bisa menahan tawanya. "Berita heboh ini! Gus Afnan menahan tubuh Arni yang hampir jatuh," batinnya. "Mo-mohon maaf, pe-permisi," ucap Arni terbata, ia langsung lari keluar kamar itu.Ratna pun mengekorinya."Cie-cie, kamu menang banyak, Ni," ujar Mbak Ratna menggoda. "Ststst ... Mbak. Jangan bilang begitu, tadi tidak disengaja, nanti kalau didengar santri lain timbulnya fitnah, tolong jangan dibahas lagi ya, Mbak. Nanti bisa jadi masalah untuk Gus Afnan juga saya, tolong ya, Mbak ...," mohon Arni mengiba.Melihat wajah Arni pucat, Ratna jadi tidak tega untuk menggoda lagi. "Tenang, Ni. Aman kok, aku nggak akan bilang ke mana-mana, lagian aku juga kasihan sama kamu, 'kan kamu santri baru juga, selain itu kamu anak yang baik," ujarnya. "Makasih ya, Mbak. Atas pengertiannya," ucapnya. "Iya, sama-sama."Malamnya, saat ini Afnan berada di kamarnya dan sedang mencoba untuk tidur, entah mengapa bayangan Arni tadi pagi selalu menbayanginya, membuat Afnan gelisah, tidak pernah seumur hidupnya ia seperti itu. "Ya Allah, perasaan apa ini? Tidak mungkin aku jatuh cinta pada gadis itu, sedangkan aku sudah menolak semua anak kiyai yang pernah akan dijodohkan denganku, dengan alasan masih ingin menimba ilmu di Mekkah. Bahkan putri-putri kyai itu tak kalah cantik dan pintar," lirihnya.Afnan mencoba memejamkan matanya lagi, namun selalu sama bayangan Arni yang ada. Mata indah Arni dengan iris coklat menatapnya. Berulang kali hal yang sama terjadi. Afnan benar-benar gelisah.Baru kali ini ia merasakan hal semacam ini.
"Ya Allah, ini tidak boleh dibiarkan, ini sama saja dengan zina 'ain. Bukankah begitu yang selama ini aku pelajari.Telah diterapkan bagi anak-anak Adam yang pasti terkena, kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berkata-kata, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah berjalan, hati zinanya adalah keinginan (hasrat) dan yang membenarkan dan mendustakannya adalah kemaluan." (HR. Muslim) Naudzubillah ... Astaghfirullahal Adziim ... Ampuni hamba Ya Allah, ampuni hamba ... Kalau benar ini cinta yang berasal dariMu maka aku rela, dekatkan aku dengannya dengan caraMu, tapi kalau ini bukan cinta. Namun, nafsu maka hilangkanlah dari hatiku, musnahkan dari hati hamba, hamba tidak ingin mengotori hati hamba dengan cinta karena nafsu sesaat," lirihnya.
Afnan langsung bangun dari ranjangnya, ia segera mengambil wudhu dan melakukan sholat taubat, dirinya percaya dengan mengerjakan sholat taubat hatinya menjadi semakin tenang, dan mungkin bisa menghilangkan bayangan Arni dari pandangannya. Menggugurkan dosa-dosanya. Bukankah sholat taubat sangat dianjurkan meskipun dilaksanakan setiap hari. Saat melaksanakannya juga dianjurkan untuk memperbanyak istighfar, memohon ampunan, agar Allah selalu mengampuni segala dosa yang pernah dilakukannya.Setelah sholat Afnan lebih tenang dari sebelumnya. Afnan kembali berbaring, mencoba memejamkan matanya. Kini saat memejamkan matanya ada bayangan Arni tersenyum padanya. Tanpa dirinya sadari ia juga ikut tersenyum dan detik selanjutnya ia pun terlelap.Memperhatikanmu diam-diam, mendoakanmu setiap hari dan mencintaimu secara rahasia. (-Afnan- Cinta dalam Balutan Doa)***Semenjak kejadian Jum'at yang lalu, Arni semakin canggung, apapun yang dirinya dengar tentang Gus Afnan, yang menjadi idola seantero pondok putri, membuat gadis itu sedikit menghindar bila ada bahasan tentang penerus Buya Laqief itu. Tidak mau munafik. Dirinya juga masih normal, apalagi remaja seusia dirinya baru mengenal arti cinta, labil sekali hatinya, jujur sejak kejadian itu hati Arni terpaut dengan pemuda tampan nan sholeh itu. Namun ia menyakini kalau itu hanya perasaan sesaat, perasan seorang santri mengidolakan ustadz atau Gusnya, bukan perasaan cinta perempuan dewasa. Arni selalu berusaha mengubur rasa yang sudah mulai mengakar di hatinya itu, tak membiarkan semakin berkembang, ia fokus dengan tujuannya untuk mondok, mengejar cita-citanya, membanggakan kedua orang tuanya, dan ngalap barokah dari kyai Laqief.Malam ini selepas sholat maghrib, Arni
Jika aku jatuh cinta padanya, cintakanlah aku pada seseorang yang melebihkan cintanya padaMu agar bertambah kekuatan untuk lebih mencintaiMu (Gus Afnan~ Cinta dalam Balutan Doa)***Afnan langsung merebahkan tubuhnya di ranjangnya. Menghilangkan capek di tubuhnya. Dirinya tersenyum mengingat kejadian saat di kelas dan di kantor madrasah Diniyah tadi."Kamu semakin menantang, dan membuatku semakin penasaran. Khairina Azzalina Arni, nama yang bagus, pintar namun sayang usianya masih 15 tahun. 1 juli 2006. Terpaut 7 tahun denganku," lirihnya.Afnan tau data lengkap Arni, tadi di kantor madrasah Diniyah dirinya sedang mencari data-data itu, sempat membuat kang Dedik, sepupunya yang juga menjadi kepala Diniyah itu heran bukan kepalang. Afnan yang tau sepupunya menatapnya dengan beribu tanda tanya di benaknya berdalih mencari data santri baru supaya mempermudah memberi soal nantinya. Biar santri-santri baru itu tidak terbebani dengan soal yang belum mereka kuasai. Antara percaya d
Satu bulan berlalu.Saat ini Arni siap mengikuti lomba mewakili ponpesnya bersama para santri lainnya yang juga dipilih untuk mewakili pondok sama seperti dirinya.Gus Afnan sudah siap menunggu di halaman pondok dengan mobilnya. Ia berdiri di depan mobilnya. Sudah tersedia 4 mobil lainnya untuk mengantar para peserta lomba dan pengurus pendamping. Dua mobil untuk santri putra dan dua mobil untuk santri putri."Kalian atur sekarang ya, Kita sudah sedikit terlambat, ayo segera berangkat!"ucap Afnan.Setelah mengatakan itu Afnan segera masuk dan melajukan mobilnya bersama Kang Dedik. Arni masuk ke dalam mobil bersama santriwati lainnya.Saat ini mereka sudah sampai di tempat lomba. Arni dan para santri lainnya segera berkumpul dengan para peserta lainnya untuk mendengarkan peraturan-peraturan lomba dari panitia.Sudah satu bulan ini Afnan mencoba menghilangkan perasaanya pada Arni, mencoba mencari kesibukan lain. Namun tetap saja Arni tidak bisa aja hilangkan di dalam hari dan pikira
Cinta bukan hanya sekedar ucapan namun harus dibarengi dengan pengorbanan. Mencintai dan dicintai itu adalah anugrah terindah dari Allah Subhanallah Wa Ta'ala***Satu tahun setengah Arni menjadi santri di pondok ini, suka duka sudah ia lewati bersama santri lainnya, terkhusus teman dan sahabat sekamarnya. Selama di pondok Arni tidak pernah berbuat macam-macam ataupun melanggar tata tertib pondok. Ia belajar sesuai apa yang menjadi cita-citanya. Saat ini ia sudah kelas dua program IPA. Tinggal satu tahun setengah lagi ia sudah lulus.Bagaimana perasaannya pada Gus Afnan? Kalau boleh jujur Arni masih menyimpan perasaannya itu dalam-dalam di relung hatinya, dirinya hanya tidak ingin terluka, biarkan saja ia mencintai dalam diam, mengagumi tanpa harus mengumbar. Toh, hal itu alamiah bagi remaja sepertinya. Yang mulai mengenal cinta.Arni selalu memupusnya dalam hati, karena apa yang diimpikan tentang Gus Afnan hanya hayalan semata, karena ia tau mereka tidak akan pernah bersatu. Biarkan
Allah menguji kita dengan sesuatu yang kita cintai, maka janganlah berlebihan mencintainya, agar saat sedih tidak berlebihan.***Setelah sholat isya'. Airin menyuruh Arni untuk segera mengganti pakaiannya yang sudah Airin siapkan."Dek, cepet ganti pakaianmu ya, keluarga calon besan sudah mengabari, mereka sudah bersiap untuk berangkat ke sini," ujar Airin."Aku gak bisa, Kak. Aku gak bisa ...," pekiknya."Dek, kakak mohon jangan mempermalukan ibu dan bapak, apalagi keluarga mereka keluarga terpandang di kecamatan ini," bujuk Airin lagi. Arni masih menangis terisak sambil menenggelamkan wajahnya di pahanya."Apa ini sudah takdir Arni ya, Kak?" lirihnya. Airin mendekat dan ikut menangis. "Ada saatnya kita harus berkorban demi kebahagian orang tua kita, mengubur apa yang kita mimpikan. Dan percayalah ibu dan bapak hanya ingin yang terbaik untuk kita, kamu harus ikhlas. Insya Allah, Allah akan memberimu kebahagiaan. Percayalah, Dek!"Arni mengangguk. " Insya Allah, semoga keputusan ib
Belajarlah tenang dan sabar. Jalan keluar sebuah masalah dan kemenangan selalu diraih oleh mereka yang tenang dan sabar.***Pagi ini setelah membantu ibunya berbelanja Arni segera bersiap untuk kembali ke pondok. Arni membereskan meja makan sederhana setelah dirinya, Ibu dan bapaknya selesai sarapan. Syafaah dan Herman terlihat sedih, karena Arni tidak lagi ceria seperti biasanya, biasanya Arni selalu cerewet, manja pada sang bapak. Setelah prosesi lamaran semalam Arni menjadi lebih pendiam."Bapak berangkat kerja dulu ya, Bu, Nak." pamit Herman.Arni mengangguk. "Hati-hati, Pak. Setelah ini Arni juga langsung balik ke pondok, Pak" pamitnya."Belajar yang pintar, Nak ya. Jangan pikirin yang belum terjadi, jalanilah hidupmu sebagai santri dan pelajar seperti biasa, bapak harap kamu bisa ceria seperti biasanya," ucap Herman."Iya, Pak," jawab Arni singkat. "Buk, bapak berangkat.""Iya, Pak. Hati-hati."Sebelum Herman sampai di pintu, ada sepeda motor besar yang berhenti di depan
Biasakanlah untuk jujur karena kejujuran itu menuntun kita pada kebaikan dan kebaikan itu menuntun kita pada keselamatan.Dan ....Tinggalkanlah segala yang meragukanmu dan ambillah yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya, kejujuran akan mendatangkan ketenangan, sedangkan kedustaan akan mendatangkan kegelisahan. ***Saat ini Afnan menemui sang abah, Kiyai Laqief. Beliau saat ini berada di perpustakaan pribadinya."Assalamu'alaikum, Abah," sapanya."Wa'alaikumussalam, Nak. Masuklah!" jawab Kiyai Laqief menyudahi aktivitasnya. "Apa saya mengganggu Abah?" tanyanya ragu sebelum masuk ke ruangan itu. "Tidak, Nak. Ada apa? Apa ada hal yang membuatnya gelisah?" Afnan mengangguk. Kiyai Laqief menyuruhnya duduk di sofa sampingnya. "Maafkan saya, Abah," lirihnya."Apa kamu melakukan kesalahan, Nak?""Banyak, Abah. Mungkin dosa Afnan terlalu banyak, Abah. Afnan sudah membagi cinta Afnan untuk Allah pada makhluknya, Afnan tidak bisa menjaga pandangan(gadhul bashar) pada lawan jenis," lirih Af
POV AzzamNamaku Khoirul Azzam Aflah. Bungsu dari enam bersaudara, dengan empat kakak laki-laki dan satu kakak perempuan. Mereka semua menyayangiku. Begitu juga kedua orangtuaku. Dibesarkan di keluarga yang kaya dan dimanja kedua orang tuaku tak membuatku besar kepala. Aku tumbuh mandiri. Semua saudaraku sudah menikah. Mereka semua mengenyam pendidikan di pondok pesantren ternama, dengan latar pendidikan pondok pesantren, mereka mengamalkan ilmu mereka, dua dari kakakku adalah menantu kiyai ternama dan sekarang juga memangku pondok cabang dengan santri yang cukup banyak, dua lagi menjadi dai sekaligus pengusaha. Satu kakak perempuanku juga menjadi pengajar di markas tanfidz. Hanya diriku yang pendidikannya tidak berlatar belakang pesantren, meskipun setiap Romadhon ayahku memasukkanku ke pondok pesantren. Ya, hanya bulan romadhon saja.Sejak kecil aku berkeinginan menjadi seorang polisi. Awalnya keinginanku ditentang ibu. Namun ayahku selalu membujuknya supaya mengizinkanku. Alasan