"Kamu dan Nafa harus pulang ke rumah kita! Berkemaslah, Aku tunggu di luar!" Suara bariton Farhan berucap datar dan dingin.
Nadira hanya mematung mendengar perintah suaminya. Sungguh dia tak mengerti dengan jalan pikiran Farhan. Bukankah dulu suaminya itu berkali-kali mengingatkan bahwa setelah dia melahirkan mereka akan bercerai?Nadira menatap punggung tegap itu hingga menghilang di balik pintu. Perlahan dia masukkan pakaiannya ke dalam tas, sambil menanti perawat yang mempersiapkan kepulangannya dan bayi Nafa."Hendak kemana suamimu, Dira? Sini ibu bantu berkemas!"Bu Ani terheran melihat wajah Nadira yang murung."Ada apa sebenarnya, Nak?" Wanita berhijab lebar yang tak lagi muda itu menyentuh lengan Nadira karena tak mendengar pertanyaannya."Eh, ... maaf tadi ibu bilang apa?" Nadira terperangah dan gugup."Suamimu mau kemana? Tadi ibu lihat dia sedang berjalan di lorong rumah sakit ini. Nampaknya Farhan sedang kesal. Apa kamu sudah membuatnya marah?"Nadira menggeleng."Uda Farhan mungkin hanya kelelahan saja, Bu."Sejak awal Nadira memang tak pernah bercerita pada Ibu dan mamaknya tentang keadaan rumah tangganya yang sebenarnya. Sejujurnya dia pernah berharap agar suaminya mengurungkan niatnya untuk bercerai dan membina rumah tangga yang bahagia bersamanya. Hampir tiap hari Nadira memanjatkan doa di sepertiga malam, memohon pada Sang Pemilik hati. Karena hanya Dia Maha membolak balik hati manusia.Namun keputusasaan akhirnya merajai hati. Nadira pasrah dan mulai mempersiapkan hati untuk menerima segala keputusan suaminya. Wanita yang selalu bertutur kata lemah lembut itu mencoba berbesar hati jika suatu hari Farhan meninggalkan dirinya demi kekasih hatinya."Selamat siang Bu Nadira, ini obat-obatan yang masih harus diminum dan dihabiskan. Untuk vitamin ini, ibu minum setiap hari." Dua orang perawat masuk ke dalam ruang rawat Nadira dan memberikan berbagai penjelasan.Sementara satu perawat menggantikan pakaian bayi Nafa dengan stelan bayi berwarna merah muda bermotif bunga matahari yang sangat lucu. Bayi Nafa terlihat sangat cantik dan menggemaskan.Sementara itu, di salah satu cafe rumah sakit, melalui ponselnya, Farhan sibuk membujuk sang kekasih yang memaksanya untuk makan siang bersama."Mengertilah Erika. Aku sedang menjemput istriku pulang dari rumah sakit.""Suruh saja supirmu! Kenapa harus kamu sendiri yang menjemputnya?" geram Erika dari seberang sana.Farhan menghempas napas kasar."Ini pertama kali Aku menjemput anakku. Mana mungkin supirku yang melakukannya?""Kamu berlebihan, Farhan!" Erika menutup panggilan secara sepihak.Farhan hanya bisa menarik napas panjang. Dia sudah menduga apa yang akan Erika lakukan setelah ini. Dia sudah hapal dengan tingkah laku wanitanya itu. Erika akan berbelanja sepuasnya dengan kartu debit pemberiannya, demi melampiaskan rasa kesalnya pada Farhan.Pria tinggi tegap dengan wajah campuran indojerman itu melangkah kembali menuju ruang rawat Nadira. Sampai saat ini pikirannya tak lepas dari perkataan Nadira tentang rumah yang baru dia beli. Dari mana wanita itu punya uang? Selama ini Farhan memang memberinya uang bulanan. Nadira pun membelanjakan uang itu dengan baik. Istrinya itu termasuk sangat jarang berbelanja. Namun jika ada lebihnya pun sangat tidak mungkin bisa untuk membeli sebuah rumah di kota jakarta ini.Yang Farhan ketahui, Nadira hanyalah gadis kampung yang sejak menikah dia ajak ke jakarta. Selama ini Nadira lebih banyak di rumah, hanya sesekali bertemu dengan teman kuliahnya yang bernama Vivi. Itupun Farhan tak pernah menemani kemanapun Nadira pergi. Farhan hanya sibuk dengan pekerjaan dan kekasihnya, Erika. Hampir tiap hari Erika mengajaknya makan siang atau makan malam."Apa sudah siap?" Farhan membuka pintu ruang rawat Nadira.Istrinya itu telah bertukar pakaian dengan gamis merah muda serta phasmina instan berwarna putih. Nadira tampak lebih segar dan cantik dengan bentuk badannya yang sudah kembali langsing namun lebih padat dan berisi.Farhan tercengang melihat penampilan istrinya. Jakunnya naik turun, susah payah dia menelan salivamya. Jantungnya berdegup kencang saat bertemu mata dengan netra wanita yang telah melahirkan darah dagingnya.Akhirnya Farhan mengalihkan pandangannya pada putrinya yang digendong oleh Bu Ani. Pria berjambang itu tersenyum hangat melihat pakaian putrinya yang berwarna senada dengan Nadira."Nak Farhan, ayo kita berangkat!" ajakan Bu Ani membuyarkan lamunannya.Farhan mengambil alih tas besar di tangan Nadira. Dia memang sengaja tidak membawa supir. Farhan ingin menikmati sendiri momen pertamanya menjadi seorang Ayah. Entah kenapa dia merasa itu adalah sesuatu yang sangat spesial.Perawat datang membawa kursi roda untuk Nadira."Sini, Suster," Farhan meraih kursi itu dan menyodorkannya pada Nadira, memberi isyarat agar istrinya itu duduk.Hati Nadira kembali menghangat melihat perlakuan suaminya yang tak biasa. Diam-diam dia tersenyum melihat Farhan menyelempang tas besar itu pundaknya. Farhan mendorong Nadira yang duduk di kursi roda sambil memangku bayi Nafa. Tanpa mereka sadari, senyum terbit dari wajah keduanya. Entah sampai kapan kehangatan itu akan terus hadir di hati mereka.Selama di perjalanan, Bu Ani lebih mendominasi percakapan. Sungguh suatu suasana yang baru bagi keluarga mereka. Bu Ani yang baru empat hari yang lalu tiba di jakarta, itu pun setiap malam beliau memilih tidur di rumah sakit menemani Nadira, merasakan bahagia yang tak terkira bisa berkumpul dengan anak, menantu dan cucu pertamanya."Ibu masih lama, kan di Jakarta?" tanya Nadira manja."Ibu maunya sih begitu. Tapi nenekmu kan juga sedang sakit di kampung. Mamakmu mana bisa merawat nenek lama-lama," sahut Bu Ani seraya memandangi cucunya."Jika ibu hendak pulang, kasih tau Farhan, biar Farhan pesankan tiket dan antar ke bandara, tapi Farhan berharap Ibu bisa lebih lama di jakarta." "Iya, Nak. Pasti itu. Tak perlu khawatir. Cuma Nak Farhan menantu terbaik ibu satu-satunya." Candaan Bu Ani membuat nyeri hati Nadira.Bagaimana jika Farhan tak lagi menjadi menantu kebanggaan Ibu?..Mobil mewah yang dikendarai Farhan telah tiba di depan sebuah rumah besar bak istana. Seorang security tergopoh -gopoh membukakan pintu gerbang. Bu Ani selalu bangga dengan menantunya ini. Farhan sukses menjadi pengusaha muda meneruskan perusahaan peninggalan sang kakek dan Ayahnya yang berdarah jerman. Kehandalannya dalam berbisnis membuat perusahaannya berkembang sangat pesat. Bu Aisyah juga membuat rumah bak istana di kampung halaman mereka. Menandakan merekalah orang paling berada di desa Kinari.Berbeda dengan keluarga Bu Ani yang hidup sederhana. Biaya sekolah hingga kuliah Nadira pun berasal dari hasil sawah yang tidak seberapa. Oleh sebab itu sejak SMA Nadira telah mulai berbisnis online kecil-kecilan, hingga saat ini tanpa sepengetahuan Ibu dan suaminya, wanita yang sangat berbakat dalam bisnis dan berdagang itu bisa mendirikan sebuah perusahaan berbasis toko online. Walaupun perusahaan yang Nadira miliki tak sebesar perusahaan milik Farhan, Namun Nadira mampu menghasilkan omzet ratusan juta setiap bulannya. Hingga kini dia mampu membeli sebuah rumah dan mobil untuknya.Beberapa pelayan menyambut kedatangan mereka.Nadira dan bayi Nafa langsung menuju kamar mereka yang sudah disiapkan oleh para pelayan.Farhan yang baru saja masuk ke dalam rumah, langsung duduk sejenak di ruang tamu melepas penat. Sebuah nada notifikasi terdengar dari ponselnya. Perlahan pria itu meluruskan kakinya di sofa panjang seraya membuka ponselnya.Matanya membelalak saat melihat notifikasi dari SMS banking yang membuat emosinya tersulut.Sebuah transaksi pengeluaran dengan nominal yang cukup besar baru saja terjadi siang ini dengan kartu debit atas nama diriinya. Kali ini habis sudah kesabaran Farhan. Tak menunggu lama lagi, diraihnya kembali kunci mobil, kemudian dengan langkah lebar Farhan menuju mobilnya yang masih terparkir di depan teras. Dengan kecepatan penuh, Farhan melajukan mobilnya menuju suatu tempat.Fahran melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah jalan kota jakarta yang akrab dengan kemacetan. Tujuannya kali ini adalah sebuah rumah yang terletak di wilayah menteng. Daerah yang dekat dengan perkantoran dan segitiga emas. Pria beralis tebal itu mengumpat dalam hati karena jalanan mulai tidak lancar. Di tengah kemacetan Farhan mencoba menghubungi seseorang dengan ponselnya. "Hallo, Erika kamu di mana?" "Hai, Sayang. Aku baru sampai rumah," sahut Erika manja dari seberang sana. "Tunggu di situ. Jangan ke mana-mana, sebentar lagi aku datang!" tegas Farhan singkat. "Benarkah? So sweet bangeeet. Akhirnya kamu datang juga. Aku tau kamu pasti kangen sama aku, kan, Sayang?" Erika terpekik saking senangnya. Farhan menutup ponselnya secara sepihak. Dia kembali menambah kecepatan mobilnya saat jalan raya mulai lancar. Hingga Farhan berhenti di depan sebuah rumah mewah berlantai dua. Rumah yang dulu dia beli untuk Erika setahun yang lalu, tepatnya beberapa hari sebelum dia p
Erika memandang kagum pada bayangan dirinya di cermin. Pagi ini, wanita berkulit putih dengan mata agak sipit itu sengaja berhias dengan penampilan memukau. Dress selutut berwarna peach dengan high heels berwarna senada membuatnya tampil segar dan cantik. Gadis itu berniat hendak membuat kejutan untuk kekasih hatinya. Mobil sport keluaran terbaru telah terparkir cantik di depan rumahnya. Seorang supir pribadi telah siap mengemudi dan membawa Erika ke tempat tujuan. "Ke mana, Non?" Tanya Dipa sang supir pribadi seraya melirik majikannya dari kaca spion dalam mobil ini.. "Kita ke kantor Farhan!" "Baik, siap, Non!" Dipa langsung melajukan mobil ke arah jalan Jendral Sudirman, yang memang tak jauh dari lokasi rumah Erika. Kantor Farhan memang berada di pusat kota Jakarta, diantara gedung-gedung pencakar langit. Perjalanan belum begitu macet, hingga mereka hanya menempuh waktu lima belas menit sudah tiba di area parkir PT. Elang Naga, milik Farhan Adiguna. Erika turun di lobby utama
Nadira terjaga mendengar tangisan Nafa dari box bayinya. Namun sesuatu yang melingkar diperutnya membuatnya sulit untuk bangkit. Jantung Nadira bedetak cepat saat menyadari sebuah tangan kokoh memeluknya dari belakang. Hembusan napas hangat di belakang lehernya meciptakan desiran hebat di dadanya. "Sejak kapan Uda Farhan tidur di sebelahku?" pikirnya dalam hati. Semalam, setelah mereka berpelukan cukup lama, Farhan masuk ke ruang kerjanya lewat pintu tembus dari kamar mereka, dan tidak kembali hingga Nadira tertidur pulas. Dia mengira , seperti biasanya, Farhan akan tidur di sofa panjang di ruang kerjanya itu sampai pagi. Namun entah kapan suaminya itu kembali dan tertidur di sampingnya. Perlahan Nadira mengangkat tangan kekar yang masih melingkar di perutnya. Namun Tangan itu begitu erat. Tangisan Nafa mulai terdengar kencang. "Uda, maaf! Nafa nangis." Nadira menepuk pelan lengan suaminya. Sontak Farhan terjaga dan melepaskan tangannya. Nadira pun bangkit lalu menghampiri Nafa
Farhan geram karena sejak kemarin Erika tak henti-hentinya menghubungi ponselnya. Dia sengaja tak mengangkatnya karena seharian kemarin Farhan berada di rumah. Dia tidak mungkin menerima panggilan dari kekasihnya itu saat ada Mamak dan mertuanya di rumah. Pagi-pagi sekali Farhan sudah berangkat ke kantor. Banyak pekerjaan yang tertunda. Beberapa meeting dengan relasi bisnis terpaksa diganti jadwalnya. Semua ini karena keinginan Farhan yang lebih suka berada di rumah akhir-akhir ini. Mobil mercy keluaran terbaru milik Farhan telah terparkir sempurna di area parkir khusus untuknya sebagai CEO. Dengan langkah panjang Farhan berjalan menuju lobby hingga menaiki lift ke ruang kerjanya di lantai dua puluh lima. "Selamat pagi, Pak! " Sekretaris Farhan langsung berdiri menyapa atasannya. "Pagi!, Apa semua berkas sudah di letakkan di meja saya, Dian?" "Sudah,Pak. Satu jam lagi ada rapat dengan semua kepala divisi di ruang meeting." Dian, sang sekretaris membacakan jadwal Farhan hari in
Nadira masih shock melihat foto yang muncul pada layar ponselnya. Namun segera dia tutup ketika Bu Ani hendak mendekatinya. "Ada apa, Dira? tanya Bu Ani penasaran. "Tidak apa-apa, Bu. Hanya orang salah kirim. "Ooo ....Ibu kira ada apa." "Dira ke kamar dulu mau lihat Nafa!" pamit Dira seraya berjalan tanpa menunggu jawaban dari Ibu dan Mamaknya. Nadira menutup pintu kamarnya dan kembali membuka ponselnya. Hatinya semakin terluka melihat foto-foto mesra suaminya dengan wanita lain. Wanita itu sangat cantik dan seksi. Raut wajah Farhan terlihat bahagia merangkul wanita itu. Tanpa di sadarinya genggaman tangannya semakin kuat saat mencengkeram ponsel itu. Tubuhnya luruh ke lantai bersandar pada pintu. Selama ini Nadira tahu kalau suaminya memiliki kekasih jauh sebelum menikahinya. Tapi dia masih bisa bertahan untuk tetap bersama Farhan hingga detik ini. Hampir setiap sepertiga malam Nadira memanjatkan doa untuk kebahagiaan keluarga kecilnya. Namun pertahanan yang dia jaga selama i
Mata Farhan melebar melihat seseorang yang sangat dikenalnya, saat ini berada di halaman rumahnya. "Erika ...!' Farhan menggeram. kedua tangannya mengepal. Matanya menatap nanar pada wanita yang telah menjadi kekasihnya sejak tiga tahun yang lalu. Napas Farhan memburu. Kecemasan tingkat tinggi merajai perasaannya kini. Bagaimana tidak. Erika datang saat keluarga besar Nadira sedang berkumpul di rumahnya. Mamak dan ibu mertuanya juga ada di sini. Apa yang akan dia jelaskan nanti? Dia yakin Erika akan nekad. Perempuan itu keinginannya selalu harus terpenuhi. Termasuk agar dirinya segera menceraikan Nadira. Sementara Nadira membelalakkan matanya kala melihat wanita yang sangat persis dengan foto-foto yang di kirim orang tak dikenal ke ponselnya. "Apakah wanita ini yang selalu menerorku akhir-akhir ini?" pikir Nadira dalam hati. Erika masih berusaha untuk masuk ke dalam. Namun security masih belum mengizinkannya. "Mbak Erika, di dalam sedang ada acara keluarga besar Bu Dira. Saya mo
"Uda, mungkin ini sudah saatnya. Mari kita katakan yang sebenarnya pada Mamak danIbu. Setelah itu, ceraikan aku. InsyaAllah aku sudah siap." Parau suara Nadira karena menahan sesak. Susah payah dia menahan agar air mata ini tidak tumpah. Dia tak ingin terlihat rapuh di depan suaminya yang sebentar lagi akan pergi meninggalkannya. Farhan menatap dalam pada manik gelap milik Nadira. Dipandanginya wajah wanita yang sudah setahun ini menjadi istrinya. Kenapa rasa itu baru hadir di saat-saat seperti ini. Rasa takut kehilangan yang kini mengerogoti relung hatinya. Kemana saja dia selama ini. Kenapa baru sekarang dirinya sadar akan arti kehadiran seorang istri sholehah seperti Nadira. Seharusnya dia bersyukur memiliki istri seperti Nadira. Wanita itu tak pernah meminta apapun apalagi menyusahkan dirinya. Bertubi-tubi penyesalan menghantui perasaannya kini. Berkali-kali Farhan merutuki kebodohannya selama ini. "Tidak, Dira. Aku tidak akan menceraikanmu!" Sontak Nadira ternganga mendengar
Wajah Farhan menegang. Saat ini rasa bencinya pada Erika semakin menjadi-jadi. Wanita itu benar-benar telah sukses menghancurkan rumah tangganya. "Tidak! Aku tidak akan menceraikan Dira," tegas Farhan, namun tidak mengurangi sikap hormatnya pada Mamak dan Bu Ani. "Kamu tidak bisa mengelak lagi, Farhan. Mamak yang akan mendampingi Nadira sampai proses perceraian ini tuntas. Perlahan Farhan mendekati Nadira yang duduk di sebelah Bu Ani. "Nadira, tolong katakan pada Mamak, bahwa kita tidak akan bercerai." Farhan memohon pada istrinya dengan raut wajah memelas. Pikiran Nadira saat ini tak lepas dari fofo-foto yang di kirim Erika dalam beberapa hari ini. Betapa mesra suaminya dengan wanita itu. Sungguh hatinya sangat terluka, dan akan lebih terluka lagi jika dia akan tetap bertahan menjadi istri Farhan. "Ayolah, Dira. Katakan pada Mamak! Tolonglah!" Farhan terus memohon pada Nadira yang masih terdiam dan larut dalam pikirannya." Pandangan Nadira beralih pada Suaminya yang berwajah