Oh jika kau meminta aku menjauh
Hilang dari seluruh memori indahmuKan kulakukan semua walau tak mungkin sanggupBohongi hatikuDooorrr..."Ealah copot-copot... Maliiiingggg." Ucap Hendro dengan kencang. Padahal hanya ditepuk pundaknya sama Wulan. Namun, pria itu malah teriak maling.Melihat tingkah Hendro, Wulan malah tertawa terbahak-bahak. Sementara, Hendro mendelik kesal pada gadis reseh itu."Pagi-pagi wes galau ae Ndro....Mending tu cuci mobil nyonya Sandra. Besok dia mau pulang." Ucap Mak Jum."Mak Jum ini ganggu wong galau saja.""Nasib-nasib..." Ucap Hendro sembari menepuk-nepuk handuk pada kaca spion mobil."Eh, tapi beneran Mak Jum kalau besok nyonya Sandra pulang? Emang nggak nambah lagi sekolahnya?" Tanya Hendro."Iyo bener... Ini aku mau ke pasar dulu sama Wulan buat beli keperluan nyonya Sandra." Ucap Jumiati.Terdengar suara gerbang terbuka, datang sosok pria yang memakai baju safari warna hitam. Dia adalah Prasetyo."Tumben isuk-isuk wes podo ngumpul neng ngarep? (Tumben pagi-pagi semua berkumpul didepan)." Tanya Pras."Ini adikmu Pras... pagi-pagi galau karena nggak jadi kawin." Ucap Jumiati."Tenang Ndro, besok aku kenalkan sama tetangga istriku. Gadis kampung banyak yang cantik-cantik dan bahenol." Ucap Pras."Serius loh bang... Aku padamu wes!" Ucap Hendro dengan semangat 45. Jari jempol dan telunjuknya membentuk finger love."Tapi, jangan deh bang. Aku lagi mendekati mbak Hanna.... hehehe" Ucapnya cengengesan."Laahh, mana mau si Hanna sama kamu. Kalau Hanna itu jodohnya bakalan lelaki berkelas. Ndak level sama kamu Ndro..." Ucap Pras dengan keyakinan penuh. Terlihat Hendro yang wajahnya pias menahan rasa sedih.Sementara itu Hanna dan Ratih sedang menata meja makan. Tidak banyak sarapan yang disiapkan, biasanya Arsyad hanya sarapan sandwich dan secangkir kopi."Mbak Hanna.... Besok katanya nyonya Sandra pulang. Wah alamat kita bakal kena sembur tiap hari.." Desis Ratih, lirih.Hanna tidak begitu menanggapi ucapan Ratih karena masih sibuk menyiapkan semuanya.Ehemmm....Suara berdehem seseorang membuat Hanna membatu ditempat. Aroma parfum yang begitu maskulin seolah memenuhi seluruh indra penciumannya.Hanna kembali melipat bibirnya kedalam untuk menahan senyum. Terlintas kembali di ingatannya saat tadi malam majikannya itu memakan mie instan sampai dua mangkok. Bahkan, secangkir minuman oats juga dia habiskan.Arsyad mulai menggeser kursinya, membuat Hanna mundur kebelakang untuk kembali ke dapur. Dia membungkuk pada Arsyad yang kini sudah siap memakan sarapannya."Hanna tunggu___" Suara bass milik Arsyad terdengar menggema.Ratih dan Hanna berhenti berjalan dan saling pandang. Mereka takut ada sesuatu yang salah dengan hidangan yang tersaji. Karena biasanya Jumiati yang menyiapkan semuanya.Hanna menoleh dengan jantung berdebar. Dia melangkah tertatih mendekat ketempat Arsyad. "Iya, Tuan...." Ucapnya lirih, pandangannya menunduk.Arsyad merasa lucu melihat tingkah Hanna. Padahal dia bukan lagi gadis muda. Dia adalah perempuan dewasa. Tapi, tingkahnya lebih lucu daripada gadis-gadis muda."Untuk apa ini Tuan?" Wajahnya bingung menatap beberapa lembar uang seratus ribuan yang diberikan Arsyad padanya."Untuk biaya dua mangkuk mie dan secangkir oats semalam.""Tidak Tuan... Lagipula saya membeli mie dan minuman itu dari gaji saya selama bekerja disini. Sementara untuk memasaknya, saya menggunakan kompor, air, Mangkuk, sendok, cangkir dan semua bumbu juga dari rumah ini." Ucap Hanna. Pandangannya masih menunduk. Tak sekalipun dia menatap Arsyad jika tidak terpaksa.Arsyad menyesap kopinya. Rasanya sangat enak dan takarannya begitu pas. Dan ini jauh lebih nikmat dari kopi buatan brand ternama. Mungkin mulai hari ini dia ingin minum kopi yang rasanya nikmat ini. Batin Arsyad."Siapa yang buat kopi?"Jantung Hanna kembali berdebar kencang. Sementara Ratih terlihat takut dan langsung melangkah mundur ke belakang."S----sayaa tuan...." Jawabnya terbata."Hanna... Sebelumnya kamu kerja apa?" Tanya Arsyad lagi. Arsyad merasa apapun yang dibuat oleh Hanna terasa nikmat sekali di lidahnya. Mungkinkah dia dulu seorang chef?Pertanyaan dari Arsyad kali ini berhasil membuatnya menatap dua manik hitam milik Arsyad. "S---saya hanya customer service disebuah outlet. Dan itu sudah lama sekali... Mungkin sudah lebih dari lima tahun." Ucapnya lirih.Menceritakan pekerjaannya membuat Hanna sedih. Disana dia bisa menemukan banyak teman yang seperti saudara. Dan itu adalah hal indah yang dia dapatkan. Teman yang baik dan lingkungan kerja yang positif. Namun, ia tak bisa kembali bekerja disana karena usianya."Lima tahun?" Arsyad mengerutkan keningnya. Dia tidak paham dengan maksud ucapan Hanna."Iya... Sudah lima tahun saya tidak bekerja Tuan. Karena sebelumnya saya kecelakaan dan lumpuh." Ucapnya jujur."Jadi kamu pernah kecelakaan?""Iya Tuan...." Jawabnya lirih.Ratih melihat dari dalam dapur. Dia terlihat takut jika Hanna akan dimarahi oleh majikannya."Berapa usiamu saat ini Hanna?""32 tahun Tuan.""Sama." sahutnya lirih nyaris tak terdengar."Orang tuamu masih ada? Saudaramu ada berapa? Dan dimana alamatnya mereka?" Tanyanya beruntun dengan bibir yang sibuk mengunyah.Hanna berkedip-kedip tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia merasa saat ini sedang wawancara kerja saja. Padahal dulu dia sudah di wawancarai sebelum akhirnya diterima menjadi pembantu.Saat itu Hanna begitu putus asa. Dia tidak mungkin bisa bekerja ditempatnya dulu. Usia yang tidak muda lagi, ijasah hanya tamatan SMA. Dan yang lebih parah lagi dia tidak bekerja selama lima tahun. Jadi dia minim pengalaman. Dan ketika seorang teman memberitahu ada lowongan menjadi ART. Tanpa ragu dia segera memasukkan lamaran. Meskipun, dia tidak memiliki pengalaman.Dan disinilah Hanna saat ini. Berdiri disamping meja makan Arsyad. Menunggu pria itu selesai makan karena sejak dia terus mengajak Hanna bicara.Merasa tak ada jawaban dari Hanna. Arsyad pun segera menoleh kearahnya."Kau tidak menjawab pertanyaanku Hanna?""Aaah maaf tuan.." Ucapnya gugup."Kedua orang tua saya masih ada. Saya 3 bersaudara. Mereka tinggal di desa yang ada di kabupaten Tulungagung Tuan..." Ucapnya dengan wajah berbinar saat menceritakan keluarganya."Pasti saat hari raya rumahmu sangat ramai. Berbeda sekali dengan rumah ini yang begitu sunyi..." Sahut Arsyad dengan wajah yang terlihat sedih.Hanna bingung, bukankah orang kaya selalu terlihat bahagia saat hari raya tiba. Semua keluarga mereka berkumpul dan bercanda bersama. Seperti yang dilakukan para artis dan selebgram yang selalu menunjukan kebahagiaan mereka melalui media sosial.Sementara Arsyad membayangkan kehidupan keluarga Hanna yang pasti ramai dan menyenangkan. Tidak seperti kehidupannya yang hampa meskipun, dia memiliki banyak uang dan____ istri."Aku berangkat dulu. Nanti saat aku pulang, di dapur itu harus sudah ada tumpukkan mie dan juga minuman yang aku minum tadi malam." Ucapnya tepat di depan Hanna.Hanna baru saja ingin menolak permintaan majikannya. "Ini adalah perintah Hanna. Lakukan saja jika memang kamu masih ingin bekerja disini." Imbuh Arsyad dengan bibir menyunggingkan senyuman.Arsyad berjalan melewati Hanna yang masih menunduk. 'Benar-benar lucu dia itu. Dia sama sekali tidak terlihat seperti wanita 30-an... Semoga dia adalah Hanna yang kucari selama ini.' Batin Arsyad.Setelah Arsyad pergi, Ratih segera mendekat ke tempat Hanna. "Tuan Arsyad marah ya mbak Hanna? Terus ini kenapa ada uang disini?" Tanyanya bingung.Ratih menelengkan kepalanya ke kiri untuk melihat Hanna yang terdiam dengan tatapan tidak jelas alias melamun. Ia melambaikan tangan didepan wajah Hanna."Mbak Hanna are you oke?""Astaghfirullah.... Aku nggak apa-apa Ratih."Hanna melihat kembali lembaran uang diatas meja. Mau tak mau dia nanti harus membeli mie agar dirinya tetap bisa bekerja disini.Pras melajukan mobilnya membelah jalanan kota Surabaya. Pagi yang cerah membuat jalanan begitu padat. Dibeberapa ruas jalan ada yang macet panjang."Pras...""Nggih pak bos...." Jawab Pras, ekor matanya melirik Arsyad melalui kaca spion."Berapa usiamu sekarang?""39 bos... Hehe... Sudah kelihatan tua ini, ubanku sudah bermunculan." Arsyad memang majikannya. Tapi, Arsyad menganggap semua karyawannya sebagai teman dan juga saudara. Hidupnya memang beruntung terlahir menjadi anak orang kaya. Namun, itu tidaklah menyenangkan sama sekali. Dia selalu merasa kesepian, sejak kecil dia tidak memiliki saudara. Bahkan, teman saja dia hanya punya satu. Menyedihkan."Istrimu kapan lahiran?""Satu bulan lagi bos...""Kamu beruntung Pras... Sudah memiliki seorang putra. Dan sebentar lagi anak keduamu lahir."Arsyad menatap kosong kearah gedung-gedung tinggi. Pikirannya menerawang dengan dua hal yang kini ia pikirkan, perceraian dan juga Hanna."Pak bos juga beruntung, memiliki istri nyonya Sandra
"Mbak Hanna-ku...."Hanna yang sedang mengelap meja hanya mampu mengelus dada karena kaget dengan sapaan Hendro. Dia tadi terlalu fokus dan setengah bengong saat bersih-bersih, sehingga tidak menyadari kehadiran Hendro. Bukan melamun sih, lebih tepatnya ingat kembali dengan ucapan Jumiati tadi. "Mereka sudah lama tidak tidur satu kamar. Bahkan, saat bertemu juga tidak saling bicara. Jika nyonya Sandra pulang, Tuan Arsyad justru tidak pulang ke rumah ini. Dia memilih tidur di apartemen."Lucu. Menjadi pasangan orang kaya ternyata tak selalu bahagia. Hanna teringat kembali hubungannya dengan Hardian yang awalnya juga terhalang restu. Hardian pria muda yang berkarir diperusahaan bonafit, sedangkan Hanna hanya seorang pegawai toko.Butuh effort lebih untuk hubungan mereka. Dan saat semua sudah berjalan baik, restu sudah didepan mata, justru takdir berkata sebaliknya. Kematian yang akhirnya menjadi ujung kisah mereka."Apa dek Hendro.....Mbak lagi sibuk ini. Tolong ya jangan diganggu dul
Hanna tersenyum melihat anak kecil yang sedang jalan berlenggak-lenggok. Dia bergaya seolah menjadi model yang sedang berjalan diatas catwalk. Lucu. Dia membayangkan dirinya kecil yang juga sering bertingkah seperti itu. Kadang memang imajinasi anak kecil itu begitu banyak. Berbagai profesi yang sering dibayangkan, bahkan langsung dipraktekkan. Dan rasanya memang sangat menyenangkan. "Hei awasss!" Teriak Hanna.BruukkAnak perempuan itu tersungkur jatuh kesisi jalan, sementara sepeda motor yang menyerempetnya justru kabur. Sungguh tidak bertanggung jawab. Hanna berjalan mendekati anak kecil itu."Kamu nggak apa-apa dek?""Nggak apa-apa Tante...""Ada apa mbak Hanna?"Hendro yang baru datang mengambil motornya begitu kaget saat melihat Hanna dan anak kecil duduk ditrotoar."Mas Hendro, adeknya keserempet motor dan pelakunya malah kabur."Hendro terlihat kaget juga mendengar cerita Hanna. Memang saat sore pasar disini ramai. "Tante antar kamu ke klinik ya biar dibersihkan lukanya.""
Arsyad Gafi mengawasi kesibukan kota Malang dari dalam mobil yang membawanya dari Surabaya. Kota berpenduduk sekitar delapan ratus ribu jiwa itu tampak padat dan semrawut, hampir mirip sekali dengan Surabaya yang baru saja ditinggalkannya. Mungkin karena bertepatan dengan jam sekolah dan jam kerja.Mobil Arsyad terlibat antrean panjang di antara kerumunan sepeda, truk besar dan motor yang menyelip seenaknya di antara deretan mobil-mobil yang tengah merayap de- ngan tidak sabar. Sebuah gerobak yang penuh berisi tumpukan keranjang, ditarik setengah berlari oleh seorang pria, melintas seenaknya di depan mobilnya. Rizal membunyikan klakson panjang dengan jengkel. Tetapi pria yang menarik gerobak itu tetap saja melintas dengan santai, seolah- olah dia tidak mendengar apa-apa.Di pinggir jalan, pedagang sayur dan buah- buahan menjajakan barang dagangannya ditengah kepulan asap truk dan juga banyaknya debu. Begitu banyak namun, buah yang dijual juga hampir sama disemua kios.Arsyad tersenyu
Selesai menjawab pesan dari Rudy, ia melangkah kembali menuju dapur untuk membereskan masakan bersama Jumiati dan yang lain. Sudah beberapa bulan hubungannya dan Rudy berjalan dengan baik. Meskipun, saat ini ia belum berani bertemu kembali dengan nenek Rudy."Semalam kamu tidur jam berapa Han? Emak lihat lampu kamarmu masih menyala sampai tengah malam? Apa kamu mimpi buruk lagi?"Hanna menegang seketika, wajahnya mendadak menjadi pucat. Teringat kembali dengan peristiwa semalam, hingga dirinya tanpa sadar tertidur disana. Tidak mungkin jika dia mengatakan bahwa semalam berada satu ruangan dengan majikannya. Walaupun tidak ada hal buruk terjadi. Tetapi, itu adalah hal yang tidak wajar dan sebuah aib. Dan bisa jadi akan menjadi fitnah."Semalam aku ketiduran Mak, lupa tidak mematikan lampu." Ujarnya lirih."Sudah dapat izin apa belum dari den Arsyad?" Tanya Jumiati lagi."Sudah Mak, besok pagi-pagi aku pulang, mungkin sebelum subuh.""Naik kereta? Kenapa tidak naik travel saja langsung
AKHIRNYA sampai juga Arsyad dirumahnya. Walau datangnya sudah petang, bahkan langit berwarna senja sudah berganti hitam. Namun, tak menyurutkan sama sekali rasa kesal dihatinya. Arsyad langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Wajahnya sudah menahan amarah sejak tadi. Bahkan, saat di jalan saja dia sudah mengomel dengan tidak jelas pada pengendara lain yang mencoba menghambat mobilnya. Belum pernah dia semarah ini. Belum pernah juga dia merasa segera ingin tiba di rumah. Baginya dulu rumah hanyalah tempat untuk tidur dan sekadar berganti baju saja. Tidak ada yang spesial disana. Namun, kini ia begitu nyaman berada di rumah itu. Bahkan, makanan sederhana yang hanya ia lihat di televisi-pun berhasil memanjakan lidahnya. Semua karena kehadiran Hanna.Suasana rumah yang penuh canda tawa hanya ada dalam bayangannya saja. Tidak pernah terwujud hingga usianya lebih dari 30 tahun. Sering dia bertanya, apakah hidupnya akan selalu kesepian seperti ini? Apakah selama hidup ia tidak ak
"Casandra Hermawan! Buka pintunya!"Arsyad kembali mendatangi kamar istrinya. Pintu kamar yang terkunci itu ia gedor berkali-kali.Casandra yang baru membuka telepon seluler, kembali terkejut dengan suara Arsyad. Dia mencoba melangkah setenang-tenangnya. Dan begitu ia membuka pintu, Arsyad menoleh dengan sorot mata tajam yang menakutkan. Pria itu seolah-olah sedang ingin menerkam mangsanya. Wajah pria itu bahkan terlihat lebih menyeramkan dari beberapa saat tadi.Arsyad mendorong pintu kamar Casandra agar terbuka penuh. Sementara, perempuan itu berjalan mundur dengan gugup."Siapa yang menyuruhmu memecat Hanna? Katakan siapa?" Bentak Arsyad, matanya melotot tajam bak sebuah laser."Hah...?" Casandra tersentak kaget. "Hanna siapa?"Arsyad mengangkat sebelah bibirnya ke atas. Tubuhnya semakin meringsek mendekat ke arah istrinya.Casandra terlihat begitu takut. Raut wajahnya pucat seperti pasir. Ia menggenggam telpon miliknya begitu erat. Tangannya berkeringat dan tubuhnya mundur kebelak
Hanna merasa tidurnya belum terlalu lama. Tapi, pundak kirinya terasa begitu berat seolah sedang membawa karung beras. Ingin bergerak rasanya begitu sulit. Pelan-pelan ia mencoba membuka matanya yang masih mengantuk.'Ternyata aku memang sedang membawa beban.' Batin Hanna dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya. Sekali lagi ia mencoba melihat beban apa yang dibawanya. Dan kedua mata indah itu langsung terbuka lebar saat melihat kepala seorang pria yang tertutup topi.'Siapa dia? Kenapa seenak jidat tidur dibahuku?' Hanna berusaha mendorong kepala pria itu agar berpindah dari bahunya. Namun, aroma wangi dari tubuh pria ini sangat tidak asing baginya 'Tapi, tidak mungkin juga jika ini orang yang disampingku adalah dirinya.''Alhamdulillah....' Desisnya lirih setelah berhasil mendorong kepala pria itu."Awwww...." Ucap pria itu.Hanna begitu kaget karena suara bass lelaki disampingnya benar-benar mirip seperti suara Arsyad. "Minum__"Lagi orang disampingnya berbicara. Hanna mencoba u