Share

Bab 4 Kisah Hanna

Oh jika kau meminta aku menjauh

Hilang dari seluruh memori indahmu

Kan kulakukan semua walau tak mungkin sanggup

Bohongi hatiku

Dooorrr...

"Ealah copot-copot... Maliiiingggg." Ucap Hendro dengan kencang. Padahal hanya ditepuk pundaknya sama Wulan. Namun, pria itu malah teriak maling.

Melihat tingkah Hendro, Wulan malah tertawa terbahak-bahak. Sementara, Hendro mendelik kesal pada gadis reseh itu.

"Pagi-pagi wes galau ae Ndro....Mending tu cuci mobil nyonya Sandra. Besok dia mau pulang." Ucap Mak Jum.

"Mak Jum ini ganggu wong galau saja."

"Nasib-nasib..." Ucap Hendro sembari menepuk-nepuk handuk pada kaca spion mobil.

"Eh, tapi beneran Mak Jum kalau besok nyonya Sandra pulang? Emang nggak nambah lagi sekolahnya?" Tanya Hendro.

"Iyo bener... Ini aku mau ke pasar dulu sama Wulan buat beli keperluan nyonya Sandra." Ucap Jumiati.

Terdengar suara gerbang terbuka, datang sosok pria yang memakai baju safari warna hitam. Dia adalah Prasetyo.

"Tumben isuk-isuk wes podo ngumpul neng ngarep? (Tumben pagi-pagi semua berkumpul didepan)." Tanya Pras.

"Ini adikmu Pras... pagi-pagi galau karena nggak jadi kawin." Ucap Jumiati.

"Tenang Ndro, besok aku kenalkan sama tetangga istriku. Gadis kampung banyak yang cantik-cantik dan bahenol." Ucap Pras.

"Serius loh bang... Aku padamu wes!" Ucap Hendro dengan semangat 45. Jari jempol dan telunjuknya membentuk finger love.

"Tapi, jangan deh bang. Aku lagi mendekati mbak Hanna.... hehehe" Ucapnya cengengesan.

"Laahh, mana mau si Hanna sama kamu. Kalau Hanna itu jodohnya bakalan lelaki berkelas. Ndak level sama kamu Ndro..." Ucap Pras dengan keyakinan penuh. Terlihat Hendro yang wajahnya pias menahan rasa sedih.

Sementara itu Hanna dan Ratih sedang menata meja makan. Tidak banyak sarapan yang disiapkan, biasanya Arsyad hanya sarapan sandwich dan secangkir kopi.

"Mbak Hanna.... Besok katanya nyonya Sandra pulang. Wah alamat kita bakal kena sembur tiap hari.." Desis Ratih, lirih.

Hanna tidak begitu menanggapi ucapan Ratih karena masih sibuk menyiapkan semuanya.

Ehemmm....

Suara berdehem seseorang membuat Hanna membatu ditempat. Aroma parfum yang begitu maskulin seolah memenuhi seluruh indra penciumannya.

Hanna kembali melipat bibirnya kedalam untuk menahan senyum. Terlintas kembali di ingatannya saat tadi malam majikannya itu memakan mie instan sampai dua mangkok. Bahkan, secangkir minuman oats juga dia habiskan.

Arsyad mulai menggeser kursinya, membuat Hanna mundur kebelakang untuk kembali ke dapur. Dia membungkuk pada Arsyad yang kini sudah siap memakan sarapannya.

"Hanna tunggu___" Suara bass milik Arsyad terdengar menggema.

Ratih dan Hanna berhenti berjalan dan saling pandang. Mereka takut ada sesuatu yang salah dengan hidangan yang tersaji. Karena biasanya Jumiati yang menyiapkan semuanya.

Hanna menoleh dengan jantung berdebar. Dia melangkah tertatih mendekat ketempat Arsyad. "Iya, Tuan...." Ucapnya lirih, pandangannya menunduk.

Arsyad merasa lucu melihat tingkah Hanna. Padahal dia bukan lagi gadis muda. Dia adalah perempuan dewasa. Tapi, tingkahnya lebih lucu daripada gadis-gadis muda.

"Untuk apa ini Tuan?" Wajahnya bingung menatap beberapa lembar uang seratus ribuan yang diberikan Arsyad padanya.

"Untuk biaya dua mangkuk mie dan secangkir oats semalam."

"Tidak Tuan... Lagipula saya membeli mie dan minuman itu dari gaji saya selama bekerja disini. Sementara untuk memasaknya, saya menggunakan kompor, air, Mangkuk, sendok, cangkir dan semua bumbu juga dari rumah ini." Ucap Hanna. Pandangannya masih menunduk. Tak sekalipun dia menatap Arsyad jika tidak terpaksa.

Arsyad menyesap kopinya. Rasanya sangat enak dan takarannya begitu pas. Dan ini jauh lebih nikmat dari kopi buatan brand ternama. Mungkin mulai hari ini dia ingin minum kopi yang rasanya nikmat ini. Batin Arsyad.

"Siapa yang buat kopi?"

Jantung Hanna kembali berdebar kencang. Sementara Ratih terlihat takut dan langsung melangkah mundur ke belakang.

"S----sayaa tuan...." Jawabnya terbata.

"Hanna... Sebelumnya kamu kerja apa?" Tanya Arsyad lagi. Arsyad merasa apapun yang dibuat oleh Hanna terasa nikmat sekali di lidahnya. Mungkinkah dia dulu seorang chef?

Pertanyaan dari Arsyad kali ini berhasil membuatnya menatap dua manik hitam milik Arsyad. "S---saya hanya customer service disebuah outlet. Dan itu sudah lama sekali... Mungkin sudah lebih dari lima tahun." Ucapnya lirih.

Menceritakan pekerjaannya membuat Hanna sedih. Disana dia bisa menemukan banyak teman yang seperti saudara. Dan itu adalah hal indah yang dia dapatkan. Teman yang baik dan lingkungan kerja yang positif. Namun, ia tak bisa kembali bekerja disana karena usianya.

"Lima tahun?" Arsyad mengerutkan keningnya. Dia tidak paham dengan maksud ucapan Hanna.

"Iya... Sudah lima tahun saya tidak bekerja Tuan. Karena sebelumnya saya kecelakaan dan lumpuh." Ucapnya jujur.

"Jadi kamu pernah kecelakaan?"

"Iya Tuan...." Jawabnya lirih.

Ratih melihat dari dalam dapur. Dia terlihat takut jika Hanna akan dimarahi oleh majikannya.

"Berapa usiamu saat ini Hanna?"

"32 tahun Tuan."

"Sama." sahutnya lirih nyaris tak terdengar.

"Orang tuamu masih ada? Saudaramu ada berapa? Dan dimana alamatnya mereka?" Tanyanya beruntun dengan bibir yang sibuk mengunyah.

Hanna berkedip-kedip tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia merasa saat ini sedang wawancara kerja saja. Padahal dulu dia sudah di wawancarai sebelum akhirnya diterima menjadi pembantu.

Saat itu Hanna begitu putus asa. Dia tidak mungkin bisa bekerja ditempatnya dulu. Usia yang tidak muda lagi, ijasah hanya tamatan SMA. Dan yang lebih parah lagi dia tidak bekerja selama lima tahun. Jadi dia minim pengalaman. Dan ketika seorang teman memberitahu ada lowongan menjadi ART. Tanpa ragu dia segera memasukkan lamaran. Meskipun, dia tidak memiliki pengalaman.

Dan disinilah Hanna saat ini. Berdiri disamping meja makan Arsyad. Menunggu pria itu selesai makan karena sejak dia terus mengajak Hanna bicara.

Merasa tak ada jawaban dari Hanna. Arsyad pun segera menoleh kearahnya.

"Kau tidak menjawab pertanyaanku Hanna?"

"Aaah maaf tuan.." Ucapnya gugup.

"Kedua orang tua saya masih ada. Saya 3 bersaudara. Mereka tinggal di desa yang ada di kabupaten Tulungagung Tuan..." Ucapnya dengan wajah berbinar saat menceritakan keluarganya.

"Pasti saat hari raya rumahmu sangat ramai. Berbeda sekali dengan rumah ini yang begitu sunyi..." Sahut Arsyad dengan wajah yang terlihat sedih.

Hanna bingung, bukankah orang kaya selalu terlihat bahagia saat hari raya tiba. Semua keluarga mereka berkumpul dan bercanda bersama. Seperti yang dilakukan para artis dan selebgram yang selalu menunjukan kebahagiaan mereka melalui media sosial.

Sementara Arsyad membayangkan kehidupan keluarga Hanna yang pasti ramai dan menyenangkan. Tidak seperti kehidupannya yang hampa meskipun, dia memiliki banyak uang dan____ istri.

"Aku berangkat dulu. Nanti saat aku pulang, di dapur itu harus sudah ada tumpukkan mie dan juga minuman yang aku minum tadi malam." Ucapnya tepat di depan Hanna.

Hanna baru saja ingin menolak permintaan majikannya. "Ini adalah perintah Hanna. Lakukan saja jika memang kamu masih ingin bekerja disini." Imbuh Arsyad dengan bibir menyunggingkan senyuman.

Arsyad berjalan melewati Hanna yang masih menunduk. 'Benar-benar lucu dia itu. Dia sama sekali tidak terlihat seperti wanita 30-an... Semoga dia adalah Hanna yang kucari selama ini.' Batin Arsyad.

Setelah Arsyad pergi, Ratih segera mendekat ke tempat Hanna. "Tuan Arsyad marah ya mbak Hanna? Terus ini kenapa ada uang disini?" Tanyanya bingung.

Ratih menelengkan kepalanya ke kiri untuk melihat Hanna yang terdiam dengan tatapan tidak jelas alias melamun. Ia melambaikan tangan didepan wajah Hanna.

"Mbak Hanna are you oke?"

"Astaghfirullah.... Aku nggak apa-apa Ratih."

Hanna melihat kembali lembaran uang diatas meja. Mau tak mau dia nanti harus membeli mie agar dirinya tetap bisa bekerja disini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status