"EMANGNYA lo cinta sama gue?" Detik pertama, Rein mengerjap. Dia bisa saja jujur dan mengiyakannya. Namun, taruhannya terlalu besar. Jika Irin setuju mereka benar-benar akan hidup bahagia, tapi jika tidak ... hubungan mereka akan berubah menjadi canggung dan itu sangat berbahaya. Rein pun berpikir untuk mengiyakan sekaligus menyerang balik istrinya. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Irin yang kini sedang duduk di depannya. "Emangnya lo nggak?" Irin tampak terkejut mendengar pertanyaan yang balik menyerangnya itu. Wajahnya dengan perlahan mulai memerah, tapi hanya sebentar karena detik berikutnya dia mulai menggelengkan kepala dan menatap Rein tajam. "Alah, lo bilang kayak gitu paling karena mau minta jatah lagi dari gue, kan?" Irin menebak, langsung tepat sasaran dan menusuk Rein yang diam-diam ingin mencuri sebuah ciuman. Rein tersenyum masam. Dia langsung menjauhkan wajahnya dan menatap Irin dengan tatap putus asa. Padahal dia sangat berharap ini adalah sebuah kesempatan yang se
SEJAK tadi mereka terus seperti ini. Irin ingin segera melepaskan diri. Dia ingin mandi, membersihkan tubuh, kemudian membuatkan sarapan untuk mereka pagi ini. Namun, Rein belum mau berhenti. Setelah percintaan panas mereka selesai, Rein terus menerus menghujani wajah Irin dengan ciuman kecilnya. Pria itu tidak mau berhenti, bahkan saat Irin merengek atau menutupi wajahnya menggunakan tangan, Rein hanya berpindah ke tempat lain yang tidak tertutupi kedua tangannya. Irin sempat berpikir pria itu menginginkannya lagi, mengingat kebiasaan mereka yang selalu melakukannya lebih dari tiga kali. Namun, pria itu tidak meminta seperti biasa saat Rein menginginkannya lagi. Rein hanya memeluk tubuh Irin dengan erat dan menciumi seluruh bagian wajahnya, tanpa terkecuali. Perbuatan itu layaknya dia sangat menyayangi Irin dan tidak ingin melepaskan Irin dari dekapan kedua tangannya. Irin mengembuskan napas pasrah. "Rein, sampai kapan mau kayak gini? Gue mau bikin sarapan, bentar lagi lo mau ber
REIN menyempatkan diri untuk mengirim pesan di sela kesibukan. Padahal Rein nyaris tidak pernah menggunakan ponsel jika tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Alasan itu pula yang membuat Jake harus mendatanginya ke kantor, hanya untuk meminta nomor Syila.Rein : Udah berangkat?Namun untuk Irin, Rein pasti akan membuat pengecualian.Selama ini, Rein selalu berharap Irin mau menghubunginya lebih dulu. Minimal mengirim sebuah pesan padanya. Namun, Irin tidak pernah mau melakukannya.Irin sepertinya sadar, jika Rein nyaris tidak pernah menggunakan ponsel saat sedang bersamanya. Terbukti saat Rein berkata, kata sandi ponselnya tidak pernah berubah sejak masih SMA. Rein pasti tidak pernah mengotak-atik ponselnya seperti kebanyakan orang yang nyaris tidak pernah lepas dari benda segiempat tersebut.Tak lama kemudian jawaban dari Irin masuk ke ponselnya.Irin : Belum. Gue masih males, masih mau tidur.Jawaban itu membuat Rein menghentikan tangannya yang sedang mengetik sebuah laporan. Dia
SEJAK pagi Irin memang merasa malas melakukan apa-apa. Terlebih setelah Rein berangkat kerja. Bukannya dia lelah setelah seks panas yang mereka lakukan sebelumnya. Irin lebih curiga kalau tamu bulanannya sudah hampir tiba.Irin memang biasanya merasa malas melakukan apa pun saat tamu bulanannya datang. Dia yang setiap hari selalu dilayani pembantu rumahnya jadi semakin malas bergerak setiap kali tamu bulanannya hampir tiba. Namun, kini dia tidak lagi tinggal di rumah megah milik orang tuanya.Dia memutuskan pergi. Tidak. Dia memang mau melarikan diri.Rumah mewah itu laksana sebuah penjara yang sengaja mengurung Irin di dalamnya. Menjadikannya seekor burung yang disembunyikan di balik sangkar tanpa adanya sebuah pintu keluar. Entah sejak kapan semuanya bermula, tapi sayapnya telah tiada sejak dia meninggalkan bangku SMA.Tidak. Irin tahu pasti kenapa semuanya bisa jadi seperti ini. Kenapa dia bisa kehilangan kendali dan tidak pernah sekali pun bisa menjadi mandiri.Setelah peristiwa i
WALAUPUN mereka terikat oleh darah yang begitu kental, tapi kenyataannya Rein tidak pernah sekali pun bisa memahami bagaimana pemikiran ayahnya.Bagi Rein, Raffa penuh rahasia. Dia begitu tertutup dan tidak tersentuh olehnya. Padahal Syila sangat dekat dengan ayah mereka, tapi entah kenapa Rein tidak bisa melakukan hal serupa.Rein bahkan merasa kalau selama ini Raffa selalu membencinya. Seperti Rein bukanlah anak kandung Raffa—yang tentu saja disangkal habis-habisan oleh mamanya. Namun, Rein sudah merasakan kebencian itu sejak dia masih balita. Alasan itulah yang membuat Rein tanpa sadar mulai menjaga jarak dari ayahnya. Dia juga tidak begitu tertarik menggunakan nama keluarganya saat bergaul bersama teman-temannya, karena mungkin saja dia bukan keturunan asli keluarga Gunawan.Walaupun demikian, nyatanya Raffa masih cukup perhatian pada Rein dengan cara yang tidak biasa. Seperti memberi bonus lebih di slip gajinya atau menanyakan kabarnya melalui Allen maupun Evan sepupunya.Kadang
MAKAN siang bersama mantan tidak pernah ada dalam sejarah agendanya. Walaupun dia pernah menjalin hubungan berulang kali dengan seorang pria, tapi Irin selalu memastikan hubungan mereka telah berakhir tepat setelah mereka memutuskan untuk berpisah.Tentu saja, kecuali mantan pacarnya yang satu ini, karena Irin mengakhiri hubungan mereka secara sepihak.Kebanyakan mantan pacarnya adalah orang yang baik dan tahu etika. Sekali pun mereka playboy ataupun bajingan sebelumnya, tapi mereka masih tahu diri saat berpacaran dengannya. Mereka tidak pernah berbuat kurang ajar, apalagi sampai memaksa hanya untuk bisa tidur dengannya. Perbuatan baik mereka jelas membuat Irin melakukan hal serupa.Keputusan mereka untuk berpisah pun biasanya karena keduanya memang merasa tidak cocok satu sama lain. Irin melepaskan mereka tanpa beban, karena pada dasarnya dia tidak pernah serius saat menjalin hubungan. Dia hanya ingin sedikit mengobati rasa takutnya pada seorang pria dan untungnya semua mantan kekasi
SEBUAH tangan mencengkeram pergelangan tangan Joan yang sedang memegangi tangan Irin secara tiba-tiba. Irin mendongak, dia tidak menyangka akan melihat wajah suaminya berada di sana. Irin hanya bisa mengerjapkan kedua matanya.Tidak. Sepertinya ada yang salah. Rein sedang bekerja. Tidak mungkin dia bisa muncul di sini secara tiba-tiba. Apalagi menggunakan hoodie berwarna merah bata.Jelas dia bukan suaminya. Lalu, siapa dia? Kenapa dia berwajah sama seperti suaminya?"Bisa lo lepasin dia?" Suaranya terdengar terlalu berat dan mengancam. Walaupun cara dia bicara cukup mirip dengan Rein, tapi mereka jelas dua orang yang berbeda.Joan mendengkus keras saat melihat Rein lah yang telah mengganggu kesenangannya. "Laki lo yang sok itu ternyata bisa muncul di mana-mana, ya?" sindirnya secara terang-terangan."Masalah buat lo?" Rein palsu itu menatap tangan Joan yang tak kunjung melepaskan tangan Irin. Dia pun mencengkeram tangan Joan lebih kuat l
REIN nyaris melupakan hal penting mengenai identitas yang selama ini sengaja tak disebutkan olehnya. Dia sudah bersiap dengan segala teriakan yang mungkin akan merusak gendang telinganya. Untung saja saat dia membuka pintu ruang divisi, dia bisa melihat atasannya sedang mengawasi mereka semua.Rein hanya tersenyum sopan, kemudian berlalu menuju meja kerjanya sendiri. Tentu saja atasannya sudah tahu siapa dia, karena saat pesta pernikahannya tempo hari, orang itu berada di sana, menjabat tangannya, dan mengucapkan selamat padanya.Jo dan Ferdi langsung mendesis saat melihat kedatangannya. "Awas aja lo ntar!" "Kenapa? Pada mau minta traktiran, ya?" Rein menahan tawanya dengan susah payah saat menggoda teman-teman kerjanya itu."Harus, lah!""Sori, hari gajian masih lama! Kartu kredit gue dibawa sama istri tercinta!" Rein hanya tertawa tanpa suara dan membuat Jo maupun Ferdi langsung menimpuk kepalanya menggunakan kertas yang sudah diremas