Setelah selesai dengan aktivitas memabukkan itu, Sean terlelap tidur. Sedangkan Zie hanya bisa terbaring dengan air mata yang sesekali menetes di pipi. Ia ingin memaki diri sendiri, bagaimana bisa menyerahkan kesucian ke pria yang bahkan tak pernah menganggap dirinya ada. Meski begitu Zie juga marah, pikirannya tertuju ke orang yang ingin menjebaknya. Ia yakin pria yang memberikannya kunci kamar 712 adalah pria bayaran suruhan orang yang benci kepadanya.
Dengan susah payah Zie meredam gejolak perasaan di hati, dia menggeser badan, memunguti baju yang tercecer di lantai. Meski perasaan tak nyaman menghantamnya dari banyak sisi, mahkotanya serasa mengapit duri, tenggorokannya bahkan tercekat karena kehausan, dia ingat selama Sean menumbuk bibirnya tak berhenti mendesah.
“Tenang Zie, lupakan kejadian ini dan fokus kembali. Anggap semua ini tidak pernah terjadi,” gumam Zie. Ia mengendap keluar dari kamar itu meninggalkan Sean seorang diri.
Beberapa jam kemudian, Sean bangun dengan kepala yang masih terasa berputar. Ia bahkan harus susah payah menegakkan badan lalu bersandar pada headboard. Sean meraih ponsel di atas nakas, dia baru saja berniat menghidupkan daya ponselnya yang sejak kemarin sengaja dimatikan, tapi lebih dulu terkejut melihat tubuh bagian atasnya tak mengenakan baju. Sean menyibakkan selimut dan semakin tak percaya mendapati dirinya telanjang. Sean melompat turun, matanya seketika membelalak melihat noda darah di sprei.
“A-a-apa yang terjadi?” Sean kebingungan, dadanya bahkan berdetak membayangkan bahwa semalam dia sudah bercinta dengan seorang wanita.
“Aaera? Tidak mungkin, kami sudah putus. Dia tidak tahu aku di sini,” gumam Sean sambil memegang kening dan mencoba mengingat peristiwa yang sudah dilaluinya. “Bukankah kemarin aku sudah ingin pulang, bagaimana …. “
Sean menyugar rambut dan menggelengkan kepala. Ia memilih untuk mengabaikan semua itu dan memutuskan untuk bergegas mandi lalu pergi. Namun, saat mengancingkan kemeja sambil menatap noda di atas ranjang, Sean melihat sebuah anting wanita, dia pun memungut benda itu dan menatapnya lekat.
“Dia pasti tidak sadar meninggalkan ini.”
_
_
Mengubur dalam-dalam kejadian sebulan lalu bersama Sean, hidup Zie pun berjalan normal kembali. Siang itu dia menyempatkan diri bertemu dengan sahabat baiknya di sebuah restoran bergaya western. Zie tersenyum lebar kala Marsha melambaikan tangan. Mereka seumuran, bedanya Marsha sudah menikah dan memiliki satu anak. Wanita itu adalah sepupu Sean, putri tunggal dari adik Daniel Tyaga.
“Senang sekali bisa bertemu dengan nona calon wali kota.”
Marsha menggoda lantas berdiri, dia memeluk Zie, tak lupa mencium pipi kanan dan kiri. Meski sudah sering bertemu, tapi begitulah tingkah ke duanya.
“Jangan membicarakan pekerjaan denganku, lebih baik kamu bercerita tentang gosip yang sedang hangat diperbincangkan di sekolah anakmu,” jawab Zie diikuti lirikan mata yang menyipit.
Marsha tertawa, dia menopang dagu memandangi sang sahabat yang sibuk membolak-balik buku menu. Bibirnya terasa ragu mengatakan hal ini, tapi tetap saja jika membahasnya dia yakin Zie pasti akan bersemangat.
“Sean sepertinya tidak jadi menikah dengan Aaera. Meraka putus,” kata Marsha.
Benar saja, tangan Zie seketika berhenti membalik buku Menu. Namun, dia tidak merespon secara berlebihan informasi yang diberikan oleh sahabatnya itu.
“Oh … benarkah? kenapa?” tanya Zie, dia sekilas menatap Marsha lalu kembali fokus ke buku menu.
“Aaera berselingkuh.”
“Hah … “
Melihat respon Zie, Marsha pun tersenyum lebar. Ia yakin sahabatnya pasti senang mendengar kabar kandasnya hubungan sang sepupu.
“Ayo Zie, apa kamu tidak ingin mengambil kesempatan emas ini? Dua belas tahun kamu memendam perasaan pada Sean. Bahkan hubunganmu dengan banyak pria tidak pernah berlangsung lama, coba ungkapkan lagi perasaanmu padanya. Masa sekali ditolak kamu langsung mundur selamanya?” cerocos Marsha.
“Kamu pikir aku tidak punya malu?” sembur Zie, dan seketika kenangan one night stand bersama Sean berputar lagi di ingatannya.
“Ya, aku tidak tahu malu, andai saja kamu tahu apa yang sudah aku lakukan,” gumam Zie dalam hati.
Mendapati ekspresi sang sahabat, Marsha pun tidak ingin menggoda lagi. Ia pun memilih membahas hal lain, sampai tak terasa makanan yang mereka pesan sudah datang dan kini disajikan oleh pelayan.
Seperti biasa, Marsha pasti akan memesan steak dengan tingkat kematangan sempurna, sedangkan Zie memilih setengah matang. Namun, kali ini ada yang berbeda. Melihat daging yang masih merah saat dipotong membuat Zie tiba-tiba merasa enek. Semua indera yang ada di tubuhnya serasa menolak.
“Zie, kamu kenapa?” tanya Marsha kebingungan. Ia biarkan saja Zie bangkit dari kursinya dan berlari menuju kamar mandi.
Marsha ingin menyusul, tapi takut karena banyak barang pribadi seperti dompet, kunci mobil dan tas di kursi dan meja. Akhirnya dia pun memilih menunggu Zie sampai kembali.
Zie mengeluarkan isi perutnya di kamar mandi, cairan bening sampai nampak membasahi sudut matanya. Zie membasuh mulut lalu mencuci tangannya dengan air, tapi tak lama tangannya gemetar. Zie baru ingat belum mendapat tamu bulanannya.
“Ti-ti-tidak, tidak mungkin!” elaknnya. “Mana mungkin melakukan hal itu sekali dan langsung menjadi bayi,” gumam Zie. “Banyak pasangan yang menikah bertahun-tahun tapi tak kunjung memiliki bayi, hebat sekali jika dalam sekali pembibitan langsung jadi.”
Zie tertawa-tawa sendiri, hanya saja tawanya terlihat sangat aneh. Ia takut, tangannya bahkan masih saja gemetar.
Beberapa hari berselang, Zie bangun lebih pagi dari semua orang yang ada di rumah. Ia berdiri di depan wastafel kamar mandi dengan sebuah tespek di tangan. Kemarin dia masih berpikir bahwa dirinya hanya masuk angin atau maag, karena terlalu sibuk bekerja sampai lupa makan. Namun, tamu bulanannya memang tak kunjung datang dan ini membuatnya cemas. Zie memejamkan mata, dia melepas celana lantas duduk di atas closet. Tangannya mengulur untuk memastikan ujung alat uji kehamilan itu terkena cairan urine miliknya. Setelah satu menit, Zie mengangkat kembali alat itu dengan dada berdebar. Matanya seketika membeliak melihat dua garis merah tercetak tebal di sana.“Tidak! tidak mungkin!”Zie menunduk. Rasa sesal kini menghantam dadanya bagai palu tak kasat mata. Ia menangis sambil membungkam mulut. Zie merasa bersalah dan kini bingung harus bagaimana. Sedangkan meminta pertanggungjawaban Sean adalah hal yang tidak mungkin dia lakukan, pria itu pasti akan berpikir dirinya sengaja menjerat denga
“Se-Sean, untuk apa dia ingin bertemu?”Tangan Zie gemetar saat membaca pesan yang dikirimkan oleh Sean. Keringat pun mulai membasahi kening karena takut. Bukannya membalas, Zie memilih mengabaikan pesan itu, dia merasa tidak perlu membalas. Hingga satu pesan kembali masuk tapi kali ini dari Marsha. Sahabatnya itu memberitahu bahwa Sean tadi meminta kontaknya.[ Apa diam-diam kamu dekat dengan Sean? Apa yang tidak aku tahu Zie?]Zie terdiam cukup lama, dia membaca berulang pesan yang dikirimkan oleh Marsha. Kali ini entah kenapa dia merasa sangat bersalah. Jika ke Marsha saja dia sampai merasa seperti ini, lalu bagaimana ke orangtuanya? Zie mencoba bersikap biasa, dia membalas pesan dari Marsha karena tahu sahabatnya itu pasti akan menerornya jika dia tidak bicara atau sekadar menjelaskan.[ Dekat apa? jangan ngaco! Mungkin dia ada urusan dengan LPA][ Ayolah Zie, Sean bahkan belum punya anak, mana mungkin dia menghubungimu untuk urusan itu?]Zie memilih untuk tidak membalas lagi pes
“Sean, menurutku kamu tidak rugi.”Zie berucap lagi, berusaha membuat pria di depannya ini untuk tidak memikirkan atau merasa bertanggungjawab dengan apa yang terjadi di antara mereka.“Apa kamu memang seperti ini, Zie? Sejak dulu?” Sean membalas ucapan Zie kemudian menarik sudut bibir.“A-a-pa?” Zie kehilangan kata sejenak sebelum berhasil menguasai pikirannya kembali. “Ah … ya, aku memang begini.”“Apapun yang kamu pikirkan tentangku, pikirkan saja terus seperti itu. Aku tahu bahwa aku sama sekali tidak baik di matamu,” gumam Zie di dalam hati.“Baiklah! aku hanya ingin mendengar ini darimu. Jadi mari kita tutupi semua yang terjadi hari itu. Anggap saja hanya sebuah mimpi buruk yang tidak perlu diingat kembali,” ucap Sean. Pria itu berdiri lalu merogoh kantung celana. Sean mengeluarkan sejumlah uang lalu meninggalkannya di meja.“Nikmati makanmu! Aku masih banyak urusan.” Setelah berucap seperti itu, Sean pergi meninggalkan Zie seorang diri di restoran. Mata gadis itu mulai berair
“Dok, Anda dicari – “Raiga sedang membaca rekam medis salah satu pasien siang itu, saat seorang perawat masuk ke ruangannya. Pria itu melepas kacamata dan bertanya siapa yang mencari dirinya sampai ke rumah sakit. Namun, belum juga si perawat menjawab, dua orang berbadan tegap dengan kemeja warna gelap masuk ke dalam.“Dokter, kami butuh bantuan Anda,” ucap salah satunya“Bantuan, apa masalah yang sama lagi? klinik aborsi?” Tebakan Raiga diamini dengan anggukan kepala dua orang itu.__Sementara di tempat lain, Zie tengah harap-harap cemas. Menggunakan baju kasual, topi dan masker. Wanita itu benar-benar mendatangi klinik yang dia temukan di internet kemarin. Ia duduk di selasar menunggu antrian seperti beberapa pengunjung yang lain. Zie menoleh ke kanan dan kiri, setan sudah merasuki nuraninya hingga bertindak sampai sejauh ini. Ia merasa tidak bisa mempertahankan bayinya, tidak. Ini terlalu sulit untuk dihadapi seorang diri. Zie mencoba bersikap tenang, meyakinkan diri bahwa se
“Bukan! bukan Sean, bagaimana kamu bisa berpikir itu Sean.”Zie membuang muka, dia memejamkan mata karena hampir saja ketahuan Raiga. Demi apapun, dia tidak ingin sampai masalah ini diketahui banyak orang apalagi Sean. Ia yakin pria itu akan semakin membencinya, karena dia sudah berkata untuk melupakan ini.“Tetap saja Zie, kamu hampir melakukan tindakan bodoh dengan menggugurkan kandungan. Apa kamu tahu apa akibatnya jika sampai melakukan itu? pertama kamu mungkin akan mengalami pendarahan, ke dua jika prosesnya tidak steril kamu bisa terkena penyakit lain, apa kamu mau?” amuk Raiga. “Belum lagi dosa yang harus kamu tanggung, bagaimana jika kamu tidak akan bisa hamil lagi?”Zie menggeleng, dia takut dengan penjelasan Raiga. Meski begitu dia tetap saja tidak memiliki ide lain selain membuang bayi itu.“Kenapa kita ke sini?” tanya Zie mendapati Raiga membelokkan mobil masuk ke dalam rumah sakit miliki ibunda Marsha. “Mau apa?” Zie ketakutan, dia bahkan memegang erat sabuk keselamatan
"Iya bayi, Zie dia … “Marsha menjeda lisan. Belum juga rasa keterkejutan Sean terjawab. Daniel dan Ghea nampak berjalan ke arah mereka. Terang saja baik Marsha, Sean dan Raiga memilih untuk diam. Pasangan suami istri itu heran melihat ke tiganya berkumpul, hingga bertanya apa yang sedang mereka bahas.“Tidak ada, kami hanya rindu Omano,” ucap Raiga. Ia memilih berbicara lebih dulu dari pada menunggu Marsha atau Sean, dan malah membuat orangtuanya semakin curiga.“Ayo kita tunggu pak Rudi di ruang tengah,” ucap Daniel. Pria itu masih terlihat sangat tampan meski usianya sudah tak lagi muda. “Sampai mana papimu, Sya?” tanyanya ke sang keponakan.“Papi bilang sebentar lagi akan sampai,” jawab Marsha. Matanya terus tertuju pada Sean yang menatapnya datar.🍀Semua orang akhirnya berkumpul mendengarkan surat wasiat Nova yang akan dibacakan oleh Rudi. Pengacara yang sudah renta itu terlihat membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung, sebelum memandangi satu persatu anggota keluar
❤ Selamat Membaca ❤Pagi itu Zie dibuat khawatir karena ratusan pendukungnya berdemo di depan LPA. Mereka menyayangkan keputusan Zie mundur dari pemilihan wali kota dengan alasan yang kurang bisa diterima. Padahal, dirinya sudah digadang-gadang akan menjadi pemimpin yang bisa membawa perubahan bagi masyarakat, banyak pendukung Zie yang merasa kecewa. Mereka menuntut penjelasan dan berusaha menahan Zie untuk tidak menyerahkan surat pengunduran diri sebagai calon wali kota ke badan yang menangani pemungutan suara.Zie bingung bahkan mondar-mandir di ruang kerja, dia memilih untuk tidak menemui para pendukung di luar. Ia menghubungi Surya – pria yang merupakan ketua tim pemenangannya dalam pemilihan nanti. Zie meminta Surya untuk mengendalikan masa di luar kantor, dia berjanji akan menemui perwakilan pendukungnya untuk diajak berdiskusi bersama.Sementara itu di ruangan lain di LPA, dua orang pria dan satu wanita sedang berbincang membicarakan keputusan Zie yang tak lain adalah direktur
❤Selamat Membaca❤ Marsha terdiam beberapa menit, hingga membuat orang-orang yang ada di dekatnya heran, apa yang sebenarnya ingin ditanyakan olehnya ke Zie dengan tatapan serius seperti ini. Namun, pada akhirnya ibunda bocah bernama Serafina itu merasa tak tega membongkar aib sahabatnya sendiri. “Kenapa kamu mundur mencalonkan diri sebagai wali kota? Padahal aku yakin kamu pasti akan terpilih.” “Hah … apa?” Zie kaget, dia tak menyangka bahwa pertanyaan Marsha adalah masalah pencalonan dirinya dan bukan kehamilannya. Gadis itu nampak lega, meski agak canggung juga saat keputusan yang dibuat dipertanyakan alasannya. “Aku masih memikirkan itu, aku bahkan belum mendatangi kantor badan pemungutan suara untuk mengundurkan diri secara resmi,” jawab Zie. Marsha menganggukkan kepala lalu memilih membahas hal lain. Salah satunya tingkah Serafina yang semakin menggemaskan. Bocah yang sebentar lagi masuk SD itu memiliki bakat di bidang marketing. Setiap kali ada kegiatan market day di TK nya