Di kamar, terlihat Refan merebahkan diri sambil mengingat sesuatu. Setelah tadi, sempat menatap kamar Rafan yang berada di sebelahnya. “Kalau dipikir-pikir, dulu setiap kali meminta ditemani atau bahkan bermain. Kakak selalu mengajak duduk di halaman belakang, tidak pernah di kamar kakak. Padahal aku ingin sekali masuk ke kamar kakak.”
Refan beranjak dari tempat tidurnya, lalu duduk di balkon kamar. Mulai mengingat sesuatu lagi.
“Kamar kakak selalu tertutup, bahkan tidak ada yang pernah masuk termasuk para pelayan.” Lalu terdiam sebentar, kemudian merebahkan diri di lantai balkon, sambil menatap langit sore. Hingga terbesit sebuah ide. Refan langsung bangkit dan keluar dari kamar, sambil melirik ke setiap ruangan.
Mereka ke mana?
Refan terus mencari keberadaan orang tuanya.
Hingga satu pelayan datang, menatap bingung ke arah anak majikannya. “Mencari sesuatu?”
Refan langsung menatap pelayan itu. &
Sudah dua minggu, mereka mencoba membuat Rafan terbiasa. Usaha mereka berhasil walaupun masih canggung dan Rafan bahkan sudah diperbolehkan pulang. Rafan sedari tadi melamun ke luar jendela kamar inap, bisa dikatakan menunggu orang tuanya berbincang dengan dokter juga polisi lagi.“Ayo pulang,” ajak orang tuanya.Rafan menoleh, dan tidak menjawab ajakan mereka.Refan mendelik heran. “Kakak kenapa?”Rafan hanya menggelengkan kepala.“Ayo,” ajak Risa, sambil menarik tangan anak sulungnya.Rafan mulai mengikuti mereka masuk ke mobil, selama perjalanan Rafan hanya terdiam canggung. Sampai di rumah, para pelayan senang melihat anak sulung majikannya pulang.“Dia pulang,” tutur mereka, melihat kehadiran Rafan lagi.Keanehan kembali dirasakan Rafan, kala menapakkan kakinya di dalam rumah ini lagi.Mencoba terbiasa kah?Rafan mulai membiasakan diri sekaligus menerim
Di ruang makan, Refan sedang memaksa Rafan karena makannya sedikit. Sedangkan Rafan selalu menolak, sejak awal memang tidak lapar atau tepatnya sih malas makan. Lambat laun, perasaan jengkel menghampirinya, karena Refan masih bersikeras menyuruhnya makan.“Kakak.”“Apa?” Tanpa ada niat untuk menoleh ke arah Refan.“Makan.”“Kau saja, aku tidak lapar.” Rafan mulai memainkan sendok di genggamannya.“Kakak, baru sedikit loh.”“Biarin! Lebih baik kau diam dan makan saja sendiri!” Rafan semakin jengkel, dan terus memainkan sendok.Refan hanya menghela napas pasrah, dan lanjut makan. Sesekali menoleh ke arah Rafan, sedari tadi asik memainkan sendok tanpa melirik ke arah makanan sedikit pun.Risa datang, dan mengernyit heran ke arah Rafan. "Ayo makan, kenapa diam saja. Malah memainkan send—”Sendok yang Rafan pegang patah. Sukses membuat R
Refan kini sedang singgah sebentar ke kelas Vero dan Sean—untuk mencari keberadaan Rafan. Namun, tetap saja tidak melihat keberadaannya. “Kakak ke mana lagi?” Jujur masih takut, kalau Rafan kabur dan melakukan kebiasaannya lagi.“Mungkin, mencari tempat tenang,” celetuk Kevan.“Bener juga.” Refan mencoba berpikiran positif, yakin kalau rafan tidak kabur. “Sudahlah ayo ke kelas,” ajak Refan, sedangkan Kevan langsung mengikutinya.****Rafan tidak jadi ke halaman belakang, memilih duduk di atap sekolah. Seketika badmood setelah diganggu empat siswa, yang menurutnya kurang kerjaan. Terbukti, sekarang sedang asik duduk terpejam—membiarkan embusan angin menerpa wajahnya yang tidak tertutup oleh penutup kepala dari jaket yang dipakainya.“Pengganggu!" gerutu Rafan lagi, matanya mulai melirik ke bawah, banyak sekali siswa yang masih berkeliaran.Tidak ada ni
Di parkiran, Rafan terlihat baru saja keluar dari mobil sambil berjalan lambat menuju gedung pertemuan. Namun, langkah kakinya terhenti—bisa dibilang sengaja. Karena malas sekali bagi Rafan, untuk masuk dan bergabung dengan mereka.“Kenapa juga, harus bergabung dengan mereka?” gerutu Rafan, mulai melirik ke atas—tepatnya ke ruangan pertemuan yang berada di lantai empat. Lalu tatapan Rafan tertuju pada Refan yang bersama ketiga temannya, lalu beralih ke arah empat orang remaja yang ingin mendekat ke arah Refan.Rafan hanya menatap sebentar, mulai melirik sekitarnya. “Bagus sudah sepi.” Langsung naik ke atas pohon dan melakukan parkour menuju gedung lain lain yang berseberangan dengan gedung pertemuan. Setelahnya, Rafan duduk di gedung tersebut. Kembali menatap Refan yang didekati empat remaja lain.****Refan masih terdiam, memilih berdiri di balkon ruangan dan sesekali menghela napas pelan. Lalu menoleh
Pagi hari yang cerah, seperti biasa semua orang melakukan aktivitas. Terlihat si kembar, berangkat bersama. Hanya berdua, tanpa ketiga teman Refan. Rafan dengan malasnya berjalan menuju sekolah, sedangkan Refan yang berjalan di sebelah Rafan hanya diam, meskipun agak aneh melihat Rafan badmood lagi.Warga kota yang berlalu lalang, menatap aneh Rafan. Pertama kalinya, melihat mantan buronan polisi dengan raut wajah badmood. Biasanya selalu menatap dingin dan mengerikan, kali ini badmood.Wajar bukan mereka heran?Rafan sendiri, mengabaikan tatapan aneh mereka terhadapnya.“Kakak kenapa?” Refan mulai aneh sendiri melihat Rafan badmood lagi.“Malaslah, kenapa sekolah sih!”“Sekarang bukan hari libur, ‘kan? Jadi, harus sekolah.”Rafan berdecak kesal, bahkan semakin badmood dan benar-benar malas sekolah.“Biasakan,” celetuk Refan.
Sekelompok orang masih mengintai sekolah milik Arvian, mereka sempat bingung semua siswa sudah tidak berkeliaran lagi. Pengumuman hanya sedikit terdengar oleh mereka, karena perlahan suara pengumuman itu mengecil dan hilang. Sehingga mereka tidak tahu pengumuman apa yang disampaikan kepada semua siswa.“Sepertinya Arvian sudah mengetahui kedatangan kita, dia sudah mengumumkan sesuatu. Yang membuat semua anak didiknya tidak berkeliaran di sekitar sekolah, agar tidak bisa diserang oleh kita.” Seorang yang disewa oleh Varsa, sambil mengamati keadaan sekolah yang mendadak sepi.“Cepat juga, langsung mengamankan semua anak didiknya.” Mulai memikirkan rencana lain, agar Arvian tidak bisa berkutik. “Kita masuk, sebagian dari kalian berjaga disetiap sudut pintu keluar sekolah, jangan sampai ada yang berhasil keluar,” perintah Varsa, yang bersikeras untuk menyerang sekolah milik Arvian.Varsa, berteman dekat dengan Arvian. Namun, berak
Varsa masih meringis kesakitan karena tangannya diremuk oleh Rafan. Arvian, langsung mendekati Varsa. “Tenangkan dirimu, selesaikan baik-baik. Akan kujelaskan semuanya padamu,” pinta Arvian.“Tapi dibukti itu kau!” Varsa, masih keras kepala.“Sudah kubilang itu rekayasa Tuan Arzi, dialah yang melakukannya karena iri padamu! Lalu menjadikanku kambing hitam olehnya, karena saat itu aku mendengar rencana liciknya!” bantah Arvian.“Tuan Arzi?” Tidak percaya, kalau orang yang selama ini dekat dengannya, selain Arvian. Melakukan hal licik kepadanya. Varsa mulai tenang, orang sewaan juga ikut berhenti—karena Varsa sudah tidak berkutik.****Arvian mulai menjelaskan dan memperlihatkan bukti sebenarnya yang sudah berhasil didapatkannya. Namun selalu terhambat, saat ingin memperlihatkannya pada Varsa. Di sisi lain, Rafan masih terdiam, mulai berjalan keluar dari aula. Namun langkahnya ter
Sudah seminggu setelah sekolah diliburkan, akhirnya sekolah milik Arvian kembali beraktivitas seperti biasa. Di kelas, terlihat Refan terdiam. karena Rafan belum kembali, bahkan tidak ada kabar sama sekali.“Refan!” panggil Kevan kesal, karena Refan diam terus.“Apa?” Refan menatap datar Kevan.“Tenanglah, kakakmu itu pergi untuk menenangkan diri.”“Tau kok, aku hanya takut kakak tidak pulang lagi dan tidak kembali seperti dulu.”Ketiga teman Refan terdiam dan bingung untuk menjawab ucapan Refan.****Dua minggu kemudian, saat ini di kediaman Alexander sedang ramai. Polisi datang untuk membicarakan soal Rafan dan rekan kerja juga untuk rapat. Kebetulan rapat sudah selesai, mereka beristirahat dan berbicara sesuatu.“Anak sulungmu belum kembali?” tanya Kean Adinata.“Belum, bahkan tidak ada kabar sama sekali.” Rivo menghela napas gusa