Lelaki berjubah merah itu berdiri di ambang pintu, tangannya terkepal erat di kedua sisi tubuhnya. Surai gelap nan ikal sepanjang bahu membingkai wajahnya yang dingin. Iris matanya segelap Kegelapan, memantulkan cahaya obor yang bergoyang-goyang seperti mata iblis. Yang mengusik perhatian Venus adalah; wajah dan perawakan Amerta sama sekali jauh dari kesan bapak-bapak, melainkan lebih seperti lelaki gagah berusia dua puluhan … dengan aura yang lebih menakutkan.
Udara tiba-tiba bertiup dari pintu yang terbuka. Venus mengejang. Aroma tubuh Amerta seperti darah segar, tetapi sekelebat harum mawar entah kenapa mampu mengaburkannya.
Amerta menutup pintu di belakangnya, lalu melangkah mendekat. Kepalan tangan lelaki itu mengendur; tapi tidak dengan Venus. Punggung gadis itu seperti diregangkan paksa oleh sesuatu. Setitik keringat dingin menetes di dahi kanannya.
Mata Venus dengan waspada mengawasi gerak-gerik Amerta, saat lelaki itu memosisikan diri di kursi yang sebelumnya diduduki Ildara. Venus menggigiti bagian dalam pipinya, dan langsung merasakan cairan seperti karat asin memenuhi rongga mulutnya.
“Kau tampak seperti ibumu.” Suara itu terdengar berat dan datar.
Venus menelan ludah berdarahnya dengan tegang. Buku-buku jari anak itu memutih hingga uratnya bertonjolan.
“Apa dia benar-benar sudah meninggal? Apa kau benar ayahku?” Venus diam-diam merasa terkejut. Ia tidak merencanakan pertanyaan itu, tapi bibirnya seperti bergerak sendiri.
Amerta tersenyum miring. Matanya menelusuri keadaan tubuh anaknya dengan kritis. “Ya, dia sudah meninggal dan ya, aku ayah biologismu.”
Jari-jari Venus seperti terkena kram. Ia menggertakkan gigi.
“Apa benar Mama … meninggal karena kecelakaan?” Akhirnya Venus berani menyuarakan ketakutannya selama ini. Suaranya bergetar.
Amerta memiringkan kepala sedikit. “Kau mau jawaban jujur, atau jawaban bohong yang munafik?”
Mata Venus menyipit. “Jujur.”
Amerta menyandarkan punggung ke kursi dan menyilangkan kaki dengan santai. Lelaki itu bersedekap, selanjutnya mengawasi ekspresi anak perempuan di hadapannya baik-baik.
“Aku membunuhnya.”
Venus membeku. Sulur-sulur listrik seakan menyetrum tubuhnya. Ia punya keraguan tersendiri atas meninggalnya sang ibu, tapi ini bukanlah jawaban yang Venus perkirakan. Pandangannya mengabur, darah dalam mulutnya bertambah lagi.
“Kau!” Venus berteriak.
Gadis itu bangkit berdiri dengan marah. Napasnya terengah-engah. Air mata mengalir deras hingga ke pipi. Ia menatap mata sang ayah dengan kemarahan tak terbendung, lantas memutuskan sesuatu.
Venus menarik keluar ion-ion listrik dalam tubuhnya. Dirasakannya sulur-sulur listrik mulai berkumpul di kedua telapak tangannya. Namun, penglihatan Venus tiba-tiba kabur. Kepalanya berdentam lebih sakit dari sebelumnya.
Venus mengerang, seketika menghentikan pengerahan Bakatnya dan jatuh terduduk di tepi ranjang. Tangan gadis itu, untuk sejuta kalinya, kembali mencengkeram kepalanya dengan kuat.
“Kekuatanmu belum pulih.” Venus mendengar Amerta berkata. “Kau belum makan sejak terakhir kali kau sadarkan diri.”
Venus mengangkat kepala dan menatap benci pada sosok di depannya. “Lalu apa, Pembunuh? Mau menyuruhku makan agar kau bisa membunuhku dengan racun?”
Amerta menggeleng dan tersenyum tipis. “Racun adalah senjatanya para wanita lemah. Aku tidak akan menurunkan harga diriku dengan melakukan itu.”
Amerta berdiri. “Pulihkan tenagamu hingga semaksimal mungkin. Akan kusuruh seseorang untuk mengantarkan makanan kemari. Kemudian, kau—” lelaki itu menunjuk Venus, lalu dirinya sendiri, “—dan aku, akan berakhir di tempat pertarungan.”
Venus memaksa berdiri meski tubuhnya agak terhuyung dibuatnya.
“Katakan padaku,” kata Venus perlahan.
Amerta menatap Venus tidak mengerti. “Katakan apa?”
“Kenapa kau membunuh Mama? Apa salahnya?” geram Venus membencinya.
“Salahnya?” ulang Amerta tergelak. “Dia memutuskan untuk menjadi musuhku, lalu berniat membunuhmu juga, dan kau masih tanya apa salahnya?”
Venus terperengah. Perkataan Amerta tidak mungkin mutlak kejujuran! Wajah dan senyuman ibunya di dalam foto adalah buktinya! Dia pasti menyayangi Venus … iya, 'kan?
Amerta tertawa. “Ada apa dengan wajahmu? Kenapa jadi diam? Tanyakan pada orang lain tentang Langit Prahara, dan dengarkanlah jawaban mereka. Kita lihat apakah kau masih menganggapnya lebih baik dariku.”
Venus tergagap sejenak, tapi kemudian mampu berkata, “Kau pasti bohong. KAU PASTI BOHONG!”
“Kita akan bertarung dan, toh, kau akan mati di tanganku. Jadi, untuk apa aku berbohong padamu?”
Amerta memiringkan kepala sekali lagi, lalu melecut kesadaran anak perempuannya. “Dan kau memanggilku pembunuh. Katakan padaku, Venus. Kaupanggil dirimu sendiri dengan sebutan apa setelah dua krona malang itu kau bakar?”
Amerta beranjak pergi. Meninggalkan Venus sendiri di keremangan ruang bawah tanah, dengan keyakinan terhadap kebenaran ilusi yang semakin terkikis setiap menitnya.
Menurut Venus, ada dua kategori dewasa di dunia ini. Satu, dewasa dalam hitungan usia. Dan dua, dewasa karena keadaan yang memengaruhi psikis seseorang.Venus masih berusia lima belas tahun … dan ia memasukkan dirinya sendiri ke kategori dewasa yang kedua.Otak Venus dipaksa untuk memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan oleh remaja seusianya. Ia diharuskan untuk memperjuangkan hidup dan matinya. Ia dicokoli kebenaran nan menyakitkan secara terus menerus. Seakan-akan ia tidak boleh menjadi anak alay sebentar saja!Venus menghela napas, merasa seperti sedang syuting sebuah sinetron komedi yang membosankan.Sudah sembilan hari dia berada di ruang bawah tanah itu. Makan, minum, meregangkan badan, pergi ke kamar mandi, bermain Bubble Shooter dan Zombie Apocalypse di ponselnya. Sesekali meminum obat yang diberikan oleh seorang wanita tua, yang selalu datang ke ruangannya untuk mengantarkan makanan dan mengambil pakaian kotor Venus.Di
Salah satu dari kedua foto itu adalah gambar yang sama dengan foto yang Venus tinggalkan di Bumi Pertama. Ia membuka paksa kedua pigura itu untuk mengambil kertas fotonya. Venus memeluk erat-erat keduanya. Lalu, Venus teringat sesuatu yang pernah dikatakan Amerta padanya. Venus menggigit bibir seraya menatap Ildara yang masih tampak heran. “A-Apa ….” Venus berdeham-deham gugup. Ia mengangkat kedua foto itu agar Ildara dapat melihatnya dengan jelas. “Kau mengenalnya?” Salah satu alis Ildara terangkat. Ia bersedekap. “Siapa di Negeri Dasina ini yang tak kenal Langit Prahara? Dia musuh besar Amerta, sekaligus momok menakutkan nomor dua di negeri ini. Mereka sama-sama terobsesi dengan ide menguasai Bumi Kedua.” Kedua tangan Venus terjatuh lemas ke samping tubuhnya. “Tidak,” gumam Venus; pikirannya mendadak kosong. “Dia … dia tidak seperti itu.” “Oh, ya?” dengus Ildara. Ia mulai membongkar isi koper yang sisanya hanya berisi pakaian dan beberapa kalung berliontin batu hitam. “Dengar
Suatu ketika di Bumi Pertama, Venus pernah menyayat jarinya secara tak sengaja. Rasanya begitu perih waktu itu. Lukanya tak begitu dalam, tapi kata orang: semakin dalam, semakin kebas rasa sakitnya di awal. Rasa sakit itu baru akan muncul berkali-kali lipat berjam-jam kemudian. Jadi, saat itu Venus cukup beruntung; lukanya tidak dalam, dan karenanya sakit yang ia rasakan hanya berada di permulaan saja.Namun, hari ini berbeda. Luka sayatan pisau berbeda dengan luka dalam akibat takdir yang menyembilu hatinya.Di permulaaan, rasanya begitu sakit. Begitu tak tertahankan. Begitu … menyedihkan.Setelah beberapa saat, rasa sakit itu perlahan meluruh. Ia tidak menghilang; tapi ia bersembunyi di sudut hati Venus yang tergelap. Menunggu saat yang tepat untuk kembali mengemuka.Yang tersisa hanyalah kehampaan.Saat Amerta berkata, “Sudah waktunya,” Venus hanya diam. Kegelapan di sudut hatinya menyebar sedikit demi sedikit. Ia tak menunjuk
“Kenapa Illdara tidak ikut kemari?”“Aku hanya butuh membunuhmu, Venus, dengan cepat. Aku tak butuh penonton.”Venus masih memandang sekelilingnya. Mereka berdiri di puncak gunung yang datar. Di samping mereka merekahlah sebuah kawah beku nan bersalju.Uap keluar dari sela-sela lubang hidung dan bibir Venus saat ia mengembuskan napasnya. Tubuhnya menggigil dan telinganya berdenging lagi; sebagian karena dingin, sebagian lagi akibat Nyanyian Kenya dulu yang kembali terasa nyeri.Venus meraih Bakat Api sesedikit mungkin, lalu menyebarkan hawa hangat ke dalam tubuhnya sendiri. Rasanya lebih baik.Amerta dan Venus berdiri berjauhan dengan jarak hampir delapan meter satu sama lain. Meski begitu, Venus dapat melihat dengan jelas kebencian tiba-tiba yang muncul di sorot mata Amerta.“Kenapa?” Venus berkata sarkatis. “Baru berani menunjukkan perasaan aslimu padaku? Itukah yang sebenarnya kau rasakan? Kebenci
Venus terlempar sejauh beberapa meter bersama Artha yang mencengkeram kedua bahunya. Mereka nyaris menyentuh tepi jurang.“Akh!”Artha berdiri di atas dua kakinya yang serupa kaki serigala. Aul itu mencekik leher Venus dan mengangkat tubuh gadis itu setinggi hampir tiga puluh sentimeter dari tanah.Kaki Venus menendang-nendang liar menggunakan kakinya yang sehat. Wajahnya pucat dan nyaris berubah biru. Dalam kesusahan untuk bernapas, benaknya mati-matian berkonsentrasi pada satu Bakat.Tanpa sadar salah satu tangan Venus membentuk tinju. Lalu, kepalan itu mengentak sekali ke bawah; seakan sedang memindahkan konsol dengan gerakan tegas.Sejurus kemudian, langit menggelegar. Awan gelap berkumpul tepat di atas puncak gunung itu. Petir menyambar-nyambar dengan suara menggemuruh.Venus hampir hilang kesadaran, tapi ia sekuat tenaga mempertahankan konsentrasi Bakat Petir-nya. Tangannya membuat gerakan menarik dari atas.BLAR!
Venus terlontar lagi untuk yang kesekian kalinya hari itu. Petir telah menyambar tubuhnya. Bau gosong menyentak hidungnya.(Untung kau cepat melindungi diri dengan listrik!)“Diam, Mustaka!” geram Venus marah.Tiba-tiba jantung Venus tersentak. Ia membungkuk rendah, tetapi tak sampai lima detik sakitnya telah hilang.(Anda akan mati.) Mustaka mengumumkan.“Kubilang diam,” dengus Venus di antara napasnya yang pendek-pendek.Venus tak tahu apa Bakat dominan Amerta, tapi ia tak peduli. Ia memutuskan untuk mengakhiri pertarungan ini.Ia berteriak keras ke udara; menyalurkan konsentrasi benaknya pada Bakat Petir paling kuat yang ia miliki.Jantung Venus menyentak lagi, tapi ia mengabaikannya.“Itu baru mengagumkan!” Amerta berteriak di antara gelegar guntur yang ia dan Venus ciptakan.Namun, Venus tak berhenti di satu kekuatan. Masih mempertahankan gemuruh petir di atasnya, Venus mer
Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.Venus.Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet
Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.(Diam.) Pikir Venus padanya.Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.Benda tajam serasa menusuk-nu