Share

7. Jati Diri

Arya merasa tak nyaman mengenakan pakaian milik Ki Bayanaka. Ia tampak seperti seorang anak yang memaksa memakai baju ayahnya, kebesaran. Ujung lengan dan celana ia gulung beberapa kali. Sabuk kain tebal yang dikenakan juga terasa menutupi tak cuma pinggang, tapi juga perut.

“Aku berikan baju itu padamu, Anak Muda. Nanti Jenar akan membelikan baju yang lebih baik untukmu,” ujar Ki Bayanaka seraya meletakkan toyanya.

“Terima kasih, Ki,” jawab Arya sambil terus membenahi pakaiannya.

“Siapa namamu, Anak Muda? Dan dari mana kau berasal?” tanya Ki Bayanaka. Ia meminta Arya untuk duduk di balai-balai belakang rumah.

“Namaku Arya Nandika, Ki. Aku dari Desa Girijajar di sebelah selatan kaki Gunung Payoda,” ucap Arya. Ia masih merasa rikuh dengan perlakuan pria tua ini padanya.

Menurut Jenar, karena lukanya parah maka Arya dibawa untuk diobati oleh Ki Bayanaka. Tapi setelah sembuh, ia tak kunjung dikembalikan lagi bersama rekan-rekan sesama calon prajurit. Arya merasa spesial, juga ingin tahu kondisi pemuda desa lainnya.

“Siapa orang tuamu?”

“Ayahandaku bernama Sanggageni, ibundaku Gantari,” jawab Arya singkat.

“Apa kau bilang? Gantari?” Ki Bayanaka memicingkan mata dengan tepian tertutup alis putih panjangnya.

“Benar, Ki. Ibundaku bernama Gantari, seorang penenun terkenal di desaku,” jawab Arya.

“Hmm....” Ki Bayanaka membelai janggut panjangnya. Ia seperti tengah mencoba mengingat sesuatu. “Apa ibumu selalu mengenakan tusuk konde berwarna emas?”

“Bagaimana kau bisa tahu, Ki? Apa kau mengenal ibuku?” tanya Arya seolah melompat. Ia tak menyangka ada penghuni istana yang mengenali ibunya.

Ki Bayanaka memandang pemuda di hadapannya dengan seksama. Ia mencoba menerka kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Pemberontakan Ranajaya belasan tahun lalu memang menyisakan tanya setelah seorang putri Prabu Wirajaya tak ditemukan. Juga seorang pengawal putri dan satu dari tujuh pelindung Prabu.

“Ah, tidak, aku hanya seperti pernah mendengar nama itu,” dalih Ki Bayanaka.

Arya menghela napasnya. Ia pikir ibunya begitu tersohor sampai ke istana yang besar ini. Rupanya tak boleh terlalu berharap hal yang mustahil di tengah pemerintahan penguasa kejam ini.

“Oh ya, Ki, empat tahun lalu Ayahandaku dibawa paksa sepertiku oleh Patih dan pasukannya. Apa kau pernah melihatnya?” tanya Arya. Jika semua calon prajurit dilatih oleh Ki Bayanaka, pasti mereka berdua pernah bertemu.

“Oh ya? Lalu seperti apa rupa Ayahandamu?” Ki Bayanaka menyesap minumannya di gelas bambu.

“Ayahandaku tingginya hampir sama denganku, maksudku dia sedikit lebih rendah. Wajahnya tampan, rambutnya lurus sebahu. Dia mengenakan anting di telinga kiri,” terang Arya.

“Anting di telinga kiri? Apa Ayahandamu mahir menggunakan pedang?”

Kali ini Ki Bayanaka yang bertanya sampai seperti melompat. Ia seperti mendapat titik terang atas keistimewaan Arya. Keistimewaan yang pemuda itu sendiri tak menyadarinya. Denyut nadi itu, anak panah api itu, Ki Bayanaka merasa harus segera mengorek informasi sebanyak-banyaknya.

“Aku tidak tahu pasti, tapi Ayahandaku seorang pandai besi, Ki. Kemampuannya mengendalikan api lah asal mula nama Sanggageni. Sangga artinya menyangga, geni artinya api,” jawab Arya polos.

Tiba-tiba Ki Bayanaka mendekat, kedua tangannya ia letakkan di pundak Arya. Di matanya tersimpan banyak tanya dan juga keterkejutan. Mata yang hampir tertutup oleh alis putih lebat itu memicing. Arya sampai memandangnya dengan tatapan aneh.

“Ayahandamu mampu mengendalikan api kau bilang?” tanya Ki Bayanaka.

Arya mengangguk ragu, ia tak mengerti apa yang tengah terjadi dengan pria tua di hadapannya. Seketika guru calon prajurit itu seperti menemukan hal yang ia cari-cari. Kedua tangan itu mulai meremas pundak Arya.

“Jika Sanggageni adalah julukan, lalu siapa nama asli Ayahandamu, Arya?” Wajah Ki Bayanaka semakin mendekat. Arya semakin merasa tak mengerti.

“Braja, Ki. Braja Adirajasa.”

“Sudah kuduga....”

Ki Bayanaka melepaskan cengkraman tangannya di bahu Arya. Ia terduduk lagi di balai-balai bambu. Kedua tangannya kini gemetar. Tanda-tanda itu benar, tak perlu diragukan lagi. Ia sudah menyangka anak ini ada hubungannya dengan Braja alias Sanggageni.

“Ada apa, Ki? Apa kau mengenal Ayahandaku?” Kali ini Arya yang mendekati Ki Bayanaka.

“Bukan hanya mengenal, Arya! Braja sudah seperti adikku sendiri. Kami saudara seperguruan di Padepokan Rakajiwa,” jawab Ki Bayanaka. Amat jelas dari tempatnya duduk perubahan mimik wajah Arya Nandika. Pemuda itu bagai menemui saudara dekat meski berada di tempat asing dan bahaya.

“Wah, berarti kau tahu dimana Ayahandaku, Ki? Apa dia sampai di istana ini juga?” cecar Arya.

“Arya, empat tahun lalu rombongan yang seharusnya membawa pemuda-pemuda desa calon prajurit tak pernah sampai ke istana.” Ki Bayanaka tertegun menceritakan peristiwa itu. Potongan-potongan cerita masa lalu coba ia kumpulkan kembali.

“Apa yang terjadi, Ki?”

“Pemuda-pemuda itu melawan saat tengah dibawa. Tak banyak yang tahu, kejadian itu bahkan membuat luka di mata Patih Waradhana. Ia menjadi buta sebelah, dan kepalanya tak bisa ditumbuhi rambut lagi karena terbakar,” terang Ki Bayanaka.

“Ya, setelah mengambil Ayahandaku, Patih itu sempat kembali ke desa dengan penampilan yang jauh berbeda,” gumam Arya.

Ki Bayanaka tak sanggup mengatakan bahwa Braja, ayahanda anak muda di hadapannya lah yang memimpin perlawan terhadap Patih Waradhana. Ia juga yang melukai sebelah mata dan membakar rambut kepala dengan Candrasa Agni-nya. Kalau bukan karena pedang bermata dua andalannya, Patih Wardhana mungkin sudah menjadi abu.

“Tunggu, Arya! Kalau Ayahandamu Braja, lalu siapa yang mengajarimu memanah?” tanya Ki Bayanaka lagi. Ia seolah menemukan puing-puing hubungan pemuda ini, Braja dan kemampuan uniknya. Namun seingatnya Braja tak pernah tertarik dengan panah.

“Bagaimana kau tahu aku bisa memanah, Ki?” Arya terkejut.

“Jenar yang mengatakan padaku. Tanda-tanda di jarimu yang membuatnya yakin kau adalah seorang pemanah,” ungkap Ki Bayanaka. Arya memperhatikan jari-jarinya. Ia tak bisa menemukan perbedaan khusus jari seorang pemanah dengan jari orang-orang pada umumnya.

“Paman Pranawa yang mengajariku. Dia sering mengajakku berburu. Pemanku itu pemanah ulung. Dia bisa melontarkan anak panah dan tiba-tiba bertambah menjadi sepuluh buah sebelum mengenai sasaran. Itu sebab ia tak pernah gagal menangkap buruan,” terang Arya.

Begitu mudah menggali informasi dari anak ini. Semua yang ia ketahui ia katakan meski sebenarnya tak pernah ditanyakan. Ki Bayanaka mencoba mengingat-ingat nama sebuah ilmu memanah yang pernah diajarkan kepada seorang bangsawan di Padepokan Rakajiwa.

“Apa yang kau maksud itu Sasra Dasa?” Ki Bayanaka membelalakkan matanya.

“Ya! Aku lupa menyebutkan nama ilmu kebanggaan Paman Pranawa!” seru Arya. Ia senang perbincangan dengan gurunya ini mulai menarik.

“Pranawa? Pranawa Sakti itu pamanmu?” Ki Bayanaka menganga, ia tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Wah, kau bahkan tahu nama lengkap Pamanku, Ki! Kau luar biasa!” seru Arya sambil tertawa.

Apa yang Ki Bayanaka duga benar adanya. Jika Pranawa Sakti adalah pamannya Arya, besar kemungkinan Gantari yang dimaksud adalah Dewi Gantari. Mereka berdua saudara sepupu. Pranawa anak dari adik Prabu Wirajaya yang diberi kekuasaan di wilayah Wana Menggala, mendirikan kerajaan kecil bernama Astamanggala.

“Arya, ada satu hal lagi yang ingin aku tanyakan padamu.” Wajah Ki Bayanaka tiba-tiba menjadi datar. Ia menghela napas, mempersiapkan diri menerima kenyataan baru tentang remaja di hadapannya.

“Ya, Ki, silahkan, dari tadi pun kau terus bertanya padaku,” seloroh Arya berharap pria tua itu tersenyum. Namun harapannya sia-sia. Ki Bayanaka teguh dengan tatapan datarnya.

“Kau tahu Suji Pati?”

“Suji Pati?” Arya mengerutkan keningnya. Dua kata itu terasa tak asing di telinga. Namun ia tak bisa menemukan peristiwa apa dalam hidupnya yang mengarah pada kata suji pati itu.

“Apa kau pernah melihat Ibundamu menggunakan tusuk kondenya untuk suatu hal yang tak ada kaitannya dengan rambut?” tanya Ki Bayanaka dengan penjelasan yang lebih sederhana.

“Oh ... Ya, sebelum aku dibawa ke sini, Ibuku sempat membunuh prajurit dengan tusuk kondenya. Ibunda cepat sekali, bahkan aku tak melihat kapan dia melemparkan....”

“Terimalah hormat hamba, Raden Arya Nandika!” Ki Bayanaka mendadak bersimpuh dengan sebelah lututnya.

“Ki? Apa yang kau lakukan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status