"Ada yang sulit lu kerjain?" tanya Jackson sambil terus memperhatikan Jenar yang sedang sibuk bekerja.
"Gak apa-apa, bentar lagi selesai, kok. Lu gak mau pulang duluan?" Jenar balik bertanya.
"Gak, gue bakal nungguin lu aja, gue boleh kan antar lu pulang?"
Untuk sesaat Jenar tersenyum kikuk, tapi kemudian dia mengangguk pelan.
***
Malam kian larut, tanpa sadar semua pekerjaan Ratu telah selesai dikerjakan oleh Jenar. Dia bisa menutup laptopnya sekarang, lalu mengecek jam dinding, tepat pukul sembilan. Buset, aku bahkan belum makan malam, pikirnya. Dia berganti mengecek ponsel pintarnya, tak ada satu pun pesan dari Remo. "Kenapa seakan-akan gue nunggu pesan dari dia?" gerutu Jenar seraya langsung memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas kerjanya.
Tepat saat Jenar berbalik badan, dia temukan Jackson sudah terlelap di atas meja kerja di sebelahnya. Huft ..., gar
Tubuh Remo membeku menyaksikan langsung penolakan langsung dari Jenar, dia tak menyangka kalau gadis itu akan berani menentangnya setelah apa yang terjadi di antara mereka. Dia memang tak semudah yang dia kira. Namun, sikap Jenar yang seperti inilah yang membuat dia justru makin gila."Ayo, Son." Jenar merangkul tangan Jackson dengan entengnya.Walau bingung dan berada di posisi terjepit, Jackson tak punya opsi selain menuruti permintaan Jenar. Remo yang sempat mematung langsung menarik tangan Jenar. "Tolong jangan bikin drama murahan kayak gini lagi, aku udah cukup berurusan sama Jaka, jangan ada yang lain lagi." Di luar dugaan, Remo bersikap cukup lunak."Aku mau pulang sama Jackson. Kamu dengar, kan?" Jenar menajamkan suara dan raut mukanya.Dengan agak kesal, Remo memelintir tangan Jenar. "Apa sekarang kamu udah tuli?"Mau tak mau Jackson harus terlibat di antara mereka
BRUK!!Jenar menjatuhkan tubuh besar Remo di atas tempat tidurnya. Napasnya telah terengah-engah, seperti baru saja mengangkat dua karung beras bersamaan.Napas Remo tak kalah melambat, tubuhnya kini meriang dan kulitnya terlihat makin pucat. Jenar tak bisa buang-buang waktu, secepatnya dia menyiapkan kompres air hangat dan juga menyelimuti tubuh Remo dengan selimut tebal berlapis-lapis.Jenar mengulangi kompres berkali-kali. Dia sampai tak sadar kalau waktu telah berlalu selama tiga puluh menit. "Gawat, gue juga mesti kerja! Tapi gimana nasib Remo? Gue gak bisa tinggalin dia gitu aja, gue juga gak bisa lapor Putri, haaaaa!!" Jenar mengakhiri gerutuannya dengan menggaruk kepala frustrasi.Demam Remo belum turun, Jenar tak punya pilihan selain menghubungi atasan di kantor. Dia akan ambil cuti sakit hari ini saja.".... Iya, Pak ..., baik, nanti saya akan lampirka
Reflek Jenar berusaha menghindar, tapi akibat masih berada dalam kondisi demam dan pening, Remo tak memiliki cukup tenaga untuk memegang Jenar, dia malah langsung ambruk di atas tubuh gadis itu, dia pingsan lagi.Antara bingung harus bersyukur atau panik, Jenar menarik napas panjang. "Dasar ..., ish!" Nyaris saja Jenar ingin mengumpat dengan kata kotor. Tubuhnya kini tertimpa tubuh besar Remo, susah payah dia harus membawanya ke atas tempat tidur lagi. " Tolong sekali aja! Jangan banyak tingkah, dan nurut sama gue!! Emangnya lu ini hewan peliharaan ya?! Susah amat diatur!" gerutu Jenar sambil membenarkan posisi Remo di atas tempat tidur.Kepala Jenar berputar mengelilingi lantai kamar kost yang berantakan. Sudah waktunya untuk bersih-bersih, mumpung si pembuat onar beristirahat lagi, pikirnya.***Terbilang sudah cukup lama Jenar tak membersihkan kamar kostnya secara total seperti hari ini, ternyat
"Hah?" Mata Jenar membulat lebar melihat kedatangan Jackson yang tak terduga, bahkan di tangannya terdapat sekeranjang buah-buahan segar.Jackson tak kalah kaget kemudian setelah sadar bahwa Jenar terlihat baik-baik saja, tak seperti orang yang sedang sakit atau orang yang baru saja sembuh dari demam tinggi. "Lu keliatan baik-baik aja." Jackson meluncurkan komentar singkat.Remo yang sedari tadi memperhatikan dari dalam kamar kost langsung beranjak. "Kenapa?" tanyanya dingin sambil merangkul Jenar, menunjukkan keposesifannya.Kebingungan Jackson jadi berlipat ganda. Matanya berputar-putar seolah mencari jawaban di udara. "Bu ..., bukannya lu sakit, Nar?" tanya Jackson pelan.Remo mendengus seakan langsung tahu pokok permasalahan mereka. "Bukan dia yang sakit, tapi gue." Remo langsung mengaku dengan rasa bangga. Dia menoleh pada Jenar. "Jadi demi menjaga aku, kamu rela bohong ke perusahaan kamu?
Jalan raya masih agak padat dengan mesin-mesin beroda yang entah mau ke mana, semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing meski jam telah menunjuk pukul 12 malam.Jenar belum juga bisa memejamkan matanya, kamar kost telah sepenuhnya gelap karena lampu dipadamkan, tapi matanya masih terus menerawang di kegelapan. Satu hal yang menjadi beban pikirannya, rencana yang tadi disebutkan oleh Remo, mereka akan menikah.Seriuskah Remo?Apa hal itu mungkin terjadi?Bisakah Jenar memercayai Remo?Atau Remo hanya sedang bermain-main?Segala kemungkinan beterbangan di kepala Jenar. Bulan depan adalah waktu yang disebutkan Remo, itu artinya Jenar harus segera menghubungi orang tuanya di kampung halaman. Gimana kalau kami beneran nikah? Kira-kira apa jadinya? pikir Jenar, mendadak terbersit kemungkinan aneh itu di kepalanya.***Jenar mandi terburu-buru, lantara
"Kamu gak ke kafetaria, Nar?"Lamunan Jenar buyar sehabis mendengar sapaan Jackson. "Oh, udah jam istirahat, ya?" balas Jenar sambil bangkit dari bangkunya."Tadi kamu telat, kenapa? Gue liat loh tadi lu jalan ke sini, gak biasanya."Berkat diingatkan Jackson, Jenar teringat kembali pada kejadian pagi tadi yang memang sangat mengesalkan. Hanya karena ditanyai soal orang tua pada Remo, dia ditinggal begitu saja di pinggir jalan, sejauh seratus meter dari perusahaan. Alhasil Jenar harus jalan kaki bahkan berlari agar tak terlambat. Mengingat kejadian memalukan itu, hati Jenar dongkol lagi. Remo memang sangat menyebalkan. Entah kenapa dia tiba-tiba bersikap begitu aneh ketika membahas orang tuanya."Gak usah dibahaslah ya, gue udah laper nih." Jenar bergegas berjalan lebih dulu, Jackson menyusul dari belakang tanpa bertanya apa-apa lagi.Saat di tangga menuju
Sorot mata Jenar makin sendu, sedang ekpresinya melunak. Imej Remo yang biasanya menjengkelkan dan membuat muak, kini justru memancing iba. Jenar membayangkan trauma apa saja yang pernah dialami oleh Remo. Hanya mengarang bebas saja sudah cukup membuatnya sedih, Remo sungguh terlihat menyedihkan."Woi! Malah bengong, ada apa sih?" tanya Remo lagi seraya menutup pintu mini bis."Maaf," ucap Jenar pelan seraya menundukkan kepalanya."Hah?" Remo melongo. Dia mendekat dan duduk di sofa kecil. "Maaf buat apa? Kalau ngomong yang jelas," katanya bingung.Jenar ikut kembali duduk, berhadapan dengan Remo. "Buat kata-kata aku tadi pagi, mungkin ada yang secara gak sengaja menyakiti kamu.""Sikap kamu aneh banget, kamu kesambet setan?" Remo menanggapi dengan setengah bercanda. Dia bahkan menenggak segelas air putih dengan cueknya."Aku gak paham gimana rasan
Keinginan Remo yang bersedia untuk menemui orang tua Jenar meski ada luka trauma di hatinya memang sukses membuat Jenar tersentuh. Remo bersungguh-sungguh ingin memulai hidupnya dari nol bersama Jenar, keputusannya untuk menikah sudah bulat walau tak akan melibatkan keluarganya sendiri.Sementara itu, Jenar masih belum yakin sepenuhnya dengan kata hatinya, apa dia akan menerima Remo seutuhnya atau tidak, tapi dia bertekad untuk memberinya satu kesempatan, setidaknya untuk menguji ketulusan Remo.Akhir tahun dipilih Jenar sebagai waktu untuk bertemu, dia mengambil cuti selama satu minggu, begitu juga Remo membatalkan semua jadwal hanya untuk satu minggu. Mereka akan mengunjungi kampung halaman Jenar selama satu minggu. Bahkan mereka berangkat bersama dari kota. Semua akomodasi ditanggung oleh Remo, Jenar bahkan tak perlu mengeluarkan satu sen pun.***Untuk sampai ke desa tempat tinggal orang tua Jena