Dayu melirik ke kanan dan ke kiri. Dia mulai dihinggapi ketakutan dan kecemasan, membuatnya tak ingin memejamkan mata apalagi tertidur meskipun obat membuatnya mulai mengantuk. Dayu takut dia akan mulai memasuki mimpi menakutkan di hutan yang suram itu lagi jika jatuh terlelap.Dayu merasa tak nyaman. Dia mengenakan selimut sampai ke dada tapi masih merasakan dingin yang berasal dari sekitarnya. Seolah udara di dalam ruang rawatnya menjadi lebih dingin dan lebih lembab, membuat Dayu merasa seperti tengah berada di dalam hutan jati yang ada dalam mimpinya, tapi dalam versi yang lebi lh dingin.AC memang menyala, tapi suhu di dalam ruangan itu diatur untuk tak kurang dari dua puluh empat derajat celcius oleh Anis, sesuai keinginan Dayu.Setelah dokter yang memeriksanya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, Anis menemaninya sebentar. Namun, setelah setengah jam mereka bicara mengenai perkembangan kasus menghilangnya ayah dan tante Sekar, Anis meninggalkan Dayu sendirian u
Nala menghena napas, seolah lelaki muda itu tengah menyesali sesuatu. Dayu tak mengucap sepatah kata pun, tak mengeluarkan suara bahkan tak membuat gerakan yang terlalu jelas meskipun dadanya terasa nyeri dan sesak. Rasa sakit menjalar dari dada sampai ke seluruh tubuhnya, sementara kepalanya berdenyut nyeri.Dokter koas itu duduk dengan gelisah di sofa, tak mengatakan apa pun lagi setelah pembicaraan singkat mereka yang terakhir. Dayu awalnya mengira Nala akan segera pergi dan meninggalkannya begitu saja seperti apa yang sudah terjadi sebelumnya, tapi ternyata pemilik wajah teduh itu justru hilir mudik di depan pintu kamar rawat Dayu yang sengaja dibiarkan terbuka, lantas duduk di sofa seperti sekarang."Aku tidak menyukai hal ini, kenapa aku aku harus melakukannya tadi?" Nala mengkritik dirinya sendiri. Dari tindak tanduknya, sepertinya Nala bahkan telah lupa bahwa dia tak sedang sendirian di sana, dan tanpa sengaja memperdengarkan keluhannya pada Dayu."Apa yang tidak kamu sukai, N
Brakk!!Suara itu keras, tentu saja membuat fokus tiga orang di dalam ruang rawat VVIP itu terpecah. Dayu hanya bisa menoleh sementara Anto langsung berdiri, hendak memeriksa benda apa kiranya yang jatuh di balkon."Jangan dibuka. Biarkan saja, dia mencoba mengganggu!" Nala memberi instruksi dengan cukup tegas.Anto dan Dayu sama-sama menoleh ke arah dokter koas itu karena tak paham dengan apa yang Nala coba sampaikan. Awalnya, Anto terlihat tak bisa menangkap apa yang Nala maksud, apa lagi Nala justru tak terlihat menoleh sama sekali. Dokter koas itu malah bertingkah seakan tak mendengar apapun. Anto yang tak mendapat jawaban akhirnya kembali duduk.Brak !!!Suara benda jatuh setelah dilempar dengan keras sampai menabrak dinding terdengar lebih kerasa. Masih dari arah balkon.Dayu menoleh seketika dan dia terkejut melihat sepintas ada makhluk bertubuh besar dengah tangan panjang nyaris mencapai lantai menatap ke dalam. Matanya merah terang."Jangan dilihat!" Nala berkata, memperingat
Dayu diam sejenak, memikirkan kembali apakah dia perlu menanyakan pada Nala cara apa yang dokter koas itu maksud. Cara lain yang bisa membantu dirinya, cara untuk mengetahui siapa dukun itu, siapa yang telah menjadi penghubung antara seseroang dengan Danyang. Yang lebih penting lagi, tanpa bisa membuka mulut dukun yang mulai mengirimkan teror padanya itu, Dayu tak akan tahu siapa yang sudah menumbalkan dirinya, Dimas, ayah dan tante Sekar.Ada sesuatu yang membuat Dayu merasa ragu. Apakah dalam waktu yang hanya tersisa sembilan puluh lima hari, dia bisa menyelamatkan dirinya dari Danyang. Apakah dalam waktu yang akan terus berkurang seperti butiran halus di dalam jam pasir itu dia akan bisa memutus benang merah yang sudah terlanjur mengikat dirinya dengan Danyang.Apakah dia bisa menyelamatkan Dimas, ayah dan tante Sekar atau pada akhirnya harus menerima bahwa dia akan kehilangan segalanya. Dayu tak yakin dirinya akan sanggup kehilangan ayah setelah jauh sebelumnya telah kehilangan so
Dayu melangkah mundur. Tubuhnya gemetar. Teriakannya diredam oleh sesuatu yang tak bisa dia pahami. Dia sudah berteriak, tapi telinganya tak mendengar suaranya sendiri. Dayu hanya bisa mendengar suara angin yang bergerak berisik dari dalam hutan, seolah seseorang sedang berlari menembus pengap dan rapatnya vegetasi di bawah naungan pohon-pohon jati untuk mendatanginya.Tubuh ayah dan tante Sekar yang tergantung di salah satu cabang dari dua pohon jati yang berdekatan tak terlihat seperti orang mati. Mata mereka terbuka dan menatap Dayu dengan cara yang aneh, membuat Dayu menjadi semakin ketakutan.Dayu terus mundur.Suara berisik terdengar mendekatinya dari kedalaman hutan. Dayu ingin secepatnya berlari, tapi dia tak bisa menggerakkan tubuhnya dengan baik."Jangan diam saja, ayo lari!!"Seseorang berteriak persis di belakang Dayu. Tak sempat menoleh, tangan Dayu sudah diraih dan dia terpaksa mengikuti ayunan kaki cepat milik orang itu.Tangannya hangat, tapi Dayu tak bisa melihat waja
Dayu melihat bagaimana mata Nala sempat berkilat dengan warna merah, seolah ada api yang sedang dibakar di dalam kedua mutiara cokelat bening miliknya itu saat kelopak mata yang indah terbuka."Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak menerima tamu tak diundang." Nala berucap dengan tenang tapi begitu dingin, membuat Dayu berpikir dia baru saja mengganggu dokter koas yang tampaknya begitu ngebut saat sekolah dan kuliah itu.Mungkin saja dia baru saja mengganggu tidurnya yang berharga. Dari apa yang Dayu dengar, pada dokter seperti Nala tak punya banyak waktu untuk dirinya sendiri, bahkan untuk sekedar tidur sekalipun."Maafkan aku. Aku tahu, aku baru saja mengganggu kamu. Tapi, bisakah aku menanyakan sesuatu?" tanya Dayu.Nala memisahkan punggungnya dari tembok yang dia sandari. Sebelumnya, Dayu sengaja mencarinya dan menemukan bahwa Nala sedang memejamkan mata dan duduk bersandar di tembok, tak jauh dari ruang mayat yang sepi. Entah apa yang dilakukan oleh dokter koas itu di sana, di
Motor yang Anto kemudikan akhirnya memasuki sebuah rumah paling ujung, sebelum tikungan. Rumah itu bisa dibilang sangat sederhana, meskipun rumah-rumah di sekitarnya juga tak jauh berbeda. Bisa dikatakan, rumah di dusun itu kurang lebih memiliki model dan karakteristik yang tak jauh berbeda. Pilar dari batang jati yang telah diamplas dan diukir dengan cantik, tembok bata merah, dengan halaman yang cukup luas.Awalnya, Dayu kira Anto salah jalan, karena cowok itu membawanya memasuki sebuah jalan sempit, lalu melewati jembatan yang hanya selebar satu meter. Rupanya, Anto menemukan jalan pintas itu agar bisa sampai lebij cepat.Ada dua pohon mangga besar di halaman rumah sang dukun, dan tiga motor parkir di bawah pohon lain yang berbunga warna api. Anto sendiri memarkirkan motornya tepat di sebuah motor lain, yang terlihat masih sangat baru.Dayu memutar tubuhnya, mencoba mengamati keadaan sekitar rumah dukun itu.Di depan rumah, ada pelataran yang cukup luas. Masih cukup jika akan diban
Tak ayal lagi, Dayu menjerit ketakutan karena berhadapan dengan kepala, yang menempel pada dinding di belakang kursi yang sedang dia tempati. Anto yang duduk di sebelahnya bukan hanya ikut terkejut, tapi juga menjadi panik karena Dayu secara mendadak menjadi histeris dan berlari keluar dari ruang tamu rumah dukun itu.Dua orang gadis cantik yang baru berdiri karena sudah tiba giliran mereka menerima jasa dari sang dukun batal masuk ke ruang berikutnya karena ulah Dayu. Mereka berdua terlihat bingung, sementara Anto segera berlari keluar untuk mengejar Dayu."Yu, ada apa? Kamu kenapa?" Anto menahan Dayu yang sudah hampir berlari ke jalan tanpa peduli jika ada pengendara motor yang tiba-tiba lewat atau apa.Dayu gemetaran. Langkahnya sudah berhenti, tapi dia masih belum bisa bernapas dengan tenang. Dayu langsung duduk di atas tanah, di halaman rumah sang dukun tanpa mau menoleh ke belakang."Sepertinya aku sudah gila!" Dayu berucap dengan napas yang masih terengah dan wajah menunduk, me