"Ada apa ini? Kenapa kalian juga ada di sini? Apa yang sedang kalian rencanakan sebenarnya?" Liana tampak gelisah."Jangan pura-pura tidak tahu. Saat kau datang bersama Rangga, seharusnya kau sudah tahu apa tujuan kalian. Kenapa malah balik bertanya?" Prabujaya terlihat tidak senang. Dia merasa bahwa Liana sedang bersandiwara di depannya."Apa maksudmu? Aku memang tidak tahu apapun. Bisakah kalian memberitahu aku sekarang, untuk apa kita berkumpul di rumah sakit ini? Apa ada yang sakit?" Liana memutar bola matanya, menatap ketiga pria di depannya berharap akan ada penjelasan yang masuk akal.Lelah dengan tingkah Liana, Prabujaya memilih untuk pergi dari sana."Aku harus ke kantor sekarang. Selesaikan semuanya dengan cepat dan segera datang ke kantor. Kalian berdua harus segera kembali untuk bekerja." Prabujaya langsung berjalan pergi meninggalkan mereka. Dia tidak pernah menoleh ke belakang.Liana melirik putranya dan mulai bertanya padanya, "Ada apa ini, Rangga? Bisakah kau menjelask
Liana tampak gusar. Sudah seharian dia mondar-mandir di kamarnya.Dia tidak melakukan apapun, bahkan tidak berniat untuk keluar dari kamarnya.Sejak pagi Jhon memperhatikan ketidakhadiran Liana di meja makan.Jhon tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan saat dia bertanya pada Rangga.Sudah satu minggu Rangga dan Liana tidak berbicara satu sama lain. Itu terjadi sejak keduanya keluar dari rumah sakit.Rangga tidak ingin diatur karena merasa terlalu tua untuk itu. Sementara Liana selalu ingin mendominasi hidupnya.Suara pintu diketuk terdengar dari luar.Liana menoleh untuk memastikan siapa yang orang yang telah berani mengusiknya.Suara ketukan itu terdengar lagi. Tetapi kali ini disertai suara berat seorang pria."Nyonya Liana, apa anda ada di dalam? Apa aku boleh masuk menemuimu?"Liana mendengus. Dengan malas dia berjalan ke pintu dan membukanya."Ada apa?" tanyanya ketus."Aku mengantarkan ini untukmu. Aku tahu anda pasti merasa lapar."Jhon membawa nampan berisi semangkuk sup dan
"Semua ini salahmu! Dasar bodoh! Andai saja kau bisa menyingkirkan Erlangga saat ini, aku tidak akan menggila seperti ini!" Liana berteriak kencang saat dirinya masuk ke dalam rumah.Wanita itu membanting pintu kemudian mulai melempar semua barang yang dapat digapainya ke atas lantai hingga hancur berantakan.Jhon yang berdiri mematung di depan ruang makan juga tak luput dari amukan Liana.Tubuh pria itu dipukuli dengan sekuat tenaga hingga Liana kelelahan dan mulai menangis histeris."Semua ini salahmu, Jhon! Kau sangat bodoh! Kau gagal melenyapkan anak itu bersama ibunya. Karena kebodohanmu, putraku akan disingkirkan oleh Prabujaya. Dan dia tidak akan pernah mendapatkan apapun karena anak sialan itu." Liana kembali berteriak di depan wajah laki-laki itu seperti orang yang sedang kesurupan.Jhon menatapnya nanar. Merasa kasihan saat melihat wajah Liana basah oleh air mata.Dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tetapi dia tahu itu bukanlah hal baik.Jhon begitu ingin tahu apa y
Erlangga tersenyum puas saat Rangga menekuk wajahnya karena kesal.Ucapan Er cukup masuk akal baginya saat ini.Bagaimana tidak?Dia harus memenuhi tenggat waktu yang diberikan oleh Prabujaya untuk mengatasi kerugian yang dialami oleh perusahaan karena ulahnya sendiri.Selama tidak ada Daniel yang selalu datang mengawasinya, Rangga merasa seperti mendapatkan angin segar.Tidak disangka, orang tua itu ternyata masih berpikir untuk datang mengawasinya meski dengan berbagai alasan. Termasuk dengan memanfaatkan Erlangga.Rangga mendengus. Ia mengabaikan Erlangga dan mulai fokus dengan tugasnya.Melihat dia begitu serius, Erlangga memutar otaknya.Dia mencoba mencari cara lain untuk mengganggunya."Kenapa kau tidak mulai mengajariku hal lainnya? Aku ingin segera menghandle kantor cabang. Aku sudah memahami sistem management perusahaan. Sekarang aku ingin tahu tentang keuangan perusahaan. Bisa ajari aku juga?" cecar Erlangga."Rangga, Ajari aku bagaimana caranya aku bisa tahu jika mereka se
"Benda penting? Saya tidak menemukan apapun. Hanya ada ini saja." Ibu segera Helen merogoh saku bajunya, kemudian menunjukkan sebuah benda kecil kepada Erlangga.Wajah Er kembali bersinar.Seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru yang sangat didambakan."Ya, Tuhan ... benda ini yang aku cari sejak tadi. Seluruh hidupku bergantung pada benda ini."Er langsung menyambar benda itu dari tangan Nyonya Helen lalu memeluk wanita itu dengan erat karena terlalu girang.Dan tanpa sadar Erlangga mencium pipinya dan mengangkatnya hingga membuat Nyonya Helen menjerit karena terkejut."Terima kasih, terima kasih, Bu Helen. Ibu telah menyelamatkan hidupku. Aku akan selalu mengingatnya," ujar Erlangga girang.Dia lalu berlari menuju kamarnya dan meninggalkan Nyonya Helen yang masih terdiam karena merasa takjub dengan apa yang baru saja dia alami.Erlangga langsung menutup pintu dan menguncinya. Dia tidak ingin ada yang datang ke sana dan menginterupsinya.Er meletakkan benda kecil itu di atas
"Aku tidak butuh pengawal karena aku akan pergi sendiri." Erlangga berbicara pada pengawal yang berjaga di pintu depan ketika pengawal itu hendak mengikutinya.Erlangga kemudian berpesan padanya, "Jika Papa mencariku, katakan saja aku pergi menemui teman lama. Saat urusanku sudah selesai, aku akan langsung kembali ke kantor.""Tapi, Tuan --""Sudahlah, aku sedang buru-buru," katanya lalu masuk ke dalam mobil.Sebelum pergi, Erlangga mengirimkan sebuah pesan teks pada seseorang.[Aku dalam perjalanan. Kita akan bertemu di sana dua jam lagi.]Erlangga menyimpan ponselnya kemudian membawa mobilnya pergi dari sana.Dia tidak sabar untuk mengungkap kasus kejahatan besar itu. Tidak perduli walaupun dia akan menyeret banyak orang untuk mendapatkan keadilan atas kematian Olivia, mamanya.Seperti yang telah dikatakannya, Erlangga akhirnya tiba di kantor polisi dimana awal mula kasus itu dimulai.Seorang pria paruh baya dengan kaca mata menempel di hidungnya sedang berdiri di samping pintu masu
Hari ini adalah hari ketiga sejak Erlangga membuat laporan kasus pembunuhan Olivia, mamanya.Namun, dia masih belum menerima kabar dari mereka.Erlangga sempat berpikir mungkin karena hari ini adalah hari minggu. Setidaknya besok akan ada kabar baik yang akan dia terima.Karena itu, Erlangga memutuskan untuk pergi mengunjungi makan Olivia siang ini, sekaligus melepas rindu dengan keluarga Pak Hasan."Er, apa kamu di dalam?"Suara Prabujaya terdengar dari luar kamar mengiringi suara ketukan pintu.Erlangga yang sedang bersiap segera berlari dan membuka pintu kamarnya.Wajah Erlangga yang terlihat segar dan aroma wangi yang menguar dari tubuhnya mengalihkan pikiran Prabujaya untuk sesaat."Ada apa? Apa Papa ingin membicarakan sesuatu?" tanya Er.Prabujaya langsung tersadar lalu menatapnya dengan rasa ingin tahu."Kamu mau pergi kemana, Er? Apa kamu ada janji dengan seseorang?" tanya Prabujaya, matanya menyipit."Ah, tidak ada. Aku tidak ada janji dengan siapapun," sahut Er. Dia lantas m
Karena penasaran, Daniel meminta supir untuk mengantarnya."Ayo, cepat! Kita harus mengejar mobil Tuan Muda."Daniel meneriaki supir kemudian berlari masuk ke dalam mobil.Bersama dua orang pengawal, Daniel memerintahkan untuk mengejar mobil sedan hitam milik Erlangga.Supir itu berusaha mengejar mobil di depan mereka saat sedan hitam itu masuk ke jalan tol.Dia mempertahankan kecepatannya dan berusaha menjaga jarak agar Erlangga tidak menaruh curiga."Tuan, mereka keluar dari tol. Sepertinya mereka akan pergi ke kampung itu. Apa kita akan tetap mengikuti mereka?" tanya supir menunggu perintah."Hm ... tetap ikuti mereka. Sangat berbahaya bila aku membiarkan Tuan Prabujaya pergi ke sana tanpa pengawalan. Ini demi keselamatan mereka." Daniel berkata dengan tegas. Kedua matanya yang tajam mengunci sedan hitam itu dan tak membiarkannya hilang dari pandangan.Daniel akhirnya bisa bernapas dengan lega saat Erlangga menghentikan mobil itu di depan pintu gerbang pemakaman.Ketakutannya yang