"Ada apa, Mas?" tanyaku sedikit malas. Aku melirik jam di dinding baru pukul 09.00 pagi. "Ada apa gimana? Kamu kok aku perhatikan tidak pernah mengurusku? Malah selalu saja Luna yang yang memperhatikanku. Tidak pernah tidur di rumah. Selalu sibuk di konveksi. Seolah menghindar dariku. Alasan banyak orderan ini itu. Dan sampai saat ini, kamu juga tidak pernah membawa anak yang sering bersamamu itu! Padahal aku sering memintamu untuk membawa anak itu. Aku penasaran dengan anak itu," protes Mas Reyhan. Aku mendengus. " Kalau untuk mengurus kamu memang sudah sepantasnya tugas Luna. Karena istrimu itu Luna bukan aku! Kamu itu sudah menceraikan aku. Jangan pura-pura amnesia lah, Mas! Aku tahu kamu akting! Amnesiamu itu pura-pura!" ketusku reflek keluar begitu saja dari mulutku. "Aku kasih tahu kamu ya, Mas. Aku itu bukan istrimu! Istrimu Luna! Aku dah muak harus terus berpura-pura, Mas! Kamu gak perlu penasaran dengan anak yang sering bersamaku. Karena itu anakku. Anak yang tak pernah ka
POV INDAH "Mba, beneran mau pindah, Mbak?" tanya Rumi. Aku mengangguk cepat. Meskipun semua terasa berat. Tapi aku tidak mau berhubungan dengan masa lalu apapun. Aku ingin hidup damai saja bersama anak-anakku. "Mba serius?" tanya Rumi lagi. Aku mengangguk. "Kau tinggali saja rumah ini, dan aku percayakan untuk butik serta konveksi kamu yang mengatur. Lagi pula kamu kan akan menikah dengan Haris. Jadi, setelah menikah kalian tinggal saja di rumah ini. Aku akan mengabarimu kemana aku dan kedua anakku pergi. Dan kamu, jangan pernah beritahu siapapun aku pergi kemana. Aku dan anak-anak ingin menata hidup baru. Toh aku juga sudah mandiri rasanya tidak perlu menikah lagi. Malu juga janda dua kali," ucapku. Wajah Rumi terlihat sedikit keberatan. "Tapi, Mbak? Kenapa bisa seperti ini?" tanyanya. "Aku sendiri tidak tahu, Rum. Yang aku tahu, aku hanya ingin hidup tenang bersama kedua anakku. Tidak ingin juga bertemu dengan siapapun. Malas, di kota ini di lingkungan ini masih saja berada di l
Exstra Part"Kenapa tidak mau menerimaku?" tanya Edwan saat laki-laki itu sudah duduk tepat di samping Indah. Indah hanya tersenyum."Aku butuh jawabanmu, bukan senyummu," ujar Edwan lagi. Indah pun menarik nafas panjang. "Huh!" Hanya itu yang keluar dari mulut Indah. "Apa jawabanku tidak cukup?" Indah balik bertanya. Edwan menggeleng. "Aku belum puas. Sekarang hanya ada aku dan kamu di sini, aku mohon dengan sangat kejujuran kamu," pinta Edwan terus memaksa. Edwan memang tidak yakin pada jawaban Indah karena laki-laki itu merasa Indah mencintainya. "Kenapa? Sebenarnya kamu masih mencintai Reyhan? Gak apa-apa. Kamu jujur aja sama aku." Kata-kata Edwan barusan membuat Indah sedikit tersinggung. "Kenapa harus Reyhan? Bukankah kalau aku masih mau sama Reyhan aku bisa dengan mudah mendapatkannya kembali? Tapi aku tidak mau. Aku tidak ada rasa apapun pada laki-laki itu, meskipun dulu aku sangat mencintainya. Jadi aku mohon sama kamu, tolong jangan pernah sangkut pautkan aku dengan Reyha
POV INDAH"Mama!" teriak Rashi dan Nadira bersamaan. Ini tahun pertama mereka masuk sekolah dasar berbasis internasional. Keduanya sekolah di tempat yang sama di daerah bintaro sektor IX di tangerang. Seharusnya Rashi satu tahun di atas Nadira. Tapi aku memilih dua tahun untuk TK Rashi supaya bisa bareng dengan Nadira. Toh usia mereka juga tidak berbeda jauh. Tidak terasa saja waktu bergulir begitu cepat. Kedua anak yang kupantau pertumbuhan dan perkembangannya ternyata kini mereka sudah memasuki usia pendidikan dasar. 7 tahun lamanya aku benar-benar tidak pernah berurusan lagi dengan orang-orang di masa lalu. Termasuk juga berhubungan dengan Edwan. Atau keluarga Mas Reyhan. Terakhir kali sebelum akhirnya aku memilih pindah, pada saat pernikahan Rumi dan Haris jelas terlihat bahwa keluarga Reyhan sudah dapat menerima keberadaan Luna dan anaknya. Mereka terlihat akrab. Hingga aku tak ingin lagi berurusan dengan mereka. Tanpa memberi tahu Rumi, aku bahkan menjual rumah dan pindah secar
"Nanti bila sudah waktunya, kalian akan tahu. Sekarang kamu ke kamar ya. Hibur Nadira. Mama percaya sama Rashi. Rashi bisa menenangkan Nadira," ucapku. Rashi menurut dan lekas berlari ke kamar. Saat Rashi tak terlihat lagi, aku coba melangkah ke kamar anak-anak. Saat tiba di depan kamar mereka, aku coba menguping. Kutempelkan telinga di depan pintu. Beruntung pintu sedikit terbuka hingga aku bisa mengintip mereka. Terlihat Rashi menghampiri Nadira yang sedang melipat kedua tangannya dengan muka manyun. "Kamu kenapa? Kasihan Mama Dira," ujar Rashi. Nadira menarik nafas panjang. Bola matanya memerah. Perlahan air mata jatuh membasahi pipinya. "Kak Rashi, aku hanya ingin tahu, siapa Papaku dan dimana dia? Kenapa sampai saat ini Mama tak pernah memberitahu kita? Kalau Papa kita sudah meninggal, dimana kuburannya? Mama tidak pernah memberitahu kita. Setiap kali kita bertanya, Mama hanya diam. Dan selalu menjawab jika sudah saatnya kita pasti akan tahu. Cuma itu dan selalu jawaban itu yan
"Oh iya, Rashi kita belum cerita sama Mama," ucap Nadira sambil berjalan ke sofa melewatiku. Gadis kecil itu pun langsung duduk sambil menepuk wajahnya. "Iya, ya. Kita belum cerita sama Mama." Rashi menimpali dan menyusul Nadira duduk. Sedangkan aku ditinggalkan sembari menuntut jawaban. Dua anak ini semakin tumbuh dewasa semakin menggemaskan. "Ih kalian ini, Mama tanya. Om Tampan siapa?" tanyaku lagi kembali menghampiri mereka dan duduk di samping keduanya. "Kalian jangan asal dekat sama orang yang tak dikenal yah. Apalagi laki-laki dewasa seperti itu. Gak boleh. Kalau kalian di culik gimana? Mama gimana? Jangan asal kalian. Kalau kalian sembarangan kenal-kenal orang begitu, kalian gak bakal Mama izinin keluar rumah lagi tanpa pengawasan dari Mama! Paham!" tekanku karena takut terjadi sesuatu pada mereka. Sebab modus penculikan anak kadang ada saja. Belum lagi anak kecil pasti kalau dibaikin langsung luluh. "Ih Mama, kita gak boleh berburuk sangka sama orang. Om Tampan itu baik, b
Aku betul-betul terus kepikiran ucapan Luna tadi. Rasanya malu sekali dibilang seperti itu. Hampir tak mampu menjawab cibirannya. Ya allah, padahal bukan karena tidak ada yang mau denganku. Hanya saja aku yang menikmati kesendirianku bersama anak-anak. Aku merasa tak butuh laki-laki untuk menemani. Apa yang aku inginkan sudah terpenuhi. Aku juga sudah pernah menikah. Hidupku bahagia. Tidak pula harus merasakan sakit hati, apalagi bertengkar dengan suami seperti dulu. Intinya, dalam kesendirian ini aku benar-benar menikmati hidupku. Aku bisa pergi kemana aku mau, belanja bebas, intinya fokus pada kebahagiaan diri dan anak-anak. Tidak ada yang mengengkang aku ingin seperti apa. Daripada memiliki suami justru membuat hidupku menjadi rumit. Aku tidak siap itu. Dengan kemewahan dan kecukupuan yang aku punya sekarang ini, benar-benar aku tidak menginginkan sebuah pernikahan lagi. Sebuah pernikahan yang pasti akan membuatku menjadi terikat oleh aturan seperti dulu. Iya kalau aku bisa dapat s
Tok… tok ….! Aku coba membuka mata secara perlahan saat beberapa kali mendengar suara ketukan pintu. Dengan rasa malas aku coba bangun dan berjalan untuk membuka pintu. Ternyata aku ketiduran. Kulirik jam tangan sudah pukul 19.00. Mungkin mereka sudah menunggu makan malam. Terlebih sedang ada tamu di rumahku. "Mbak Indah!" Terdengar suara ART-ku terus memanggil. "Iya, Wit ," jawabku menyahut. Trakt!Pintu terbuka. Wiwit langsung tersenyum menyapaku. "Makan malam sudah siap, Mbak. Semua menunggu di meja makan," ucapnya. Aku hanya mengangguk. Kuperhatikan pembantuku yang ini sedikit berbeda. Mungkin karena masih muda. Tapi tidak jugalah. Usianya sudah hampir menginjak 30 tahun, tapi dia belum menikah. Katanya masih ingin menyendiri menikmati masa muda. "Kamu panggil suster Dewi dan Susan ya. Kalian ikut makan malam bersama juga," titahku. Aku pun berjalan meninggalkan Wiwit dan langsung menuju meja makan. Sampai di meja makan, aku melihat Rashi nampak begitu dekat dengan Maya. Sek