"Kamu benar, seharusnya aku tidak berteriak-teriak seperti tadi. Itu malah mempermalukan diriku sendiri," ucapku sembari mengacak-acak rambutku.
"Bukankah tadi kamu bilang tidak malu?" Thalia bertanya dengan heran.
Aku tidak ingin menjawab pertanyaan Thalia kali ini. Aku sendiri heran, mengapa tadi aku seberani itu? Apakah amarah bisa membuat seseorang melupakan rasa malu?
Rasa malu itu merambat dan menjalar ke seluruh tubuhku begitu Thalia menunjukkan seseorang kepadaku.
Aku bertopang dagu sambil menundukkan kepala. Ingatanku melayang pada sosok lelaki tampan yang duduk sebagai tamu undangan. Jika Thalia tidak memberi tahuku, aku tidak akan menyadari kehadirannya.
Hyuga Al Barra, Lelaki yang mengenakan pakaian rapi dan terlihat sibuk bersama teman-temannya. Sepertinya mereka adalah rekan kerja Mas Bayu.
"Apa kamu malu pada Hyuga? Jujurlah padaku, kamu masih menyukainya, 'kan?" Thalia bertanya tepat saat aku sedang menyeruput es cokelat yang baru saja disajikan oleh pramusaji. Pertanyaan Thalia kali ini sukses membuatku tersedak.
Aku teringat dulu saat menerima lamaran Mas Bayu. Sehari sebelumnya, aku melihat Hyuga berboncengan dengan seorang wanita.
"Kenapa kamu tidak sama Hyuga saja, Na? Dia masih sendiri lho." Thalia sukses membuat aku tersedak untuk kedua kalinya.
Selain diriku sendiri, Thalia adalah satu-satunya orang yang tahu bahwa aku pernah menyukai Hyuga. Sahabatku itu memang pandai menjaga rahasia.
Aku bertanya-tanya dalam hati, "Apa benar Hyuga masih sendiri? Lalu bagaimana dengan wanita cantik yang diboncengnya dulu?"
Aku menepis semua pikiran tentang Hyuga. Apa pun status Hyuga sekarang, itu sudah tidak ada artinya untukku. Bukankah aku sudah bertekad untuk melupakannya semenjak aku menerima lamaran Mas Bayu? Lagi pula aku tidak pernah tahu bagaimana perasaan Hyuga kepadaku. Aku tidak ingin terlalu berharap dan berakhir kecewa untuk kedua kalinya.
"Itu sudah tidak mungkin, Tha. Aku dan Hyuga, kami tidak ditakdirkan untuk bersama. Hyuga berhak mendapatkan wanita yang lebih baik."
"Kenapa? Apa karena kamu janda? Itu tidak menjadi masalah, Na. Kamu tidak boleh mendahului takdir."
"Jangan-jangan kau masih trauma karena hubunganmu dengan Bayu? Dengarkan aku, Na! Seseorang yang mencintaimu dengan tulus, dia akan menerimamu apa adanya. Sampai kulitmu mengeriput dan rambutmu memutih, dia tidak akan meninggalkanmu." Thalia memberi jeda untuk mengambil napas.
"Kecuali jika dia mencintaimu hanya karena kecantikanmu. Maka cepat atau lambat, disaat dia merasa kamu sudah tidak cantik, dia akan meninggalkanmu. Karena cinta akan hilang dengan hilangnya sebab."
"Entahlah, Aku tidak mau memikirkan itu dulu. Lebih baik sekarang aku fokus mencari pekerjaan."
Ibu sudah keluar uang banyak untuk acara resepsi pernikahanku. Tabunganku juga sudah menipis. Aku tidak boleh menjadi beban lagi untuk ibu.
"Bagaimana kalau kamu kerja di tempat aku bekerja? Kebetulan di sana sedang membuka lowongan."
"Benarkah? Kalau begitu aku akan mencobanya."
Hari ini aku tidak pulang seharian. Thalia mengajakku jalan-jalan ke mall untuk mencuci mata. Bahkan, dia membelikan aku pakaian baru.
"Kau bisa memakai ini untuk wawancara kerja besok. Aku akan merekomendasikanmu kepada atasanku. Dia pasti menerimamu," ujar Thalia dengan penuh keyakinan.
Sebenarnya aku tidak enak hati dan ingin menolak. Namun karena Thalia memaksa, akhirnya aku menerima pemberiannya.
Saat hari mulai gelap, barulah aku dan Thalia pulang. Sebelumnya aku sudah menelepon ibu agar beliau tidak mencemaskan aku. Aku berterimakasih pada Thalia sebelum akhirnya kami berpisah di parkiran mall.
Begitu sampai di teras rumah, aku disambut oleh teriakan Bu Erni.
"Ini dia tersangkanya! Akhirnya pulang juga kamu!"
"Ada apa, Bu?"
"Jangan pura-pura bodoh. Mengapa kau mengacaukan pernikahan anakku? Kau sungguh pembawa sial. Aku sudah melarangmu hadir di acara pernikahan Sinta, tapi kau malah datang dan membuat keributan," cerocos Bu Erni tanpa titik dan koma.
"Tunggu dulu, Bu! Tenanglah! Ini bisa diselesaikan baik-baik." Ibuku mencoba menengahi dengan menenangkan Bu Erni.
"Baik-baik bagaimana? Hari ini Bayu dipecat dari pekerjaannya karena ulah anak Ibu. Kalian harus ganti rugi!" Bu Sara–Ibu Mas Bayu yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba menghampiri kami.
Aku tidak tahu harus tertawa atau menangis. Mas Bayu dipecat? Ini di luar rencanaku, tapi entah mengapa diam-diam aku merasa puas mendengar kabar ini.
"Kok bisa-bisanya Bu Sara menyalahkan anakku. Seharusnya Ibu bertanya pada anak Ibu sendiri, kesalahan apa yang sudah dilakukan Nak Bayu hingga membuat dia dipecat." Seperti biasa ibu membelaku.
"Tentu saja ini salah Naina. Kalau saja Naina tidak membuat keributan di acara resepsi, tidak akan ada hal seperti ini. Sekarang aku mau kalian mengembalikan mahar dan seserahan yang kami berikan." Ibu Mas Bayu tidak mau mengalah.
"Oh, jadi itu yang Bu Sara mau? Baiklah kami akan mengembalikan semua, tapi jangan ganggu kami."
"Tunggu Ibu, itu sudah menjadi hakku. Aku tidak akan mengembalikannya." Aku memotong perkataan ibu.
"Dasar tidak tahu diri kamu, Naina. Untung, Bayu sudah menceraikanmu. Kau harus mengembalikan semuanya. Semua itu bukan hakmu lagi sekarang. Semua itu sudah menjadi hak istri sah Bayu saat ini yaitu Sinta." Bu Erni tidak tinggal diam dan mendukung Bu Sara.
"Jadi kalian benar-benar meminta kembali mahar dan seserahan? Baiklah, aku akan mengembalikan semuanya, tapi dengan syarat …. " Aku mengambil napas panjang. Memberi jeda pada kata-kataku. Netraku berputar ke arah atas, memikirkan sesuatu.
“Syarat pertama, sampaikan pada Mas Bayu untuk segera mengurus surat perceraian di pengadilan,” ucapku sambil mengambil buku nikah di dalam tas kemudian menyerahkannya kepada mantan mertua.“Apa? Syarat pertama? Memangnya ada berapa syarat lagi?” tanya Bu Sara dengan mata terbelalak.“Kenapa, Bu? Bukankah ini syarat yang sangat mudah? Dan memang sudah seharusnya Mas Bayu mengurusnya.”“Baiklah, nanti akan saya sampaikan kepada Bayu untuk segera mengurusnya. Lalu apa syarat kedua?” tanya Bu Sara tidak sabar.“Sabar, Ibu! Kenapa harus buru-buru? Syarat kedua menyusul. Aku akan mengatakannya setelah syarat pertama terpenuhi,” lanjutku.Akhirnya aku bisa merebahkan diri
"Maksudmu, kamu meminta kembali mahar yang sudah kamu berikan padaku?" tanyaku pada Mas Bayu. "Tentu saja kau harus mengembalikan mahar itu," jawabnya tanpa ragu. Mas Bayu berhenti bicara sejenak untuk mengambil napas. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun di antara perkataanya. Semua diucapkan dengan yakin. Seharusnya dia malu mengatakan semua itu. Meminta kembali mahar yang sudah dia berikan, setelah apa yang sudah dia lakukan kepadaku. Seperti mencabik harga dirinya sendiri. "Anggap saja pernikahan kita tidak pernah ada," lanjutnya. Jantungku terasa diremas mendengar ucapan Mas Bayu. Bagaimana dia bisa mengatakan itu? Apakah aku begitu buruk sehingga dia tidak ingin mengakui pernah menikah denganku?
"Aku menjauhimu karena kamu bertunangan dengan Bayu." Thalia menghentikan perkataannya sejenak untuk mengambil napas."Aku kecewa, Na. Aku sudah berkali-kali bilang bahwa Bayu tidak baik untukmu, tapi kamu tidak pernah mendengarkan aku. Bahkan, tiba-tiba saja kamu bertunangan dengan Bayu tanpa memberitahuku. Jadi waktu itu, aku pikir untuk apa lagi kita berteman?" lanjutnya kemudian."Maafkan aku, Tha," pintaku pada Thalia. Aku merasa bersalah karena sudah keliru menilai dirinya. Aku juga merasa bersalah karena tidak pernah mendengarkannya waktu itu."Aku yang bersalah, Na. Aku baru tahu kalau kamu bertunangan dengan Bayu atas keinginan bapakmu. Seharusnya aku tetap berteman denganmu apa pun yang terjadi. Ke depannya, tidak peduli kamu akan menikah dengan siapa, aku akan tetap berteman denganmu," ujar Thalia sembari
"Thalia? Kamu mengagetkanku saja." Aku melihat Thalia sudah tersenyum di belakangku. Kami berjalan beriringan menuju gedung kantor."Selamat ya, Nania! Akhirnya kamu diterima juga. Ngomong-ngomong, aku tidak lupa dengan janjimu mentraktirku," ujar Thalia sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum menggodaku."Aku mau bakso, sate ayam, gado-gado, mie pangsit …. " Thalia melanjutkan perkataannya sebelum aku menjawabnya."Sebutkan saja semua, sudah kuduga kamu pasti paling bersemangat kalau soal makanan." Aku memotong perkataan Thalia sebelum dia berhasil menyebutkan semua nama makanan yang ada di kota ini."Ya, kalau gak boleh semua, kamu boleh pilih salah satu. Lagi pula mana mungkin perutku cukup untuk memakan semua itu," ujarnya sambil cengar-cengir memperl
Melihat Sinta duduk di teras rumah, aku bergegas berputar, berjalan ke arah lain. Bermaksud untuk masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang. Semoga saja Sinta tidak melihatku. Rasanya tulang-tulangku sudah remuk dan otakku hampir mengeluarkan asap panas akibat bekerja seharian. Aku ingin segera beristirahat. Rasanya sudah tidak sanggup menemui Sinta dalam kondisi lelah seperti ini. Bekerja sebagai customer service ternyata tidak mudah. Seharian harus bersikap ramah dan mengembangkan senyum kepada para pelanggan meskipun suasana hati sedang tidak mendukung untuk itu. Ditambah lagi beberapa pelanggan yang marah-marah tidak jelas membuatku semakin kesal. Aku jadi teringat dengan salah satu pelanggan perempuan yang sedang memiliki masalah percintaan. Dia menelepon sambil menangis, lalu berkata, "Saya mau mengembalika
Rupanya ini tujuan Sinta yang sebenarnya? Memintaku berhenti bekerja karena dia tidak mau suaminya satu kantor dengan mantan. "Memangnya siapa kamu menyuruhku berhenti bekerja? Kamu bukan pemilik perusahaan kan?" sergahku tidak ingin menuruti permintaannya. "Aku tidak main-main, Naina! Aku belum menarik ucapanku, kamu harus mengundurkan diri dari pekerjaanmu," ucap Sinta dengan suara sopran yang melengking membuat sakit di telinga. "Aku juga tidak main-main, kamu pikir aku takut kepadamu? Kamu bukan siapa-siapa. Dimataku kamu tidaklah lebih dari seorang wanita yang menikahi bekas suami orang," sergahku diselimuti amarah. "Jaga mulutmu, Naina! Aku tidak akan tinggal diam kalau sampai aku melihatmu menggoda Mas Bayu," tukas Sinta kepadaku.
"Ibu seharusnya tidak membiarkan Sinta menunggu, lain kali jangan izinkan dia bertemu denganku, Bu. Dia hanya mau membuat masalah saja," ujarku sambil bersungut-sungut kesal."Ada baiknya Sinta menemuimu, jadi Pak Hadrian datang menyelamatkanmu," ujar ibu sambil tersenyum girang. Ekspresinya seperti seorang ibu yang baru saja mendengar kabar anaknya akan dilamar seseorang. Persis seperti dulu, saat Mas Bayu akan melamarku."Apa yang Ibu katakan? Memangnya apa yang Pak Hadrian lakukan? Tanpa Pak Hadrian datang, aku juga akan mengusir Sinta," sanggahku pada ibu."Kelihatannya Pak Hadrian menyukaimu. Kalau tidak, mengapa dia repot-repot datang ke sini," cetus ibu sembari memicingkan mata dan tersenyum menggoda."Itu tidak mungkin, Bu. Lagi pula, Pak Hadrian bilang dia ke si
Aku sudah mencari Thalia di seluruh ruangan kantor, tetapi nihil, tidak kutemukan dia di mana-mana. Mungkin, Thalia sudah pulang. Kuputuskan untuk kembali ke ruang kerjaku. Besok saja aku akan menemui Thalia.Di ruang kerja, netraku tertuju pada buket mawar merah yang sudah layu. Di sampingnya sudah ada buket bunga mawar merah baru dengan kartu dan inisial yang sama. Apakah ini artinya, bunga ini memang benar-benar untukku? Bukan salah kirim seperti dugaanku sebelumnya?"Bunga lagi? Wah-wah, setelah Pak Hadrian siapa lagi yang kamu incar? Lebih baik kamu tidak usah bekerja jika tujuanmu hanya untuk menggoda laki-laki," ucap seorang rekan kerja wanita dengan tatapan sinis. Suaranya nyaring membuat seisi ruangan mendengarnya dan menoleh ke arahku.Seorang wanita yang duduk berdekatan denganku tidak tinggal diam. Kulih