Pov Dewi “Tante gak butuh permintaan maaf kamu, Wi! Bersihkan nama keluarga kami atau Tante sendiri yang akan melaporkan kamu dengan tuduhan pencemaran nama baik!” Aku benar-benar kaget mendengar penuturan Tante Lani. Kukira dia masih mau membelaku, tetapi rupanya dia malah mengancamku. Padahal aku sudah minta maaf padanya. Lagi pula, dia adalah dalang dibalik semua rencana ini. Hanya saja aku memang salah mengeksekusi. Aku terlalu nafsu sehingga gak mikir dampak luasnya. "Tante kenapa tega? Bukannya Tante sendiri yang minta aku pura-pura hamil di depan Ayu, Tan? Lantas kenapa jadi aku yang salah? Aku gak terima!” Aku mengeratkan kepal. Sekalian saja kubongkar lah di depan Dion, tuman.Dion tampak terperangah mendengar ucapanku. Dia menatap Tante Lani. Wajah Tante Lani tampak menegang. Aku suka, kali ini posisi kita sama. Sama-sama tersudutkan. Andai Dion melaporkanku ke polisi, aku akan bawa nama dia yang jadi dalang di balik semua ini. “Omong kosong macam apa kamu, Wi? Sudah rusa
Pov DewiAku tak mau banyak musuh. Sudahlah gak kugubris juga. Aku tahu, duit mereka lebih banyak. Walaupun aku melawan, ya, percuma. Hanya ngabisin waktu dan tenaga. Lebih baik aku cari mangsa baru hingga akhirnya aku bertemu dengan Om Wisnu seorang pemilik PH. Hanya saja, sayangnya dia terlalu bucin sama istrinya. Dasar lelaki, suka jajan di luar tapi penakut di rumah. Tak berapa lama notifikasi M-Banking masuk. Aku menatapnya dengan tersenyum lebar. Angka yang lumayan. Enaknya gini kalau Om Wisnu, selalu memberi uang lebih. Jadi habis ngegugurin kandungan, masih ada sisa buat ke salon atau shopping. Kuusap perut ini, meminta maaf pada janin yang usianya baru tujuh minggu ini. Aku hanya ingin melahirkan anak-anak dari Dion. Jadinya terpaksa aku harus gugurkan. Namun, misal Om Wisnu mau ceraikan istrinya, aku juga mau sih sama dia. Dia tajir juga, hanya memang sudah tua. Sebelum ke sana, sepertinya lebih baik aku mengabari Viona tentang hal ini. Aku tahu, dia sama berharap pada Di
Pagi itu, aku sudah mengenakan gamis warna krem. Gamis dengan motif bunga pada bagian roknya dengan karet serut pada bagian pergelangan tangan ini, terasa nyaman. Pakaian ini bukan beli baru, tetapi memang masih layak pakai. Ibu selalu mengajarkan tak berlebihan. Meskipun, jujur, uangku berlimpah dan membanjiri rekening tiap bulan. Namun, aku tak serta merta merubah gaya hidupku menjadi hedon. Polesan make up kulapiskan pada wajah yang sudah segar. Entah kenapa, tadi malam aku tidur dengan nyenyak dan bangun dalam keadaan mood yang baik dan perasaan bahagia yang menguar. Perasaanku terasa ringan. Alisku yang memang sudah tebal, tak perlu kutambahi lagi, hanya lip cream warna peach yang kupakai agar bibirku tampak sehat dan segar. Usai mematut wajah, lekas kupakai kerudung segi empat yang sudah kulipat ujung ketemu ujung. Mode berjilbab yang paling membuatku nyaman sejak SMA. Kuatur biar simetris di wajah, lalu kusematkan jarum pentul pada tepinya. Sudah, deh. Cantik. Senyumku teruk
Aih, dasar jodoh, emang. Kenapa begitu cepat sepasang mata ini menangkap keberadaannya. Lelaki dengan setelan kemeja lengan panjang warna abu-abu tengah tersenyum menatapku. Rambutnya tampak sedikit pendek habis dipangkas, lengan kemejanya digulung hingga tiga perempat menampilkan jam tangan barunya. Ya, aku baru lihat jam tangan itu, sepertinya Dion memakai barang serba baru untuk datang ke acara kami. Setelah obrolan panjang lebar terjadi, akhirnya sebuah cincin disematkan pada jemariku. Riuh tepuk tangan terdengar. Aku menunduk semakin dalam dan menekan kebahagiaan yang meletup-letup di dalam sini agar tak membuncah keluar. Padahal rasanya aku ingin melompat dan memeluk Dion, rasanya seperti mimpi ketika akhirnya rasa yang sejak tujuh tahun lalu bersemayam ini akhirnya mendapat kejelasan. Cintaku berlabuh pada tempat yang kuinginkan.“Eh calon pengantin kok nangis,” kudengar suara Bi Murni---salah satu tetangga pelanggan nasi uduk ibu berkomentar. Aku hapal, meski tanpa tahu dia d
Pov Lani“Kalian duluan saja, Pa. Dion masih ada yang mau dibahas.” Dion berbicara pada kami.Aku dan suamiku melirik pada Rohmah---ibunya Ayu, Perempuan yang sebentar lagi akan menjadi besanku. Kami pun lalu berpamitan. Mas Subekti mengisyaratkan padaku untuk menyalami semua yang hadir sebelum pergi. Baiklah, aku nurut saja. Setidaknya, walau hati masih memberikan restu baru lima puluh persennya, setidaknya aku tak akan membayari utang-utang pada Lira dari uang bulananku sendirian. Dua ratus juta bukan angka yang kecil, padahal kalau Dion mau nikahin Viona, Lira mau anggap utang-utang itu lunas saja, katanya. Uang itu kupinjam diam-diam dari Lira tanpa sepengtahuan Mas Subekti. Awalnya aku mau kasih kejutan karena istrinya ini pintar dan bisa memiliki penghasilan besar. Dulu Lira meminjamiku untuk investasi di sahabatnya. Namun, rupanya investasinya gagal. Usaha koperasinya merugi dan gulung tikar. Aku sudah besar hati, ketika Dion di Singapura. Keluarga Viona sangat setuju ketika
“Lira, please!” Aku menarik tangannya. Gak mau jadi buah bibir para tetangga tukang nasi uduk ini nantinya. Lira benar-benar bar-bar dan buat malu. “Lo juga, Lan! Mana yang katanya sahabat! Tega-teganya buat anak gadis gue patah hati! Bukannya lo sudah janji, hah? Lo bakal nikahin anak-anak kita?! Kalau lo ingkar, jangan salahkan gue kalau gue bakal sita minimarket lo buat bayarin utang lo yang sudah menahun itu, heh?!”Lira malah balik membentakku. Terkejut bukan main. Rupanya begini aslinya Lira. Padahal dia selama ini selalu menunjukkan sikapnya yang high class dalam setiap pertemuan. Bahkan bicaranya saja lembut. “Tante! Tolong berhenti buat keributan! Apa Tante gak malu kalau keributan ini Viral? Tolong pikirkan nama baik Om Handoko juga, Tan!” Dion menatap Lira. Kilat marah tampak pada netranya.“Yang harus dipikirkan justru nama baik keluarga Subekti. Bagaimana kalau seluruh dunia tahu kalau Nyonya Subekti yang terhormat berhutang ratusan juta dan gak bayar utang selama berta
Pov AyuAku dan Dion saling bertukar pandang. Akhirnya keributan ini pun selesai. Malu, pastinya ada. Tetangga pasti akan menjadikan ini sebagai bahan gunjingan. Apalagi selama ini pencitraan Tante Lani yang sebagai istri anggota Dewan dan orang terpandang sudah melekat. Alangkah kagetnya mungkin yang mereka rasakan, ketika ternyata orang yang kaya raya malah ditagih utang di depan umum disertai makian. “Maafin atas semua kejadian ini, Ay. Maafin ya, Bu.” Dion menatapku dan Ibu saling bergantian. “Gak apa, Yon. Sudah ‘kan?” Aku tersenyum samar. “Iya, sih. Hanya saja gak enak sebetulnya sama kerabat dan tetangga kamu. Belum apa-apa sudah ada keributan.” Dion menyugar rambutnya dan berjalan menuju ke arah kursi kosong. Aku mengikutinya, begitu pun Ibu. Sengaja kugandeng tangannya. Kami pun duduk. “Ini boleh diberesin saja ‘kan Bu Rohmah?” Seorang tetangga menghampiri seraya menunjuk pada tenda.“Iya, boleh. Makasih banyak Pak Anwar bantuannya.” Ibu mengangguk dan mengatupkan tangan
Ya, Tuhaaan. Rasanya ada sengatan listrik berlarian di dalam sini. Aku mengatur napas dan menghela napas panjang. Kutatap punggung lebarnya yang sudah tiba di ambang pintu. Namun, dia berhenti. Lantas menoleh padaku dan mengedipkan satu matanya. Aku menggeleng kepala, lantas masuk dan gegas mengganti pakaian. Namun, serangan dadakan itu entah kenapa begitu berkesan. Bahkan setiap kali aku ingat, lupa akan dosanya, yang kuingat malah kenangan manis yang melekat begitu saja. Kuusap bekas bibir tipis yang menempel di dahi lalu tersenyum lagi untuk ke sekian kali. Mungkin ini yang Ibu bilang, makin dekat hari pernikahan, makin banyak godaan. Aku pun berbaur dengan para tetangga dan kerabat yang masih ada dan ikut beres-beres. Para lelaki membongkar tenda, menyusun kursi, menggotong meja dan hal-hal berat lainnya. Para kaum perempuan termasuk aku, mengambil semua piring kotor. Menyisihkan makanan yang masih tersisa dan mengemasnya, menyapu halaman, mengepel lantai dan lain-lain. Cukup m