Sore ini, Rumi sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Ia kembali ke penginapan karena memang tidak tahu mau kemana lagi. Untunglah biaya menginap tidak terlalu mahal dan biaya yang ia habiskan saat dirawat di klinik juga tidak besar, sehingga Rumi merasa uang tabungannya cukup untuk satu bulan sambil mencari pekerjaan.
Rumi membuka pintu kamarnya, membiarkan udara sore sehabis hujan rintik-rintik yang cukup lama, membawa aroma sedap ke dalam rongga hidungnya. Penginapannya ini memang banyak tanaman dan ada juga beberapa pohon besar, sehingga walau berada di pusat kota, tetapi udara sekitar masih terasa sejuk.
"Sore, Mbak," sapa Ela saat berkunjung ke kamar Rumi.
"Eh, Mbak Ela, mari masuk," jawab Rumi mempersilakan.
"Kata Mas Yudi, Mbak cari saya?"
"Iya, Mbak Ela, saya mau tanya soal kos-kosan di sini yang murah, tetapi gak kumuh. Saya tidak bisa selamanya tinggal di penginapan, apalagi dalam keadaan tidak bekerja," kat
Dua hari berlalu dan kondisi kesehatan Rumi semakin baik. Kakinya yang keseleo juga sudah membaik walau untuk berjalan masih sedikit pincang. Kini Rumi tengah berada di dalam taksi online bersama Ela yang akan menunjukkanya rumah kos. Wanita itu sangat baik karena mau membantu Rumi yang tengah dalam keadaan sulit."Nah, ini dia." Ela tersenyum pada Rumi sambil menunjuk gerbang tinggi berwarna biru yang ada di samping kiri mereka. Rumi tersenyum sambil mengangguk, lalu mengeluarkan uang dari dompetnya."Biar saya saja, Mbak," kata Ela sambil mendorong tangan Rumi yang akan membayar ongkos taksi."Gak papa, saya saja," balas Rumi sungkan."Simpan saja uangnya untuk bekal Mbak dan dedek bayinya selama belum mendapat pekerjaan di sini," kata Ela lagi dengan senyuman hangatnya. Tangan Rumi bergerak pelan dengan kaku. Ia sebenarnya tidak masalah jika harus membayar ongkos taksi yang hanya tiga puluh lima ribu rupiah, tetapi ucapan Ela juga ada benar
Angkasa tersentak dari tidurnya. Tubuhnya yang masih lemas membuat Angkasa masih memilih istirahat di rumah hari ini. Tidur siang yang belum pernah ia lakukan, sekarang menjadi hobinya setelah lebih sepekan berdiam diri di rumah.Pria dewasa itu bernapas dengan terengah-engah setelah bermimpi Rumi yang tengah berteriak minta tolong. Angkasa bergerak duduk, lalu menyambar gelas air mineral yang ada di meja samping tempat tidur. Ia meneguknya hingga tandas."Rumi," gumamnya sambil mengusap kasar wajahnya yang berkeringat. Kepalanya masih sedikit pusing saat ia merasakan getar yang berasal dari sisi kanan tempat ia berbaring.Drt! Drt!"Halo, Josep, bagaimana?""Pak Angkasa, saya mendapat informasi dari salah satu teman di terminal, bahwa istri Bapak kurang lebih sepekan yang lalu pergi naik bus tujuan Malang.""Apa? Malang? Ya Tuhan, kamu bisa bantu saya melacaknya sampai ke sana? Tolong cek semua hotel, bukan ... Penginapan, karen
Dilamar 31 “Ela, kamu Ela’kan?” Angkasa sangat kaget melihat seorang wanita yang cukup ia kenal di masa lalu. Tidak ada yang berubah, masih sama seperti Ela yang ia kenal semasa remajanya. “Iya, Mas, saya Ela Restu. Mas apa kabar? Mau menginap di sini?” tanyanya dengan canggung. “Bukan, Mbak, kami ke sini ingin mencari tahu tentang seorang wanita yang katanya pernah menginap di sini beberapa hari,” sela Josep. Kening Ela berkerut heran, sembari mengingat-ngingat siapa tamu yang menginap di penginapannya beberapa hari. “Siapa?” tanya Ela. “Rumi. Dia istri saya,” jawab Angkasa sambil menatap Ela penuh harap. Seketika it
"Lo yakin tidak ada yang aneh dengan teman Pak Angkasa tadi?" tanya Josep pada teman Daus; temannya."Udah jelas nggak! Lo perhatikan saja bola matanya yang bergerak terlalu cepat dan jemarinya yang selalu saja bermain dengan ujung bajunya, menunjukkan betapa ia sedang menyembunyikan sesuatu. Kayaknya kita harus mengikuti wanita itu mulai besok. Kondisi Pak Angkasa tidak memungkinkan untuk ikut mencari, biar beliau di kamar saja beristirahat," jawab Daus sambil menyesap kopinya.Mereka bertiga sudah kembali ke penginapan tempat Angkasa. Duduk di taman kecil penginapan sambil menyesap kopi dan menikmati sebatang rokok. Angkasa memilih langsung tidur karena begitu ia tidak bisa langsung menemukan istrinya, seluruh tubuhnya kembali lemas dan tidak bertenaga.Sementara itu, Ela tengah berada di dalam taksi online melewati rumah kos yang ditinggali Rumi. Ia hanya ingin memastikan apakah wanita itu masih menunggunya atau tidak.
Tok! Tok! Cklek! Josep dan Daus muncul dari pintu yang terbuka sedikit lebar. Ela terlonjak kaget dengan tubuh menegang bahkan ia merasa seperti berhenti bernapas untuk beberapa saat. “Kami harap tidak mengganggu keakraban Pak Angkasa dan Mbak Ela,” ujar Josep yang berjalan mendekat dengan tersenyum lalu meletakkan potongan buah rujakan di atas meja. “Tentu saja tidak,” sahut Angkasa sambil menurunkan cangkir yang hampir saja menyentuh bibirnya. Potongan buah rujakan nampak lebih menggoda daripada secangkir teh, sehingga Angkasa memilih menaruh cangkir itu kembali ke atas meja. Ia meraih potongan buah, lalu meletakkan di atas kaedua kakinya yang beralaskan selimut. Ekor mata Ela nampak kecewa dan pasrah, saat cangkir itu tergeletak begitu saja tanpa sempat disentuh Angk
"Kenapa dijaman sekarang sulit menemukan wanita polos dan dan tidak licik? Cih! bisa-bisanya memberikan obat perangsang pada Pak Angkasa, disaat orang tengah kesusahan mencari istrinya. Luar biasa licik, mirip peran antagonis di sinetron," gumam Josep saat menemukan bungkus obat perangsang birahi yang tergeletak di atas karpet kamar Angkasa.Siapa lagi pelakunya kalau bukan Ela? Bosnya tidak akan mungkin melakukan hal konyol yang membahayakan dirinya seperti ini. Lekas Josep mengambil ponsel, lalu memotret bungkusan itu untuk ia kirimkan pada Daus. Bos dan temannya itu pasti akan sangat penasaran.Josep tertawa, lalu ia yang tengah duduk di pinggir ranjang menoleh ke belakang. Ela masih tidur dengan lelap. Napasnya berembus dengan teratur. Sedikit pertama Josep bagai terhipnotis. "Cantik, tapi licik, makanya belum punya pasangan," gumam Josep lagi sambil menyingkirkan satu dua helai rambut yang berada di dahi Ela."Dan kin
Bari sudah tiba di Bali dan ia langsung menuju alamat yang pernah diberikan oleh Tiara waktu itu. Inilah pertama kalinya ia mengunjungi Tiara sejak mereka menikah siri beberapa pekan sebelum ia dirawat di rumah sakit. Sebenarnya ia sangat enggan, tetapi omanya tidak boleh mendahuluinya. Ia harus membawa Tiara pergi sejauh mungkin.Sebenarnya Tiara tidak benar-benar bekerja di toko roti. Itu hanya pengalihan saja untuk menutupi kehamilannya dari Rumi dan juga keluarga besar Bari. Wanita itu hanya menjaga warung kecil-kecilan yang ia buka di rumah. Perutnya yang semakin besar, membuatnya sedikit kesusahan untuk melamar pekerjaan di toko makanan atau toko oleh-oleh, sehingga ia hanya bisa membuka warung kecil yang kebetulan sekali dekat dengan Sekolah Dasar."Beli permen," suara anak kecil membuat Tiara tersentak dari lamunannya."Eh, iya. Mau permen apa?" tanya Tiara dengan ramah."Ini, beli semua," kata anak kecil itu sambil memberikan ua
Matahari terbenam dan sinar senja masuk ke dalam ruang perawatan VIP Rumi. Angkasa sengaja belum menutup tirai jendela, karena senja begitu indah dan teduh di depannya. Perlahan warna keemasan itu memudar, digantikan dengan gelapnya langit malam.Angkasa duduk di tempat tidur rumah sakit, persis di ujung kedua kaki Rumi. Wanita itu masih terlelap dengan wajah pucat dan nampak sangat ringkih. Istrinya itu meringkuk di balik selimut. Membiarkan sinar senja menerpa tubuh Rumi yang tertutup selimut.Pria itu berdiri; hendak berjalan ke kamar mandi."Bang," suara Rumi terdengar lemah. Angkasa menghentikan langkahnya, lalu berjalan mendekat pada istrinya."Kita di mana?" tanya Rumi dengan suara lemah."Di rumah sakit. Apa kamu masih pusing?" tanya Angkasa yang kini sudah duduk di samping Rumi."Perut saya tidak enak," jawab Rumi sambil meringis."Kenapa Abang bisa ke sini? Apa Abang ingin memberitahu saya bahwa