Hujan turun dengan sangat deras ketika Tiara mengantar suaminya sampai di lobi parkir apartemen. Pagi ini ia dan Bari sudah memutuskan untuk memulai semuanya dari awal, layaknya hubungan suami istri.Kecupan selamat pagi sudah diberikan Tiara saat tadi di kamar dan Bari memintanya untuk mengantar sampai lobi parkir. Tiara tidak keberatan karena ia sendiri mencoba menerima takdir yang Tuhan gariskan saat ini untuknya."Saya pergi ya, kamu baik-baik di rumah. Mungkin saya akan pulang malam, karena urusan kemarin, jadi ada hal penting yang saya ganti waktunya menjadi hari ini. Oh iya, kamu harus bersabar dengan Helena ya. Kalau dia sudah keterlaluan, kamu boleh melakukan apapun, oke?" pesan Bari pada Tiara sebelum lelaki itu benar-benar menutup pintu mobilnya."Jangan khawatirkan aku, aku akan baik-baik saja dengan calon maduku," jawab Tiara sambil mengulas senyum.
Tiara menguap berkali-kali sambil menahan kantuk yang luar biasa. Semalam, karena ulah suaminya, ia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Entah apa yang dilakukan suaminya sehingga bolak-balik di kasur sambil mendengus. Saat ditanya kenapa, katanya gak bisa tidur dan harus ada yang dijepit. Tiara tertawa dalam hati sambil menggelengkan kepala bila mengingat kejadian tadi malam."Mbak, daripada kamu bengong, mending kamu pijitin kaki aku," ucap Helena santai dengan bokong yang sudah ia hempaskan di sofa. Belum lagi Tiara menjawab, Helena sudah meluruskan kedua kakinya agar dipijat oleh Tiara."Maaf ya, Helena, saya tidak pandai memijat," jawab Tiara santai dengan pandangan lurus menonton televisi."Udah tua jangan suka berbohong. Inget umur!" sindir Helena sinis."Terakhir saya memijat paman saya, beliau malah kena saraf kejepit. Ya udah kalau kamu maksa, sini! Jangan salahkan aku kalau kamu kena saraf ke
K-kalian sedang apa?” Tiara mendelik kaget saat melihat Helena dan suaminya ada di dalam kamar dengan pintu yang tertutup. Bari hanya memakai kaus dalam dan masih lengkap dengan celana panjang, sedangkan Helena masih memakai bajunya yang tadi.“Tiara, aku bisa jelaskan!” kata Bari memucat sambil berlari menghampiri Tiara yang masih bergeming di depan pintu. Wanita itu menatap tajam suaminya dan juga Helena yang tengah memutar bola mata malas, tanpa ekspresi rasa bersalah sama sekali.“Aku rasa berada di dalam kamar berduaan dengan suamiku tidak ada di dalam persyaratan kamu’kan? Jadi sekarang tolong keluar!” suara Tiara meninggi.“Tadiannya aku ingin minta tolong Mbak untuk mengoleskan ini di punggungku, aku kira Bari belum pulang dan Mbak yang ada di kamar mandi. Jadi aku tungguin, eh … malah Bari yang keluar dari kamar mandi, jadi aku minta Bari untuk mengoleskan minyak ini di punggungku &hel
Bohong kalau ia tidak memiliki sedikit perasaan pada Dion, jika tidak, mana mungkin ia mau dikenalkan dengan anak-anak dari pria itu, bahkan mereka sempat piknik ke beberapa tempat wisata selama empat bulan belakangan.Kini semua berbeda dan pasti sangat membuat lelaki itu kecewa. Tiara tidak mampu mengeluarkan kalimat apapun untuk membela dirinya. Sebuah kesalahan fatal yang ia katakan bahwa ia single parent yang suaminya meninggal, bukan single parent perceraian, ditambah pula dirinya memang belum benar-benar bercerai dari Bari, sehingga Tiara semakin merasa bersalah pada lelaki yang kini duduk sambil menunduk di depannya."Maafkan saya, Mas," lirih Tiara dengan suara penuh rasa bersalah. Tubuhnya basah berkeringat karena tenaga yang terkuras karena perasaan cemas sekaligus bersalah."Bagaimana saya mengatakan pada anak-anak perihal ini? Mereka berharap kamu menjadi ibu mereka dan saya pun begitu. Di balik semua kekurang
"Bagaimana bisa kamu tahu apartemen saya? Dan kamu berani memeluk istri bos kamu di depan orang banyak? Kamu ingin saya pecat, Dion?!" Suara Baru meninggi dengan tangan yang terkepal di balik punggungnya."Maaf, Pak Bari, jika saya terus terang meminta alamat Pak Bari, pasti tidak akan diberitahu, sehingga saya memutuskan untuk mengikuti Pak Bari pulang kemarin. Bapak tidak perlu cemburu, saya dan Tiara sudah selesai. Wanita itu adalah wanita baik-baik yang sudah memutuskan untuk memilih suaminya daripada duda seperti saya. Pelukan itu hanya sebagai pelukan perpisahan saja. Namun ada satu hal yang perlu Pak Bari ketahui, jika saya tahu Tiara tidak bahagia dengan Pak Bari, maka saya tidak akan ragu untuk merebut Tiara kembali. Saya permisi, Pak, mau menyiapkan file presentase kita hari ini." Dion bangun dari duduknya, lalu membungkuk sedikit sebagai tanda berpamitan pada Bari.Sepeninggal Dion, Bari menghubungi kembali nomor Tiara, wa
"Dion, bisa tinggalkan kami sebentar? Ada yang perlu saya bicarakan dengan wanita ini," ujar Bari menoleh ke arah Dion yang masih terpaku di tempatnya."Tentu saja bisa, Pak, dan saya menunggu penjelasan dari Pak Bari segera. Saya serius dengan ini. Bapak paham'kan?" Bari mengepalkan tangan sambil menarik napas berat. Tak lama kemudian lelaki itu mengibaskan tangan pada Dion dan dengan tatapan seriusnya meminta Dion segera menutup pintu ruangannya.Blam!"Kamu, mau apa kamu ke sini dan mengaku istriku? Apa kamu gila?" cecar Bari sambil meletakkan kedua tangan di pinggang."Mmm ... sungguh malang Mbak Tiara. Dia padahal istri sah kamu, terus kenapa kamu tidak memberitahu semua karyawan di sini? Apa yang kamu sembunyikan? Apa dia tidak cukup cantik untuk dibawa ke depan umum? Atau karena dia tidak bisa melahirkan anak membuat kamu tak menghargainya? Bukan salahku kalau begitu! Kamu yang keterlaluan! Dan seka
"Bari! Kamu keterlaluan! Aku menelepon anak dari Dion yang sedang sakit, bukan menelepon ayah mereka. Aku masih menjaga perasaan kamu sebagai suamiku, kenapa kamu seperti ini? Kamu sama sekali tidak mempunyai rasa empati. Pantaslah kamu tidak ditakdirkan memiliki anak dariku!" Tiara menjerit berapi-api meluapkan kekesalannya pada Bari."Aku tidak suka! Mau itu anaknya atau Dion sekali pun, kamu tidak boleh lagi berhubungan dengan mereka. Kamu istriku dan aku yang berhak atas kamu!" Tegas Bari masih dengan wajah yang merah padam menahan amarah."Kalau begitu, talak saja aku! Talak!" Tiara bangun dari duduknya dan menantang Bari dengan matanya yang basah."Sejak awal bertemu dengan kamu, selaku saja hidupku dirundung kesulitan. Kamu pembawa sial untuk hidupku! Jadi aku minta, ceraikan aku sekarang, talak aku Bari! Aku sudah tidak bisa memaafkan kamu lagi! Kita tidak bisa bersama, aku mau pergi!""Tiara tungg
"Ya ampun, Mbak, ada apa? Ayo, masuk!" Restu membukakan pintu kontrakannya untuk Tiara, lalu menarik lembut tangan wanita itu agar segera masuk ke dalam rumah.Restu melihat jam di dinding yang sudah pukul dua belas malam. Berarti Tiara entah dari mana berjalan cukup jauh. Bisa ia lihat dari kedua kaki Tiara yang nampak sangat kotor."Maaf, aku mengganggu tidurmu, Res, aku hanya menumpang untuk malam ini saja, besok aku akan mencari tempat lain," kata Tiara dengan sungkan. Air mata masih belum mau berhenti membasahi pipinya, Restu hanya bisa menghela napas, lalu mengulum senyum."Gak papa, Mbak, ayo, cuci tangan dan kaki dulu. Pasti Mbak Tiara habis berjalan jauh. Di lorong itu kamar mandinya, saya biar buatkan teh untuk Mbak Tiara ya," jawab Restu mafhum. Wanita itu berjalan ke dapur, sedangkan Tiara beranjak menuju kamar mandi. Bukan hanya mencuci tangan dan kaki, Tiara juga membasuh wajahnya agar air mata berhenti. Baju